Jakarta (Antara Kalbar) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyatakan bahwa pemilihan kepada daerah (pilkada) tidak langsung dapat mendorong praktik korupsi struktural.
"Dalam pemilihan tidak langsung, maka jenis korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen akan sangat sistematis dan berkarakter rakus bahkan korupsi tersistem," katanya melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis.
Pada Kamis ini dilakukan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan Rancangan Undang-Undang Pilkada yaitu apakah para kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
"Apakah kalau pilkada tidak langsung tidak ada permainan politik uang? Ada potensi besar terjadi perpindahan pemain atau pelaku politik uang bila pilkada tidak langsung dilakukan di parlemen. Para penentu keputusan di anggota DPR sendiri yang menjadi pelaku kejahatan," ujar Bambang.
Sementara dalam pemilu langsung, pelakunya adalah pemilih. Namun menurut Bambang, jenis korupsinya diduga hanya yang bersifat 'petty corruption' atau korupsi untuk urusan sekitar perut sehari-hari saja.
"Akibat 'corruption by system' bisa sangat struktural karena korupsi pada jenis ini, nilai korupsi sangat besar, bisa sepanjang pemerintahan kepala daerah, dana APBD dan APBN yang akan dijarah serta merusak 'trust' publik pada kekuasaan pemerintah daerah dan parlemen yang semakin masif," ungkap Bambang.
Bambang pun tidak melihat ada hubungan langsung antara korupsi dengan pilkada langsung.
"Secara umum masalah di parlemen adalah masalah hilir karena masalah utama di hulunya adalah persoalan partai. Partai dan anggota dipastikan akan punya karakter koruptif dan kolusif bila tidak bisa membangun sistem transparan dan akuntabel di dalam partai," katanya.
Partai yang akhirnya justru menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam sistem pilkada tidak langsung dibanding dengan pilkada langsung.
Data korupsi 2004-2012 dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menunjukkan ada 290 kasus korupsi kepala daerah.
KPK sendiri menanganai kasus korupsi kepala daerah sepanjang 2004-2014 sebanyak 52 kasus.
"Dalam data KPK, 81 persen kasus korupsi kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sesuai Pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ungkap Bambang.
Dari kasus tersebut, 13 persen berkaitan dengan tindak penyuapan sesuai Pasal 5 dan pasal 6 UU Pemberantasan Tipikor, sisanya berkaitan dengan pemerasan dan jenis tindak pidana korupsi lainnya.
Kasus korupsi lain yang ditemukan justru terjadi pasca pilkada, sehingga tidak berkaitan dengan pilkada langsung. Misalnya kasus penyuapan terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Walikota Palembang non-aktif Romi Herton, bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih.
"Kasus korupsi yang diduga punya hubungan agak langsung dengan pilkada biasanya berkaitan dengan kasus penyuapan. Misalnya, ke Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk. Berdasarkan kajian itu maka dapat ditunjukkan bahwa tidak ada hubungannya secara langsung kasus korupsi dengan pelaku kepala daerah disebabkan karena pilkada langsung," tegas Bambang.