Banyak Pengungsi Anak di Eropa Alami Kekerasan Seksual
Kamis, 16 Juni 2016 14:23 WIB
London (Antara Kalbar/Thomson Reuters Foundation) - Lembaga anak-anak PBB, UNICEF merilis data yang mengejutkan.
Berdasarkan hasil wawancara kepada 60 orang anak dengan usia 11 hingga 17 tahun dari Afghanistan, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Iran, Irak, Kuwait, Suriah dan Vietnam yang tinggal di sejumlah kamp sepanjang Selat Inggris, antara Januari hingga Afril 2016, terungkap bahwa pendatang anak-anak di Eropa kerap mengalami kekerasan seksual .
Pendatang anak-anak di Prancis utara dipaksa melakukan kejahatan dan pelacuran setiap hari untuk mendapatkan tempat tinggal di kampung pendatang atau dijanjikan pindah ke Inggris, kata lembaga anak-anak PBB UNICEF pada Kamis.
UNICEF mengatakan bahwa eksploitasi seksual, kekerasan dan kerja paksa menjadi ancaman, yang sering ditujukan kepada anak-anak, yang bepergian sendiri, dan mendesak pihak berwenang melakukan hal lebih demi melindungi mereka.
"Kami mengerti bahwa itu permasalahan lebih dari satu dasawarsa namun itu menjadi lebih besar dan parah pada tahun lalu dengan peningkatan krisis pengungsi global," kata melanie Teff, pengacara penting kemanusiaan dan penasihat kebijakan UNICEF Inggris.
"Kami mendengar sejumlah kisah menyedihkan tentang beberapa perempuan anak-anak, yang dibayar 5,6 dolar Amerika Serikat untuk melakukan tindakan seksual demi masuk ke dalam kampung itu, atau untuk mulai membiayai perjalanannya menuju Inggris," kata dia kepada Thomson Reuters Foundation.
Dari sekitar 206.200 orang yang tiba di Eropa lewat jalur laut pada tahun ini pada 4 Juni, satu dari tiga orang merupakan anak-anak, UNICEF mengatakan pada Selasa, mengutip data dari lembaga pengungsi PBB.
Banyak yang berakhir di sejumlah kamp seperti di sebuah kota yang disebut dengan "Hutan" yang terletak di luar pelabuhan utara Perancis, Calais.
UNICEF mengatakan bahwa terdapat sekitar 500 orang anak-anak tanpa pengawasan yang tinggal di tujuh kamp di pantai utara Perancis, termasuk di Calais dan Dunkirk.
Sekitar 2.000 orang anak-anak telah melewati kamp itu sejak Juni 2015 lalu, kata mereka. Beberapa anak-anak mengatakan kepada lembaga bantuan bahwa mereka ditahan oleh sejumlah kelompok kriminal yang meminta tebusan dari keluarga mereka, sementara lainnya dipaksa untuk melakukan kerja seperti layaknya budak untuk membayar perjalanan mereka.
Anak-anak dari Afghanistan mengatakan kepada UNICEF bahwa ketakutan terbesar mereka adalah pemerkosaan.
Dalam menghadapi tuntutan dari pedagang manusia untuk membayar antara 4.000 hingga 5.500 poundsterling masing-masing untuk pergi ke Inggris, mereka mencari jalan lain untuk melakukan perjalanan, seperti beberapa anak bersembunyi dalam truk peti kemas, kata UNICEF.
"Tidak ada pemberian pendidikan, dan anak-anak hampir tiap malam berjalan selama berjam-jam dan mencoba untuk memasuki kontainer," kata Teff.
"Mereka tinggal dalam keadaan yang sangat, sangat genting dan banyak dari mereka yang berbicara betapa mereka menjadi gila dikarenakan keadaannya," katanya.
Teff mengatakan bahwa anak-anak yang tinggal di sejumlah kamp migran seringkali harus membayar untuk mandi atau dipaksa untuk membuka kontainer agar mereka dapat masuk.
Rata-rata, anak-anak tinggal di kampung itu lima bulan sebelum pindah, meskipun beberapa di antaranya tetap berada di tempat itu selama sembilan bulan dan satu anak-anak terjebak di tempat itu lebih dari satu tahun, kata UNICEF.