Pontianak (Antara Kalbar) - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Konsorsium Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih mendesak pemerintah menghentikan aktivitas perusakan hutan di hulu Sungai Jelai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang telah menyebabkan bencana ekologi.
"Kami minta pemerintah meninjau ulang pemberian izin aktivitas HTI (hutan tanaman industri) bagi PT WHP di kawasan hulu Sungai Jelai yang akhir Agustus lalu terjadi banjir bandang sehingga menyebabkan kerusakan bagi rumah desa sekitar," kata Ketua Konsorsium Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, John Bamba di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, sudah puluhan tahun kawasan Jelai Hulu tidak pernah terjadi banjir bandang. "Kalau terjadi banjir biasa, tetapi kalau banjir bandang ini yang pertama kalinya," ungkapnya.
Hal itulah, yang menurut dia, perlu dicari tahu apa penyebabnya hingga terjadi bencana ekologi tersebut, apakah dampak dari deforestasi atau perusakan hutan di kawasan hulu sungai atau lainnya.
Menurut dia, banyak memang aktivitas di kawasan hulu sungai, diantaranya perusahaan tambang, perkebunan, dan baru-baru ini perusahaan HTI.
Sementara itu, Direktur Dayakologi Kalbar, Benyamin Efraim menyatakan, saat ini masyarakat yang menjadi korban banjir bandang di kawasan Sungai Jelai sangat membutuhkan bantuan untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang rusak karena diterjang banjir bandang beberapa waktu lalu.
Pihak pemerintah maupun pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas musibah atau bencana ekologis di Tanjung Jelai tersebut, katanya.
"Perusahaan dan pemerintah harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut, yang hingga saat ini belum ada. Pihak Pemkab Ketapang hingga saat ini hanya sekadar melihat bencana tersebut sebagai bencana biasa," katanya.
Padahal, sejak puluhan tahun ini, belum pernah terjadi banjir bandang di kawasan itu. "Banjir bandang di Sungai Jelai ini, baru pertama kali terjadi, padahal sewaktu itu hujan tidak terlalu lebat, tetapi banjir tiba-tiba terjadi, sehingga menghanyutkan tujuh rumah, dan enam rumah rusak berat," ungkapnya setelah dirinya turun langsung ke lapangan.
Menurut informasi di lapangan, banjir bandang tersebut terjadi di hulu Sungai Jelai, yang sewaktu kejadian ketinggiannya setinggi dada manusia, tetapi sorenya sudah tidak ada lagi banjir karena turun ke hilir sungai.
Ia menambahkan, hal tersebut menandakan, bahwa hutan penyangga yang selama ini terawat di hulu Sungai Jelai sudah rusak akibat perambahan, baik yang dilakukan oleh perusahaan HTI (hutan tanaman industri), perkebunan, maupun pertambangan.
"Bencana ekologis sudah terjadi dan akan terus mengancam masyarakat sekitar, tetapi hingga kini perusakan hutan dan tanah terus berlangsung, sehingga harus ada pertanggungjawaban dari yang telah merusak dan dari negara," katanya.
Menurut dia, eksploitasi hutan oleh PT WHP yang bergerak di bidang HTI di hulu Sungai Jelai sudah beroperasi dua hingga tahun.
"Mereka menanam pohon, yang menjadi masalah mereka membabat hutan yang selama ini menjadi hutan penyangga sehingga merusak lingkungan di kawasan hulu sungai, akibatnya terjadi banjir bandang yang membawa lumpur dan pasir beberapa waktu lalu tersebut," katanya.
(U.A057/N005)