Jakarta (ANTARA) - Sudah lebih dari setahun pandemi melanda Indonesia, sejak serangan pertama diumumkan Presiden Joko Widodo terjadi pada Maret 2020. Hingga sekarang, COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.
Rabu (7/4/2021), adalah kali ketiga virus SARS-CoV-2 itu kembali bersarang di dalam tubuh Derry Fitriadi (42). Gejala reinfeksi COVID-19 kali ini dirasakan jauh lebih hebat dari dua serangan sebelumnya pada 20 Maret dan awal Desember 2020.
Saat ini, warga Bojong Soang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu masih tersiksa dengan gejala demam, sesak napas, serta batuk yang menyertai dirinya selama 14 hari terakhir menjalani karantina di Rumah Sakit AMC Cileunyi.
Dalam sehari, tidak kurang 30 butir obat dari dokter harus dia konsumsi untuk memulihkan infeksi. Belum lagi pengambilan sampel darah secara rutin untuk memantau perkembangan perawatan.
"Kalau sudah gejala seperti saya, tersiksa. Kalau minum obat, pagi 12 butir, siangnya sembilan butir, malamnya sampai sembilan butir lagi. Itu kan ngeri ya kalau setiap hari harus minum obat seperti itu," katanya.
Pria yang bekerja sebagai pegawai swasta pada bidang jasa kreatif itu awalnya terpapar bersama isteri dan seorang puteranya pada 20 Maret 2020 saat menghadiri acara penyerahan 'doorprize' sepeda. "Ternyata banyak pejabat di dalam gedung itu terkonfirmasi positif COVID-19. Termasuk yang memberi hadiah sepeda," katanya.
Penularan berikutnya terjadi pada Desember 2020 saat Derry terlibat kerja sama dengan seorang relasi di Kabupaten Bandung. Saat itu Derry berada dalam satu ruangan tertutup sampai larut malam. "Pas besoknya dia (relasi kerja) mengumumkan kena COVID-19 dan saya demam tinggi," ujarnya.
Empat bulan berselang, tim medis dari Klinik Al Ihsan Kabupaten Bandung mengonfirmasi bahwa Derry kembali terpapar COVID-19 berdasarkan hasil tes PCR.
"Ada dua kemungkinan saya terpapar COVID-19 yang ketiga kali ini, pertama saat menghadiri tahlilan kakak saya yang meninggal atau tertular dari kantor isteri saya," kata Derry yang belum pernah menerima suntikan vaksin COVID-19 itu.
Kasus yang dialami Derry bukan tidak mungkin dialami pula oleh masyarakat lain di Tanah Air..
Kasus aktif
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan hingga sepekan terakhir ada lima negara dengan kasus aktif tertinggi di dunia, Amerika Serikat mencapai 6.812.645 kasus, India 2.822.513 kasus, Brazil 1.099.201 kasus, Perancis 995.421 kasus dan Turki 506.899 kasus.
Dalam era globalisasi saat ini, penularan virus tidak mengenal batas teritorial negara. Terbukti dengan ditemukannya mutasi virus yang menular dari satu negara ke negara lain, termasuk ditemukan di Indonesia.
Setidaknya, metode whole genome sequencing (WGS) atau pengurutan genom lengkap, memungkinkan para pakar di Indonesia bisa meneliti virus penyebab COVID-19 dan mutasinya di Tanah Air, sehingga laju serangan musuh dapat dideteksi lebih dini.
Selain Balitbangkes, lembaga lain yang melakukan pemeriksaan WGS adalah LBM Eijkman, Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta berbagai perguruan tinggi seperti UI, UGM, UNS, UIN Jakarta, UNPAD, ITB, UNAIR, UPN Veteran Jakarta, Universitas Tanjungpura, Universitas Hasanudin, dan Universitas Andalas.
Hingga Kamis (23/4/2021), jumlah laboratorium yang tergabung dalam WGS sebanyak 17 laboratorium dengan hasil laporan yang terdaftar sebanyak 1.191 sequences virus. Ada sepuluh kasus B117 dan satu kasus B1525 yang ditemukan.
Empat kasus penemuan varian virus B117 berasal dari pekerja migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia dan Ghana, dua kasus di Sumatera Utara, satu kasus di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, serta Jawa Barat sebanyak dua kasus.
Varian B1525 ditemukan dari pekerja migran yang masuk ke Indonesia pada 20 Januari 2021 melalui Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Tanjung Pinang Batam.
Sementara WGS sebanyak 12 dari total 127 warga negara India yang melakukan eksodus ke Indonesia, Rabu (22/4), masih diteliti Litbangkes.
Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan saat ini ada tiga jenis varian virus baru yang diumumkan WHO agar diwaspadai oleh seluruh negara di dunia.
Pertama, bernama B117 yang saat ini sudah menyebar ke 130 negara di dunia, termasuk Indonesia sejak pertama kali dideteksi di Inggris pada 20 September 2020.
Kedua, bernama B1351 yang pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan pada awal Agustus 2020 dan sekarang sudah ada di lebih dari 80 negara dan dilaporkan berpotensi memengaruhi efikasi vaksin.
Ketiga, bernama P1 atau B11281 yang awalnya dilaporkan di Brazil dan Jepang saat ini sudah menyebar ke sekitar 50 negara di dunia, termasuk India.
Kelompok besar kedua yang banyak dibahas peneliti di jurnal internasional “Nature” dan “Cell” pada 21 April 2021 adalah mutan atau mutasi ganda yang dilaporkan dari India, bernama B1617 sudah menyebar ke lebih dari 20 negara, termasuk Inggris.
Para pakar juga melaporkan mutasi lebih baru lagi, yakni B1618 yang disebut mutan "triple", berasal dari daerah Bengal Barat, India. Karakteristiknya lebih mudah menular dan berpotensi dapat memengaruhi efikasi vaksin.
Strategi perang
Bagi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, penanganan pandemi COVID-19 tak ubahnya seperti medan pertempuran, karena kesamaan situasi dengan Perang Dunia I dan II yang merenggut korban jiwa hingga jutaan umat manusia di dunia. Bedanya sekarang, genderang perang ditabuh untuk melawan musuh yang tak kasat mata.
Kini, ancaman musuh juga muncul dari dalam negeri seiring masuknya periode bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri 1442 Hijriah/2021 masehi yang terkait dengan tradisi mudik sehingga berpotensi meningkatkan penularan virus antardaerah.
Selain memperketat pergerakan masyarakat melalui larangan mudik dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pemerintah pun menggunakan strategi perang yang melibatkan 40 ribu personel Polri dan TNI untuk bergabung bersama tenaga kesehatan di garis depan pertempuran melawan SARS-CoV-2.
Pemberian bantuan tersebut merupakan permintaan Kemenkes yang membutuhkan 80 ribu 'tracer' serta 'vaksinator' untuk menghadapi pandemi COVID-19.
Target operasi dari perang menghadapi pandemi ini satu, yakni bagaimana masyarakat bisa mengurangi laju penularan. Strateginya ada dua kali ini yang Kemenkes kerja samakan dengan Polri dan TNI.
Strategi pertama adalah 'surveillance' yang berperan sebagai intelijen untuk melacak persembunyian virus COVID-19 dengan metode pencarian 'testing' dan 'tracing'.
Bila mengacu pada standar WHO, maka pelacakan kasus berdasarkan kontak pasien dilakukan 25 orang dari satu penderita. Sementara Indonesia berdasarkan laporan Ahli Genetika Molekuler dan Biokimia dari PT Kalbe Farma, Halida P Widyastuti, baru sekitar delapan dari satu orang penderita.
Untuk testing di Indonesia rata-rata 160 tes per 1 juta orang per hari dari 1,6 juta kasus kumulatif dari sekitar 5.336 kasus terkonfirmasi setiap hari sepanjang Maret 2021.
Strategi kedua adalah membunuh virus menggunakan jarum suntik berisi vaksin COVID-19 saat musuh telah ditemukan oleh intelijen. Pemerintah telah menargetkan vaksinasi COVID-19 terhadap 181 juta penduduk Indonesia dalam satu tahun atau 362 juta dosis.
Untuk melancarkan strategi perang tersebut, Kemenkes harus menyuntik satu juta dosis dalam sehari berdasarkan kelompok masyarakat yang dianggap rentan tertular.
Melansir laman resmi Kementerian Kesehatan, Indonesia membutuhkan total 426.800.000 vaksin. Amunisi itu didatangkan dari empat pemasok, yakni Sinovac, Novavax, Covax/Gavi, AstraZeneca dan Pfizer.
Jika melihat jumlah pesanan mengikat dan opsi tambahan, maka jumlah pasokan vaksin bagi Indonesia justru melebihi kebutuhan.
Sebanyak 329.504.000 di antaranya telah dipesan dan bersifat mengikat, sementara 334 juta lainnya menjadi opsi tambahan dengan jumlah total mencapai 663.504.000 vaksin yang didatangkan ke Indonesia sejak Desember 2020 hingga kuwartal pertama 2022.
Menurut Menkes Budi, Indonesia bisa dianggap menang dalam pertempuran pandemi COVID-19 apabila program vaksinasi telah diterima minimal 70 persen populasi penduduk.
Dalam buku bertajuk "Herd Immunity": A Rough Guide yang ditulis oleh Paul Fine, Ken Eames dan David L Heymann, dijelaskan istilah 'herd immunity' atau kekebalan kelompok pertama kali digunakan pada 1923.
Kekebalan kelompok diakui sebagai fenomena yang terjadi secara alami pada 1930-an berdasarkan pengamatan bahwa mayoritas anak menjadi kebal terhadap campak setelah muncul vaksinasi massal. Jumlah infeksi baru ternyata menurun untuk sementara waktu, termasuk di antara anak-anak yang rentan.
Sejak saat itu, vaksinasi massal umum dilakukan untuk memicu timbulnya kekebalan kelompok dan terbukti berhasil mencegah penyebaran banyak penyakit menular.
Menurut Profesor Gypsyamber D’Souza dari Johns Hopkins University, kekebalan komunal terbentuk ketika hampir seluruh orang dari sebuah populasi memiliki kekebalan (imun) terhadap suatu penyakit.
Sebagai contoh, ketika 70 hingga 80 persen orang dalam satu populasi kebal terhadap penyakit, itu berarti empat dari lima orang yang berinteraksi dengan orang yang sakit, tidak akan ikut jatuh sakit karena sudah memiliki kekebalan tubuh.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kemungkinan penyebaran penyakit rendah, sehingga tidak lagi menyebabkan banyak kasus. Pada tahap inilah herd immunity terbentuk.
Medan tempur bersiap menuju "herd Immunity"
Minggu, 2 Mei 2021 11:36 WIB