Jakarta (ANTARA) - Pemerintah resmi menaikkan batas penghasilan kena pajak (PKP) orang pribadi dari sebelumnya Rp50 juta per tahun menjadi Rp60 juta per tahun dengan tarif PPh sebesar 5 persen melalui pengesahan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang.
“Pemerintah menaikkan lapisan penghasilan orang pribadi atau bracket yang dikenai tarif PPh terendah 5 persen dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta,” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam Sidang Paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis.
Yasonna menyatakan perubahan atas UU Pajak Penghasilan ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan.
Sementara itu untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap yaitu Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk orang pribadi lajang dan tambahan Rp4,5 juta diberikan untuk WP yang kawin dan masih ditambah Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal tiga orang.
Ini artinya masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar pajak penghasilan sama sekali.
Menurutnya, melalui dinaikkannya batas lapisan tarif terendah ini justru membuat masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah mendapat benefit membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.
Sebagai ilustrasi, WP orang pribadi dengan penghasilan Rp9 juta per bulan yang sebelumnya harus membayar sebesar Rp3,4 juta setahun kini cukup hanya membayar PPh sebesar Rp2,7 juta setahun.
Di sisi lain, pemerintah menambah lapisan teratas dengan tarif sebesar 35 persen untuk penghasilan orang pribadi di atas Rp5 miliar dalam rangka memberi keadilan bagi yang lebih mampu untuk membayar pajak lebih besar.
Hal ini juga tercermin dalam pengaturan kembali natura atau fringe benefit yaitu pemberian natura untuk pegawai tertentu atau kalangan tertentu ditetapkan menjadi obyek pajak penghasilan bagi penerimanya.
Dalam UU HPP juga menegaskan keberpihakan terhadap pelaku usaha UMKM baik orang pribadi maupun badan yaitu bagi WP Orang Pribadi UMKM diberikan insentif berupa batasan penghasilan tidak kena pajak atas bagian dari peredaran bruto Rp500 juta setahun.
“Ini artinya para pengusaha kecil tersebut tidak membayar pajak sebagai pemihakan nyata dan bagi WP Badan UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh Badan dalam Pasal 31E,” ujarnya.
Kemudian sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh namun tetap dapat menjaga iklim investasi, tarif PPh Badan tetap sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN sebesar 22,17 persen, negara-negara OECD 22,81 persen, negara-negara Amerika 27,16 persen dan negara-negara G-20 24,17 persen.
Selain itu, UU HPP turut memberikan payung hukum untuk penerapan pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (GloBE) bagi perusahaan multinasional.
“Ini sebagai implementasi kesepakatan perpajakan internasional dalam rangka mencegah dan mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),” katanya.
Pemerintah juga tidak mencantumkan ketentuan mengenai Pajak Minimum Alternatif (Alternative Minimum Tax/AMT) dan General Anti Avoidance Rule (GAAR) dalam UU ini agar kondisi kegiatan usaha dan iklim investasi tetap kondusif.
Yasonna memastikan pemerintah akan tetap melakukan langkah-langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melalui kerja sama internasional untuk melindungi basis pajak.
“Sekaligus kepentingan penerimaan negara dari praktik-praktik penghindaran pajak,” tegasnya.