Jakarta (ANTARA) - Banjir bukan sekadar bencana bagi warga Jakarta, melainkan sebuah episode yang tak terpisahkan dalam kisah hidup banyak warga DKI karena hampir terjadi setiap tahun pada musim hujan.
Selama beberapa pekan terakhir, suara langit ibu kota bergemuruh, memanggil hujan untuk mengetuk atap-atap kota. Sementara angin yang berembus membawa pesan bahwa musim hujan telah tiba.
Saat itu pula, pertanda warga Jakarta harus bersiap merangkul air dalam pelukan kehidupan. Seperti yang terlontar dari Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, "Jakarta tidak bisa terhindar dari banjir".
Letak geografis yang memihak pada air memang membuat Jakarta rentan akan banjir. Letaknya berada di dataran rendah antara hulu sungai dan pesisir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan ada tiga penyebab utama banjir di Jakarta.
Pertama, banjir hujan lokal. Hujan dengan intensitas tinggi dalam durasi yang lama di wilayah Jakarta akan mengisi saluran-saluran air dan daerah cekung. Jika tidak tertampung lagi, air akan meluap hingga menyebabkan banjir.
Selain itu, drainase kota dirancang untuk curah hujan maksimal 120 mm/hari, namun bila hujan ekstrem melebihi kapasitas tersebut, dataran akan terendam air bah.
Contohnya pada 1 Januari 2020, curah hujan Jakarta mencapai 377 mm/hari dan merupakan yang tertinggi selama 24 tahun terakhir. Akibatnya, banjir pun melanda sebagian besar wilayah ibu kota.
Kedua, banjir kiriman. Jakarta, dengan 13 aliran sungai, bisa terendam banjir jika hujan melanda hulu sungai di Jawa Barat dan Banten. Aliran sungai meluap dan mengakibatkan banjir di Jakarta.
Hal inilah yang membuat sungai yang bermuara di Jakarta meluap dan mengakibatkan banjir. Pada saat kondisi tertentu kapasitas aliran sungai di Jakarta tersebut tidak cukup menampung air, sehingga terjadi limpasan di beberapa bantaran sungai di Jakarta.
Ketiga, banjir rob. Selain karena hujan dan kiriman debit air dari hulu, Jakarta juga rentan terkena pasang air laut atau rob.
Hal ini biasanya terjadi di wilayah pesisir atau tepi laut Jakarta. Kini, di samping karena pasangnya air laut, penurunan muka tanah di utara Jakarta juga memengaruhi meningkatnya banjir akibat rob.
Tak heran, bila setiap tahun banjir melanda ibu kota dan setiap tahun pula para pemangku kepentingan tak bosan mengingatkan masyarakat untuk bersiap menghadapi banjir ketika musim hujan tiba.
Pengendalian
Meskipun banjir sepertinya tak terelakkan, Pemprov DKI Jakarta tidak pernah menyerah untuk terus mengendalikan air bah.
Pemprov DKI mengimplementasikan tiga sistem utama yaitu melalui sistem drainase utama, kedua drainase, dan ketiga sistem waduk-pompa.
Sistem drainase utama dibagi menjadi di bagian Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Hujan lokal pun akan dialirkan secara gravitasi ke sistem drainase kedua yang kemudian dibuang ke sistem utama hingga berakhir di laut.
Sistem waduk-pompa membantu menyedot air yang menggenang dan mengembalikannya ke aliran sungai.
Saat ini, Dinas SDA Provinsi DKI memiliki 549 unit pompa permanen/statis (stasioner) di 195 lokasi, pintu air sebanyak 799 unit di 547 lokasi, pompa bergerak (mobile) sebanyak 566 unit.
Fungsi utama pompa-pompa ini adalah untuk memompa air dari tempat rendah ke tempat tinggi sehingga dapat memitigasi banjir dengan menyedot air yang menggenang dan mengalirkan ke tempat yang seharusnya, seperti sungai.
Pemprov DKI juga menyiagakan alat berat untuk mitigasi banjir, seperti untuk pengerukan waduk/situ/embung, kali/sungai, dan saluran air. Saat ini, Pemprov DKI Jakarta memiliki 240 unit alat berat.
Dalam upaya mengendalikan banjir, Pemprov DKI Jakarta membagi strategi menjadi tiga fase: pra-banjir, saat banjir, dan setelah banjir.
Pra-banjir melibatkan pengerukan sungai, normalisasi kali/sungai, optimalisasi danau dan waduk, penerapan sistem polder, pembangunan kolam retensi, sumur resapan, dan ruang terbuka hijau.
Saat banjir, operasi pompa pengendali banjir dijalankan, dan satuan tugas ditempatkan di titik genangan. Setelah banjir, pompa tetap disiagakan untuk membersihkan lokasi terdampak.
Kawasan pesisir Jakarta yang rentan terhadap banjir rob mendapat perhatian khusus. Pemprov DKI Jakarta bersama Kementerian PUPR terus berkolaborasi dalam pembangunan tanggul pengaman pantai dan muara kali (NCICD Fase A).
Proyek ini melibatkan pembangunan tanggul pengaman pantai sepanjang 37,356 km, dengan sebagian besar sudah dibangun, sementara sisanya dalam proses konstruksi.
Selain tanggul pantai, proyek infrastruktur lain seperti Sodetan Ciliwung juga dipercepat untuk mengatasi banjir di beberapa kawasan Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta membebaskan lahan untuk proyek ini, yang diharapkan dapat mengatasi risiko banjir di beberapa kawasan, termasuk Bidara Cina, Kampung Melayu, Manggarai, dan sekitarnya.
Terkini
Melihat situasi terkini, BMKG memberikan data tentang puncak curah hujan di wilayah DKI yang diperkirakan terjadi pada Februari 2024.
Pemprov DKI Jakarta telah bergerak untuk mengantisipasi potensi risiko banjir dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta bersiaga hingga level kelurahan.
Edukasi kepada warga tentang persiapan menghadapi banjir, seperti cara membuat tenda, dan pemasangan rambu-rambu kebencanaan di daerah rentan, telah dilakukan.
BPBD DKI juga memastikan kesiapan logistik, termasuk perahu, untuk digunakan dalam situasi bencana. Strategi ini mencakup upaya pencegahan, respons selama banjir, dan rehabilitasi setelah banjir.
Kawasan Jakarta Utara yang rentan terhadap banjir rob mendapat perhatian khusus, dengan edukasi tentang siklus alam seperti pasang surut yang penting untuk pemahaman masyarakat.
Pemprov DKI Jakarta terus berupaya mencari solusi menyeluruh untuk mengatasi masalah banjir yang telah menjadi bagian dari kisah hidup warga ibu kota.
Melalui proyek infrastruktur pengendalian banjir yang berkelanjutan, edukasi masyarakat, dan kerja sama lintas sektoral, dampak banjir makin bisa dikendalikan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jakarta yang terus berjuang menuntaskan masalah banjir