Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan semua pihak wajib memberikan kontranarasi dan menjelaskan persoalan mengenai propaganda khilafah kepada publik mengingat saat ini pendekatan penyebaran ideologi tersebut mulai beragam, khususnya kepada generasi muda.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Muhammad Najih Arromadloni mengatakan salah satu pendekatan tersebut diduga dilakukan melalui peringatan Isra Mi'raj yang dibungkus dalam sebuah acara akbar bertema "Metamorfoshow: It’s Time to be Ummah" di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa hari lalu.
"Para akademisi, santri, maupun tokoh agama memiliki kewajiban yang sama untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai bahaya propaganda khilafah," ujar pria yang akrab disapa Gus Najih itu dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan bahwa seruan penegakan khilafah tidak lebih dari kampanye politik dan bukan kewajiban agama seperti yang diserukan oleh kelompok radikal.
Acara Metamorfoshow: It’s Time to be Ummah diduga menjadi sarana bagi organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mendulang dukungan dan kaderisasi generasi muda Indonesia. Sekitar 1.200 anak muda menghadiri acara itu.
Dalam acara tersebut, kata Gus Najih, bisa dilihat jika ada beberapa bendera HTI yang dikibarkan dan bahkan figur penting HTI, seperti Ismail Yusanto juga terlihat hadir.
Dengan demikian, menurutnya, terselenggaranya acara Metamorfoshow menunjukkan bahwa HTI mampu mengemas pendekatannya terhadap masyarakat Indonesia dengan kemasan yang lebih menarik dibandingkan sebelumnya
Ia menjelaskan bahwa dalam ajaran agama, perintah mendirikan khilafah sebenarnya tidak ada. Terminologi khilafah yang tertulis dalam kitab para ulama terdahulu, sejatinya sudah terwakili dalam model pemerintahan yang ada saat ini.
Oleh karenanya, Gus Najih menekankan bahwa tugas penting berikutnya terletak pada kesiapan aparat penegak hukum dalam melindungi jalannya NKRI.
"Apabila suatu organisasi telah dilarang oleh pemerintah, seperti HTI, maka seharusnya segala penggunaan simbol atau atribut organisasi tersebut secara otomatis juga dilarang, termasuk dalam acara di TMII itu," jelasnya.
Bahkan, sambung Gus Najib, sudah ada beberapa organisasi masyarakat, seperti Komunitas Tionghoa Anti-Diskriminasi (KTAD) dan Gerakan Pemuda Ansor yang membuat laporan kepolisian untuk memperkarakan acara tersebut.
"Sekarang pertanyaannya tinggal apakah aparat penegak hukum mau bekerja atau tidak. Selama aparat penegak hukum tidak bekerja dengan efektif maka penindakan gerakan atau organisasi radikal akan menjadi susah karena kontra narasi saja tidak cukup," katanya menambahkan.
Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Timur telah memeriksa manajemen TMII dan penyelenggara acara Metamorfoshow: It's Time to be One Ummah yang diduga digelar oleh eks organisasi HTI di Teater Tanah Airku, TMII.
"Dari panitia penyelenggara sudah dimintai keterangan. TMII juga sudah memberikan keterangan, namun saat ini masih dalam penyelidikan," kata Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Polisi Nicolas Ary Lilipaly di Rawa Badung, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Jumat (23/2).
Nicolas menjelaskan penyelenggara acara itu telah meminta izin keramaian kepada Polsek Cipayung mengenai kegiatan peringatan Isra Mi'raj di TMII. Namun, dalam izin keramaian tidak ada penggunaan simbol-simbol atau nama organisasi terlarang di Indonesia.
Dalam cuitan X dengan akun @chanzyeolk, kegiatan tersebut diduga dihadiri eks Juru Bicara HTI Ismail Yusanto, Influencer Gen Z HTI M. Ihsan Akbar, dan Produser Dokusinema Sejarah Islam "Jejak Khilafah di Nusantara" Akhmad Adiasta.
HTI merupakan kelompok yang dinilai pemerintah bertentangan dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Hingga akhirnya, HTI resmi dibubarkan dan dilarang pada 19 Juli 2017 dan ditegaskan oleh Kementerian Hukum dan HAM.