Jakarta (ANTARA) - Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman memperkirakan neraca transaksi berjalan kembali mengalami defisit pada 2024 dibandingkan dengan 2023 yang tercatat sebesar 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Di tengah harga-harga komoditas ekspor tertentu yang melemah, saldo neraca transaksi berjalan Indonesia tahun ini kami perkirakan akan bergerak lebih dalam ke arah defisit apabila dibandingkan dengan tahun lalu," kata Helmi dalam paparan ekonomi dan kinerja keuangan Citi Indonesia di Jakarta, Selasa malam.
Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi berjalan tahun 2023 mengalami defisit terkendali sebesar 1,6 miliar dolar AS atau 0,1 persen dari PDB. Sebelumnya pada 2022, transaksi berjalan Indonesia tercatat surplus sebesar 13,2 miliar dolar AS atau 1 persen dari PDB.
Adapun neraca pembayaran Indonesia (NPI) keseluruhan tahun 2023 tercatat surplus sebesar 6,3 miliar dolar AS, meningkat dari tahun sebelumnya yang surplus 4 miliar dolar AS.
Helmi memandang stabilitas neraca pembayaran Indonesia menjadi salah satu faktor penentu terhadap arah pergerakan bunga acuan BI selain dinamika inflasi.
"Neraca pembayaran Indonesia juga cenderung terpengaruh negatif oleh diferensial suku bunga rupiah dan dolar AS yang sekarang ini relatif ketat, dan ini terjadi sebagai akibat kenaikan suku bunga Fed Funds Rate," kata dia.
Helmi menjelaskan diferensial suku bunga yang ketat tersebut mengurangi insentif bagi eksportir untuk menukarkan devisa hasil ekspor ke rupiah.
Selain itu, diferensial suku bunga yang ketat juga mendorong korporasi yang memiliki pendanaan dalam dolar AS untuk melakukan refinancing menjadi pendanaan dalam mata uang rupiah. Kedua hal tersebut, kata Helmi, mempengaruhi keseimbangan suplai dan permintaan (supply-demand )di pasar valas domestik.
"Perkiraan kami ruang untuk penurunan bunga acuan Bank Indonesia baru akan terbuka apabila Federal Reserve di Amerika Serikat (The Fed) juga sudah memulai penurunan suku bunganya," kata dia.
Helmi mengatakan, penurunan suku bunga The Fed diperkirakan akan diiringi dengan arus modal masuk ke pasar obligasi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Capital inflow tersebut bisa menjadi faktor penyeimbang bagi pasar valas domestik di tengah adanya berbagai tantangan.
Hingga saat ini, imbuh Helmi, Citi sendiri masih memperkirakan bahwa penurunan suku bunga acuan AS atau Fed Funds Rate akan dimulai pada bulan Juni 2024.
"Walaupun penurunan inflasi di Amerika Serikat masih berjalan relatif lambat, kami berpandangan bahwa The Fed tetap akan menurunkan bunga acuannya dan ini akan dilakukan untuk memperkecil risiko terjadinya resesi di Amerika Serikat," ujar dia.
Citi juga memperkirakan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Amerika Serikat dalam beberapa bulan ke depan akan cenderung menunjukkan momentum yang melemah. Merujuk pada kondisi itu, ujar Helmi, maka terdapat potensi penurunan suku bunga The Fed yang lebih besar apabila dibandingkan dengan median perkiraan Dewan Gubernur The Fed yang saat ini berada di level 75 basis point.