Jakarta (ANTARA) - Penegakan hukum di negara hukum tidak boleh digiring oleh selera politik atau tekanan opini.
Hukum harus menjadi jangkar yang kokoh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan menjadi alat yang ditarik-ulur sesuai keinginan kelompok tertentu.
Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Artinya, semua tindakan kenegaraan, termasuk pergantian kekuasaan, harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Namun dalam praktiknya, pemahaman atas hukum masih sering dikaburkan oleh kepentingan dan persepsi moral yang tidak berdasar pada ketentuan hukum positif.
Contoh terbaru yang mencolok adalah munculnya wacana permakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, meskipun baru beberapa bulan dilantik bersama Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024.
Meskipun kemenangan pasangan Prabowo-Gibran tersebut telah ditetapkan sah dan bersifat konstitusional, baik secara politik maupun hukum, isu permakzulan tetap muncul.
Di sinilah pentingnya pemahaman mendalam terhadap hukum positif. Dalam konstitusi yang telah diamandemen, mekanisme pemakzulan hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang sangat terbatas.
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Halaman berikut: Prosedur dan proses pemakzulan
Prosedur tersebut pun harus melalui Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Presiden atau Wakil Presiden benar-benar terbukti secara hukum melakukan pelanggaran tersebut.
Dengan kata lain, proses permakzulan bukan produk emosi, opini, atau gerakan moral, tetapi bagian dari hukum positif yang tunduk pada pembuktian objektif dan prosedur formal.
Di sinilah relevansi pendekatan positivisme hukum menjadi penting. Auguste Comte, pelopor positivisme, meyakini bahwa hukum harus bersifat ilmiah, bebas dari spekulasi, dan didasarkan pada fakta empiris.
John Austin melanjutkan dengan menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari otoritas yang sah dan harus dipatuhi.
Sementara Hans Kelsen memperdalamnya dalam teori hukum murni, di mana hukum harus dibersihkan dari ideologi dan nilai-nilai moral subjektif.
Bagi Kelsen, hukum positif, ius constitutum, adalah satu-satunya hukum yang berlaku saat ini, ditetapkan oleh otoritas negara melalui prosedur konstitusional yang sah.
Jika pendekatan ini digunakan untuk menilai wacana permakzulan terhadap seorang pejabat, maka jelas bahwa ide tersebut harus memiliki dasar hukum positif yang memadai.
Harus ada bukti yang menyatakan ia melakukan pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana berat.
Tuduhan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi cacat, atau bahwa pencalonan yang tidak sah, harus diuji di jalur hukum dan dinyatakan tidak melanggar ketentuan.
Oleh karena itu, membawa isu ini kembali ke ranah hukum berpotensi hanya akan mencederai integritas sistem hukum itu sendiri.
Semua pihak harus menyadari bahwa dalam sistem civil law seperti yang dianut Indonesia, hukum dibentuk oleh lembaga legislatif dan dijalankan oleh eksekutif, dengan pengawasan dari yudikatif.
Halaman berikut: Hukum tertulis sebagai sumber utama
Hukum Positif
Hukum tertulis adalah sumber utama. Produk hukum seperti UUD, UU, dan peraturan turunannya adalah hukum positif yang mengikat.
Ketika semua tahapan formal telah dilalui, mulai dari penetapan pencalonan, pelaksanaan pemilu, penghitungan suara oleh KPU, hingga pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, maka hasilnya sah secara konstitusional.
Tidak ada ruang untuk membatalkannya hanya berdasarkan ketidakpuasan politik atau perasaan tidak adil.
Jika hukum bisa dibatalkan hanya karena ada narasi yang dibangun di ruang publik tanpa pembuktian formal, maka bangsa ini bukan sedang hidup dalam negara hukum, melainkan dalam negeri dongeng, di mana mimpi dan imajinasi bisa menggeser norma dan aturan.
Ini berbahaya karena akan melemahkan fondasi penegakan hukum dan menjadikan negara mudah terguncang oleh konflik yang tidak produktif.
Justru yang lebih mendesak hari ini adalah memperkuat institusi penegak hukum agar independen, profesional, dan mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Bukan malah melemahkan hukum dengan wacana yang tidak berdasar. Kritik terhadap pemerintah tentu penting dalam demokrasi, tetapi harus disampaikan dalam kerangka hukum, dengan dasar konstitusional, dan bukan dengan mengoyak sistem dari dalam.
Penegakan hukum yang kuat adalah pelindung utama bagi semua pihak, termasuk bagi mereka yang berada dalam oposisi.
Oleh karena itu, ini saatnya untuk menjaga hukum dengan akal sehat dan kesadaran sebagai warga negara.
Jangan merusak tatanan yang telah disusun dengan susah payah hanya karena ketidakpuasan sesaat.
Pemakzulan, misalnya, adalah instrumen konstitusional yang luar biasa, bukan senjata politik yang bisa digunakan sewaktu-waktu.
Jika ada pelanggaran, maka buktikan melalui proses hukum. Tapi jika hanya ada perbedaan pandangan atau kekecewaan, maka salurkan melalui jalur demokrasi lainnya, bukan dengan merusak legitimasi hukum itu sendiri.
Negara hukum hanya akan kuat jika seluruh elemen masyarakat bersedia menempatkan hukum sebagai rujukan tertinggi, bukan sekadar perhiasan dalam pidato dan kampanye.
Masyarakat harus semakin dewasa dalam berdemokrasi dan bertanggung jawab dalam membangun bangsa.
Jika terus membiarkan hukum dikendalikan oleh opini, bukan oleh norma, maka yang dihadapi bukan lagi pemerintahan yang lemah, tetapi negara yang kehilangan arah. Ketika itu terjadi, hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan hanya mitos yang terus diperdagangkan di pasar opini publik.
*) Penulis adalah Koordinator Tim Hukum Merah Putih.