Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Robert J. Kardinal mengajak masyarakat Indonesia untuk memberikan masukan terkait revisi Undang-Undang Kehutanan guna mengatasi berbagai persoalan yang membayangi tata kelola hutan di Indonesia.
“Komisi IV sudah membentuk Panja Revisi UU Kehutanan. Kami mengundang kampus, LSM, Walhi, Greenpeace, semua pihak yang peduli. Ini penting untuk masa depan pengelolaan hutan kita,” kata Robert dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan berbagai kerusakan lingkungan, termasuk maraknya kayu hanyut saat banjir di wilayah utara Sumatera, merupakan indikator nyata dari ketidakberesan pengelolaan hutan.
Menurut Robert, masalah paling mendasar terlihat dari tata kelola penebangan dan pemanfaatan kayu oleh berbagai jenis perusahaan. Penanganan kayu hasil hutan berbeda-beda antara perusahaan hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), dan perusahaan sawit.
Ia menjelaskan pada perusahaan sawit, pembukaan lahan dilakukan secara total tanpa tebang pilih. Kayu-kayu besar dijual karena bernilai tinggi, sementara batang kecil dan cabang ditumpuk di tepi areal dan akhirnya hanyut saat banjir.
“Yang paling parah itu sawit. Mereka tebang habis, sampai akarnya dicabut. Banyak yang membuat IPK (izin pemanfaatan kayu) untuk mengakali aturan, supaya kayu yang masih bermanfaat bisa dijual kembali,” tuturnya.
Kondisi serupa, sambung Robert, terjadi pada kawasan HTI. Ia menyebut kondisi ini menjadi salah satu penyebab utama melimpahnya kayu hanyut dalam peristiwa banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Namun, dia menilai persoalan terbesar bukan semata kayu hanyut, melainkan tidak adanya praktik reboisasi oleh pemegang izin HPH maupun perusahaan yang mengelola kawasan hutan lainnya.
Dia lanjut mengatakan bahwa pada era Orde Baru, dana jaminan reboisasi (DJR) menjadi instrumen utama untuk menanam kembali pohon. Dana tersebut dikelola di Kementerian Kehutanan dan daerah.
Akan tetapi, sejak reformasi dan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja pada 2014, dana reboisasi dialihkan ke Kementerian Keuangan. Dana tersebut, menurut Robert, tidak lagi digunakan untuk penanaman kembali hutan.
“Coba cari perusahaan HPH yang betul-betul lakukan reboisasi, tidak ada,” katanya.
Hal serupa juga dipandang terjadi pada dana provisi sumber daya hutan (PSDH). Robert menyebut kondisi ini sebagai “masalah besar” karena tata kelolanya belum maksimal sehingga harus diperbaiki dalam revisi UU Kehutanan.
Di samping itu, dia juga menyinggung dampak tumpang tindih kebijakan. Menurutnya, perubahan status kawasan hutan kini tidak lagi melibatkan tim terpadu (Timdu) yang beranggotakan 19 instansi bersama Komisi IV DPR.
Ia mengatakan tidak sedikit daerah menurunkan status hutan langsung menjadi area penggunaan lain (APL) sehingga kepala daerah memiliki kewenangan besar mengeluarkan izin penguasaan hak atas tanah (PHAT) dan IPK tanpa mekanisme amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang memadai.
Kondisi demikian, kata dia, berkontribusi besar pada kerusakan hutan karena mekanisme kontrol dan kajian lingkungan menjadi lemah.
Robert turut menyoroti kebijakan larangan ekspor kayu log yang sudah berlaku sejak 1990-an. Hilirisasi yang seharusnya menjadi tujuan utama justru tidak berjalan.
Dia mendorong agar revisi UU Kehutanan harus memperbaiki berbagai kesalahan aturan yang menyebabkan kehancuran hutan selama ini. Salah satu poin pentingnya, kata dia, yaitu pengembalian pengelolaan dana reboisasi ke Kementerian Kehutanan, dengan pembagian komposisi anggaran yang jelas antara pusat, provinsi, dan kabupaten.
“Seperti di Papua, dapil saya, itu sudah jelas pengaturan dana reboisasi itu 60 persen yang berasal dari dana bagi hasil, tapi daerah lain kan belum. Ini harus diperbaiki,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menegaskan solusi persoalan kehutanan bukan dengan saling menyalahkan, melainkan mencari perbaikan menyeluruh berbasis masukan dari seluruh lapisan masyarakat.
