Manado (ANTARA Kalbar) - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar minta kepada pemimpin dan pemuka agama jangan sekadar menjadi "pemadam kebakaran" jika ada persoalan umat, tapi harus memberikan kontribusi lebih luas bagi kesejahteraan umat.
Pernyataan itu ia sampaikan ketika memberikan arahan di hadapan sejumlah pejabat pada acara "Optimaliasi Progam Kerja PKUB dan Kanwil Kemenag se-Indonesia dalam upaya peningkatan kerukunan umat Beragama" di Manado, Sulut, Senin.
Pemimpin agama, katanya, jangan pula jadi penonton dalam menghadapi dinamika masyarakat. Mereka harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan karena pemimpin agama, di tiap daerah, paling mengerti akan kebutuhan umat bersangkutan.
Ia mencontohkan, ketika pemerintah menggulirkan program keluarga berencana atau KB di era orde baru, umat banyak melakukan protes. Pemerintah, saat itu, dengan arogansinya memaksakan pendapatnya dengan argumentasi bahwa KB harus berjalan karena penduduk dunia bakal kekurangan pangan.
Bahasa yang digunakan pemerintah untuk program KB pun tak menyentuh rakyat. Namun, setelah pemerintah memperhatikan dan mendengar para sosiolog, pelaksanaan program KB strateginya diubah. Ulama dan pemuka agama lain dilibatkan. Maka, selanjutnya, program KB lebih banyak menggunakan pendekatan agama, paparnya, menjelaskan.
Karena itu, lanjut Nasaruddin, KB sukses dan Indonesia pun dapat penghargaan dari PBB. Semua itu berhasil lantaran proses pelaksanaannya menggunakan bahasa agama.
Terkait dengan peran ulama ke depan, ia berharap semua pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan menyangkut kepentingan umat hendaknya para pemimpin agama dilibatkan. Prosesnya dari hulu hingga hilir, pemuka agama harus tahu.
Jadi, bukan sekadar sebagai pemadam kebakaran. Alasan lain pentingnya pemimpin agama dalam proses pembuatan kebijakan, karena merekalah yang paling mengerti akan kebutuhan umat di lapangan.
Pemimpin agama jangan diajak bicara setelah muncul akibat dari berbagai persoalan yang timbul. Tapi, pinta Wamenag, diajak bicara tatkala kemungkinan dari sebab dari pokok persoalan.
(E001)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Pernyataan itu ia sampaikan ketika memberikan arahan di hadapan sejumlah pejabat pada acara "Optimaliasi Progam Kerja PKUB dan Kanwil Kemenag se-Indonesia dalam upaya peningkatan kerukunan umat Beragama" di Manado, Sulut, Senin.
Pemimpin agama, katanya, jangan pula jadi penonton dalam menghadapi dinamika masyarakat. Mereka harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan karena pemimpin agama, di tiap daerah, paling mengerti akan kebutuhan umat bersangkutan.
Ia mencontohkan, ketika pemerintah menggulirkan program keluarga berencana atau KB di era orde baru, umat banyak melakukan protes. Pemerintah, saat itu, dengan arogansinya memaksakan pendapatnya dengan argumentasi bahwa KB harus berjalan karena penduduk dunia bakal kekurangan pangan.
Bahasa yang digunakan pemerintah untuk program KB pun tak menyentuh rakyat. Namun, setelah pemerintah memperhatikan dan mendengar para sosiolog, pelaksanaan program KB strateginya diubah. Ulama dan pemuka agama lain dilibatkan. Maka, selanjutnya, program KB lebih banyak menggunakan pendekatan agama, paparnya, menjelaskan.
Karena itu, lanjut Nasaruddin, KB sukses dan Indonesia pun dapat penghargaan dari PBB. Semua itu berhasil lantaran proses pelaksanaannya menggunakan bahasa agama.
Terkait dengan peran ulama ke depan, ia berharap semua pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan menyangkut kepentingan umat hendaknya para pemimpin agama dilibatkan. Prosesnya dari hulu hingga hilir, pemuka agama harus tahu.
Jadi, bukan sekadar sebagai pemadam kebakaran. Alasan lain pentingnya pemimpin agama dalam proses pembuatan kebijakan, karena merekalah yang paling mengerti akan kebutuhan umat di lapangan.
Pemimpin agama jangan diajak bicara setelah muncul akibat dari berbagai persoalan yang timbul. Tapi, pinta Wamenag, diajak bicara tatkala kemungkinan dari sebab dari pokok persoalan.
(E001)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012