Perempuan berkaca mata itu menyadari, keinginan untuk menjadi seorang guru atas kemauannya sendiri. Karena itu, ketika menghadapi banyak risiko, dia bisa melaluinya tanpa kendala berarti.

Ia masih ingat betul ketika tahun-tahun pertama bekerja sebagai guru di perbatasan tersebut. Ia hanya menerima gaji pokok sebesar Rp500 ribu sedangkan total gaji yang diterima setiap bulannya Rp700 ribuan. Gaji sebesar itu ia terima selama tiga tahun pertama.

Padahal dia juga masih harus kuliah di Universitas Terbuka.

Untuk menuju tempat kuliah di Seluas dan Sanggau Ledo, ia harus menempuh perjalanan darat dengan naik gunung ke gunung (perbukitan setempat) dengan menempuh perjalanan pergi dan pulang selama delapan jam. Setiap berangkat kuliah harus pukul 04.00 WIB karena masuk kuliah jam 08.00 WIB.

Karena kuliah di universitas terbuka, maka waktu pertemuan satu semester hanya delapan kali, setiap Sabtu dan Minggu. Dan ujian praktiknya pada hari Jumat dan Sabtu. Susana menyelesaikan kuliah Strata 1 pada tahun 2011.

Sejak tahun 2007 ia sudah memiliki motor pribadi. Sehingga tidak perlu lagi menumpang ojek Rp80 ribu untuk sekali angkut. Sebelum itu, ketika hendak keluar kampung untuk kepentingan rapat guru, mengambil gaji atau pun mengikuti pelatihan ia selalu naik ojek dengan ongkos pergi pulang Rp160 ribu.

"Ingat yang nyuruh jadi guru, karena kemauan kita sendiri dan bukan dari orang, maka apapun risikonya harus dihadapi," kata ibu dua anak itu.

Kini  istri Fransiskus Sarkawi itu sudah bisa bernapas lega. Karena gaji yang diterimanya sudah lebih memadai. Apalagi setiap guru di perbatasan juga mendapatkan tunjangan perbatasan.

Tunjangan perbatasan sebesar Rp13 juta setahun dan selalu diterima dengan lancar. "Tunjangan setahun sekali di ambil di bank atau kantor pos," katanya tersenyum. Dia pun sudah melunasi kredit motor.

Susana yang sudah mengabdi selama sembilan tahun, kini merasa senang dan bangga. "Sukanya, terkadang sedang mengajar mau marah, tapi senang juga," katanya lagi.

Dia juga merasa betah mengajar di sekolah tersebut. Karena para guru yang mayoritas beragama Islam dan suku Melayu, tidak membeda-bedakan dirinya yang seorang Bidayuh.

Untuk meningkatkan prestasi belajar para pelajar di perbatasan, dia mengatakan, sangat tergantung pada guru yang mengajar anak didik tersebut. "Kalau bagus mengajar, tentu bagus pula hasilnya," katanya.

Khusus SDN 05 Saparan, sebanyak sembilan murid yang mengikuti ujian pada tahun 2011 berhasil lulus semua. Untuk tahun ini, ada 16 anak yang ikut ujian dan sedang menunggu pengumuman kelulusan tersebut.

Dia menyebut jika berdasarkan usia sekolah, maka rata-rata anak Desa Kumba kini sudah bersekolah di SD setempat. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan pada beberapa tahun lalu, dimana masih ada yang "drop out" atau berhenti sekolah saat kelas dua dan tiga. Alasan tidak masuk sekolah, biasanya karena mesti berladang atau mengasuh adik. "Tetapi sekarang tidak lagi, kayaknya sudah semakin sadar," katanya.

Rata-rata murid SD di perbatasan tersebut, melanjutkan studinya ke ibu kota kabupaten di Kota Bengkayang atau ke Kota Singkawang.

Kini, Susana menaruh harapan besar kepada murid-muridnya, untuk tidak banyak melakukan kegiatan di luar yang dapat mengganggu proses belajar. "Untuk siswa supaya belajar, jangan selalu ditekankan guru, tetapi harus punya kesadaran sendiri," kata dia lagi.

Sementara kepada pemerintah baik pusat maupun daerah, dia meminta agar dibangunkan perumahan dan penginapan bagi para guru yang mengajar di daerah perbatasan, memadai dan tidak jauh dari sekolah. Fasilitas pendidikan seperti bangunan sekolah hendaknya dilengkapi dengan wc, bak air, dan juga fasilitas listrik.

Harapan guru tersebut, tampaknya akan segera terwujud. Karena Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, telah menetapkan 14 kecamatan di Kalbar sebagai lokasi prioritas pembangunan di perbatasan. Kecamatan Jagoi Babang menjadi salah satu dari 14 lokasi prioritas tersebut.  

(N005)

Pewarta:

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012