Denpasar (ANTARA Kalbar) - Indonesia menggalang dukungan negara maju dan negara berkembang untuk memperpanjang Protokol Kyoto tentang pengurangan efek gas rumah kaca yang habis masa berlakunya pada November 2012.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Rabu mengatakan, penggalangan dukungan itu dilakukan melalui Dialog Cartagena Ke-9 di Sanur, Denpasar, pada 17-19 Oktober 2012 yang dihadiri 65 delegasi dari 29 negara.

"Yang paling krusial dalam pertemuan ini adalah bagaimana menindaklanjuti Protokol Kyoto dan konsep perpanjanganya nanti dibawa ke Konferensi Perubahan Iklim di Doha, Qatar, akhir tahun ini," kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar.

Kalau pun di Doha ada negara-negara yang mengusulkan penggantian Protokol Kyoto, maka dia berharap isinya masih mengacu pada Bali Road Map dan Bali Action Plan yang disepakati negara-negara peserta Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, pada Desember 2007.

Dalam Bali Road Map itu disebutkan bahwa negara-negara maju yang selama ini memberikan kontribusi terbesar efek gas rumah kaca itu berkewajiban memberikan bantuan kepada 120 negara berkembang.

"Sampai sekarang bantuan itu tidak direalisasikan oleh negara-negara maju yang punya histori melakukan kejahatan lingkungan. Namun, sayangnya banyak negara-negara maju termasuk Amerika Serikat menolak keputusan dalam Protokol Kyoto itu," kata Rachmat selaku Ketua Delegasi Indonesia dalam Dialog Cartagena  Ke-9.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu juga mengajak negara-negara berkembang untuk mendesak Amerika Serikat mematuhi dan menjalankan Protokol Kyoto karena negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sudah berhasil menurunkan gas rumah kaca hingga 26 persen.

"Amerika Serikat meminta penurunan emisi karbonnya 17 persen, padahal semestinya 40 persen. Kami memaklumi hal itu, tapi Amerika Serikat juga harus membuktikan kemampuannya mengurangi emisi karbonnya," katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa pengurangan gas rumah kaca tidak berarti pembangunan ekonomi tersendat. "Pembangunan itu perlu energi, tapi bukan berarti energi itu dihabiskan begitu saja. Saat ini ada 76 proyek yang menjalankan pedoman emisi gas rendah," ujarnya.

Rachmat mengklaim bahwa komitmen pemerintah Indonesia mengurangi gas rumah kaca mendapat sambutan luar biasa dari negara-negara lain, apalagi pengurangannya bisa mencapai 26 persen ditambah dengan dukungan dana APBN untuk merealisasikan upaya tersebut.

Beberapa upaya untuk mengurangi emisi karbon yang dilakukan pemerintah saat ini adalah program pelestarian lingkungan, penghentian pembalakan hutan baik legal maupun ilegal, dan penggunaan energi panas bumi (geotermal) sebagai energi alternatif.

Beberapa delegasi yang mengikuti Dialog Cartagena Ke-9 di Denpasar adalah kalangan pejabat pembuat kebijakan tentang perubahan iklim di negaranya masing-masing.

"Yang hadir dalam pertemuan ini ada menteri, wakil menteri, dan pemegang kendali kebijakan perubahan iklim. Tapi pertemuan ini bukan 'ministerial meeting'," kata Rachmat yang juga utusan khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim tersebut.

(M038)

   

Pewarta:

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012