Jakarta telah memilih dan memiliki gubernur-wakil gubernur baru, Jokowi-Ahok. Sejak awal hingga pasca-Pilkada 'Jakarta' menjadi pusaran dan atmosfir pembicaraan hampir di seluruh pelosok Republik ini. Apapun yang terjadi, jelas akan kentara mempengaruhi kehidupan bangsa ini.
Problem Jakarta menunggu ‘aksi’ gubernur ‘kotak-kotak’ ini. Namun, kita tidak bisa menyandarkan semua masalah hanya kepada seorang Jokowi.
Persoalan Jakarta merupakan masalah nasionalyang teramat kompleks, dan magnet nasional lantaran di provinsi ini menjadi ibukota negara sekaligus posisi pusat pemerintahan. Perlu peran dan kemauan serta campur tangan yang signifikan dari pemerintah pusat.
Wacana perpindahan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke luar Jawa pernah menguat. Keinginan ini perlu disikapi dengan kajian lebih arif tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Sejumlah pakar dan aktivis dari tata ruang, lingkungan, pengusaha, politikus dan pejabat pusat dan daerah memberikan pendapat termasuk media cetak dan elektronik sempat gencar mempublikasinya.
Ini menunjukan ada ‘kerisauhan’ dan ‘kepanikan’ terhadap kondisi Jakarta. Wacana ini ditangkap secara reaktif dan terkesan euphoria di sejumlah daerah di luar Jawa yang dengan tegas menyatakan siap menjadi ibukota Negara. Menjelang pilkada Gubernur DKI Jakarta esensi problem yang menjadi perdebatan tetap masih seputar penyakit kemacetan Jakarta yang menjadia menu utama pada setiap perdebatan dan silang pendapat.
Kita semua mafhum, kondisi kemacetan lalu lintas di Jakarta yang massif dirasakan sangat radikal dan bahkan (berdasarkan peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan) diprediksi akan lumpuh (macet) total mulai tahun 2014, banjir dimana-mana, ancaman gempa, krisis air serta diselimuti udara yang kotor menjadi alasan kuat mendorong berbagai pendapat atas wacana reposisi (baca : pemindahan) tersebut.
Jakarta kota yang berpenduduk lebih dari 14 juta jiwa dinilai mencemaskan untuk masa depan. Kualitas hidup di Jakarta dinilai menurun dimana tingkat pengangguran tinggi, angka kejahatan meningkat, pemukiman kumuh masih bertebaran dan rentan, polusi dan sanitasi buruk. Jakarta pun dianggap dalam kondisi sakit komplikasi sehingga tidak layak lagi menjadi pusat pemerintahan Negara. Bagaimanapun problematika kemacetan, mudah banjir dan lainnya yang melanda Jakarta sebagai ibukota Negara yang menjadi daerah tujuan utama secara mutatis mutandis juga akan menjadi problem bagi daerah-daerah lain karena berimplikasi luas secara nasional.
Sebagai bagian anak bangsa, saya tergerak untuk memberikan buah pikiran sebagai solusi jalan tengah alternative atas diskursus yang berkembang belakangan ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa membuka ruang diskusi pemikiran kita bersama mencari jalan keluar terbaik bagi problem krusial ini.
Dengan relokasi pusat pemerintahan ke dalam satu kawasan bersama akan berdampak lahirnya pusat-pusat pertumbuhan. Menurut Saya, pemindahan pusat pemerintah dari Jakarta, apabila dapat dilakukan dengan baik, punya efek positif, baik bagi Jakarta sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan.
Perpindahan pusat pemerintahan sendiri bukanlah hal baru. Indonesia sudah mengalami beberapa kali perpindahan tersebut. Pusat pemerintah pernah dipindahkan ke Bogor, Yogyakarta bahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada saat itu disebabkan dampak kondisi social politik yang serba dalam keadaan darurat di masa perjuangan dan kemerdekaan RI yang baru diraih.
Dalam konteks kekinian alasan dan argumen perpindahan ke luar Jawa tersebut menurut saya tidak relevan lagi, mengingat bukan dalam keadaan darurat (ancaman peperangan) seperti tempo dulu melainkan dalam keadaan damai dan era teknologi informasi yang maju.
Perlu diingat dan direnungkan, Indonesia bukanlah negara dengan wujud sebuah daratan yang luas seperti Australia, Jerman, Cina, India dan Amerika dimana letak posisi dan titik koordinat tengah menjadi sangat berpengaruh untuk menjadi pusat pemerintahan serta magnet jangkauan dan akses semua wilayah. Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga titik tengah tidaklah bisa menjadi patokan, dimana akan tetap menjadi jarak dan waktu bagi daerah lainnya di luar Jawa. Problem ini tidak semudah kita bayangkan.
Selain itu, sejumlah daerah di luar Jawa, struktur tanahnya tidak mampu dibangun gedung-gedung tinggi serta ada sebagian lain juga tidak bebas dari bencana yang secara empirik kita ketahui bersama.
Saya sepaham dengan berbagai pendapat beberapa ahli mengenai perpindahan pusat pemerintahan dalam satu kawasan bersama khususnya eksekutif, sedangkan legislatif dan yudikatif tidak perlu tergesa-gesa.
Saya cenderung berpendapat pusat pemerintahan sebaiknya tidak perlu terlalu jauh dari Jakarta. Provinsi Banten dapat menjadi pilihan pertama yang tidak terlalu jauh, namun berada di kawasan yang lebih mudah mengakses untuk menuju ke dan dari kawasan Bandara Soekarno-Hatta, yakni Kota atau Kabupaten Tangerang. Mengapa demikian?
Ada beberapa argumen yang perlu kita diskusikan bersama. Kita juga harus melihat manfaat dari berbagai aspek, tidak hanya pemerintah pusat saja, tetapi multi efek ikutannya yang berdampak luas terhadap pembangunan nasional pula.
Persoalannya, seandainya dipindahkan ke luar Jawa, maka sejumlah daerah di kawasan timur Indonesia harus menambah biaya perjalanan untuk transportasi atau sebaliknya. Selain itu juga akan memakan waktu yang lama sehingga tidak efektif serta efisien.
Dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara sekarang ini, perpindahan ke luar Jawa akan menjadi beban besar bagi negara lantaran harus memperkuat infrastruktur. Baik bandara, jalan, air bersih, listrik, gedung kantor pemerintah baru maupun fasilitas-fasilitas penunjang lain, belum lagi kondisi sosial dan budaya masyarakat.
Saya yakin negara bisa jauh lebih hemat terhadap penggunaan anggarannya. Begitu juga, daerah-daerah di wilayah Indonesia. Anggaran perjalanan dinasnya bisa jauh dipangkas serta waktu akan lebih efisien.
Bila letak kawasan pusat pemerintah tidak terlalu jauh aksesnya mudah terjangkau dari bandara, pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya terlalu besar untuk membangun dan melengkapi infrastruktur maupun fasilitas penunjang lainnya. Beberapa wilayah yang lebih cepat untuk akses ke Bandara Soekarno-Hatta juga masih cukup layak untuk dijadikan alternatif lokasi kawasan pusat kantor pemerintahan.
(Bersambung)
* Muda Mahendrawan, SH
Wakil Sekjen Pengurus APKASI Pusat
Saat ini Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Problem Jakarta menunggu ‘aksi’ gubernur ‘kotak-kotak’ ini. Namun, kita tidak bisa menyandarkan semua masalah hanya kepada seorang Jokowi.
Persoalan Jakarta merupakan masalah nasionalyang teramat kompleks, dan magnet nasional lantaran di provinsi ini menjadi ibukota negara sekaligus posisi pusat pemerintahan. Perlu peran dan kemauan serta campur tangan yang signifikan dari pemerintah pusat.
Wacana perpindahan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke luar Jawa pernah menguat. Keinginan ini perlu disikapi dengan kajian lebih arif tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Sejumlah pakar dan aktivis dari tata ruang, lingkungan, pengusaha, politikus dan pejabat pusat dan daerah memberikan pendapat termasuk media cetak dan elektronik sempat gencar mempublikasinya.
Ini menunjukan ada ‘kerisauhan’ dan ‘kepanikan’ terhadap kondisi Jakarta. Wacana ini ditangkap secara reaktif dan terkesan euphoria di sejumlah daerah di luar Jawa yang dengan tegas menyatakan siap menjadi ibukota Negara. Menjelang pilkada Gubernur DKI Jakarta esensi problem yang menjadi perdebatan tetap masih seputar penyakit kemacetan Jakarta yang menjadia menu utama pada setiap perdebatan dan silang pendapat.
Kita semua mafhum, kondisi kemacetan lalu lintas di Jakarta yang massif dirasakan sangat radikal dan bahkan (berdasarkan peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan) diprediksi akan lumpuh (macet) total mulai tahun 2014, banjir dimana-mana, ancaman gempa, krisis air serta diselimuti udara yang kotor menjadi alasan kuat mendorong berbagai pendapat atas wacana reposisi (baca : pemindahan) tersebut.
Jakarta kota yang berpenduduk lebih dari 14 juta jiwa dinilai mencemaskan untuk masa depan. Kualitas hidup di Jakarta dinilai menurun dimana tingkat pengangguran tinggi, angka kejahatan meningkat, pemukiman kumuh masih bertebaran dan rentan, polusi dan sanitasi buruk. Jakarta pun dianggap dalam kondisi sakit komplikasi sehingga tidak layak lagi menjadi pusat pemerintahan Negara. Bagaimanapun problematika kemacetan, mudah banjir dan lainnya yang melanda Jakarta sebagai ibukota Negara yang menjadi daerah tujuan utama secara mutatis mutandis juga akan menjadi problem bagi daerah-daerah lain karena berimplikasi luas secara nasional.
Sebagai bagian anak bangsa, saya tergerak untuk memberikan buah pikiran sebagai solusi jalan tengah alternative atas diskursus yang berkembang belakangan ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa membuka ruang diskusi pemikiran kita bersama mencari jalan keluar terbaik bagi problem krusial ini.
Dengan relokasi pusat pemerintahan ke dalam satu kawasan bersama akan berdampak lahirnya pusat-pusat pertumbuhan. Menurut Saya, pemindahan pusat pemerintah dari Jakarta, apabila dapat dilakukan dengan baik, punya efek positif, baik bagi Jakarta sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan.
Perpindahan pusat pemerintahan sendiri bukanlah hal baru. Indonesia sudah mengalami beberapa kali perpindahan tersebut. Pusat pemerintah pernah dipindahkan ke Bogor, Yogyakarta bahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada saat itu disebabkan dampak kondisi social politik yang serba dalam keadaan darurat di masa perjuangan dan kemerdekaan RI yang baru diraih.
Dalam konteks kekinian alasan dan argumen perpindahan ke luar Jawa tersebut menurut saya tidak relevan lagi, mengingat bukan dalam keadaan darurat (ancaman peperangan) seperti tempo dulu melainkan dalam keadaan damai dan era teknologi informasi yang maju.
Perlu diingat dan direnungkan, Indonesia bukanlah negara dengan wujud sebuah daratan yang luas seperti Australia, Jerman, Cina, India dan Amerika dimana letak posisi dan titik koordinat tengah menjadi sangat berpengaruh untuk menjadi pusat pemerintahan serta magnet jangkauan dan akses semua wilayah. Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga titik tengah tidaklah bisa menjadi patokan, dimana akan tetap menjadi jarak dan waktu bagi daerah lainnya di luar Jawa. Problem ini tidak semudah kita bayangkan.
Selain itu, sejumlah daerah di luar Jawa, struktur tanahnya tidak mampu dibangun gedung-gedung tinggi serta ada sebagian lain juga tidak bebas dari bencana yang secara empirik kita ketahui bersama.
Saya sepaham dengan berbagai pendapat beberapa ahli mengenai perpindahan pusat pemerintahan dalam satu kawasan bersama khususnya eksekutif, sedangkan legislatif dan yudikatif tidak perlu tergesa-gesa.
Saya cenderung berpendapat pusat pemerintahan sebaiknya tidak perlu terlalu jauh dari Jakarta. Provinsi Banten dapat menjadi pilihan pertama yang tidak terlalu jauh, namun berada di kawasan yang lebih mudah mengakses untuk menuju ke dan dari kawasan Bandara Soekarno-Hatta, yakni Kota atau Kabupaten Tangerang. Mengapa demikian?
Ada beberapa argumen yang perlu kita diskusikan bersama. Kita juga harus melihat manfaat dari berbagai aspek, tidak hanya pemerintah pusat saja, tetapi multi efek ikutannya yang berdampak luas terhadap pembangunan nasional pula.
Persoalannya, seandainya dipindahkan ke luar Jawa, maka sejumlah daerah di kawasan timur Indonesia harus menambah biaya perjalanan untuk transportasi atau sebaliknya. Selain itu juga akan memakan waktu yang lama sehingga tidak efektif serta efisien.
Dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara sekarang ini, perpindahan ke luar Jawa akan menjadi beban besar bagi negara lantaran harus memperkuat infrastruktur. Baik bandara, jalan, air bersih, listrik, gedung kantor pemerintah baru maupun fasilitas-fasilitas penunjang lain, belum lagi kondisi sosial dan budaya masyarakat.
Saya yakin negara bisa jauh lebih hemat terhadap penggunaan anggarannya. Begitu juga, daerah-daerah di wilayah Indonesia. Anggaran perjalanan dinasnya bisa jauh dipangkas serta waktu akan lebih efisien.
Bila letak kawasan pusat pemerintah tidak terlalu jauh aksesnya mudah terjangkau dari bandara, pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya terlalu besar untuk membangun dan melengkapi infrastruktur maupun fasilitas penunjang lainnya. Beberapa wilayah yang lebih cepat untuk akses ke Bandara Soekarno-Hatta juga masih cukup layak untuk dijadikan alternatif lokasi kawasan pusat kantor pemerintahan.
(Bersambung)
* Muda Mahendrawan, SH
Wakil Sekjen Pengurus APKASI Pusat
Saat ini Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012