Jakarta (Antara Kalbar) - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Kamis, dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dalam kasus gratifikasi dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum Yudi Kristiana dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta juga menuntut Anas membayar uang pengganti kerugian negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsinya, yaitu Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS.
Selain itu jaksa juga menjatuhkan hukuman tambahan, berupa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektare, di dua kecamatan, yaitu Bengalon dan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur.
Anas dalam perkara itu diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, satu mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar serta 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan hiburan.
Kemudian biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, "road show" Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya penyelenggara kegiatan, siaran langsung beberapa stasiun televisi, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
Tuntutan tersebut berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.
Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa sebagai anggota DPR, ketua fraksi dan Ketua Umum Partai Demokrat telah mencederai sistem politik dan demokrasi yang sedang mencari jati diri dalam rangka membangun sistem politik yang bebas dari korupsi, perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan spirit masyarakat, bangsa, dan negara dalam pemberantasan korupsi," kata Yudi.
Hal lain yang juga memberatkan Anas, yaitu seringnya dia membuat pernyataan dan melakukan tindakan yang menjurus pada tindakan yang dikualifikasikan sebagai "obstruction of justice" atau tindakan yang menghalang-halangi proses hukum.
Perbuatan yang meringankan adalah Anas pernah mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden pada 1999, bersikap sopan, dan belum pernah dihukum.
Seusai persidangan Anas mengatakan bahwa tuntutan yang dijatuhkan kepada dirinya tidak objektif dan tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Dia beserta tim kuasa hukumnya akan menyiapkan pembelaan yang akan disampaikan pada sidang lanjutan, 18 September 2014.
(SDP-93/M.H. Atmoko)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum Yudi Kristiana dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta juga menuntut Anas membayar uang pengganti kerugian negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsinya, yaitu Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS.
Selain itu jaksa juga menjatuhkan hukuman tambahan, berupa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektare, di dua kecamatan, yaitu Bengalon dan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur.
Anas dalam perkara itu diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, satu mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar serta 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan hiburan.
Kemudian biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, "road show" Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya penyelenggara kegiatan, siaran langsung beberapa stasiun televisi, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
Tuntutan tersebut berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.
Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa sebagai anggota DPR, ketua fraksi dan Ketua Umum Partai Demokrat telah mencederai sistem politik dan demokrasi yang sedang mencari jati diri dalam rangka membangun sistem politik yang bebas dari korupsi, perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan spirit masyarakat, bangsa, dan negara dalam pemberantasan korupsi," kata Yudi.
Hal lain yang juga memberatkan Anas, yaitu seringnya dia membuat pernyataan dan melakukan tindakan yang menjurus pada tindakan yang dikualifikasikan sebagai "obstruction of justice" atau tindakan yang menghalang-halangi proses hukum.
Perbuatan yang meringankan adalah Anas pernah mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden pada 1999, bersikap sopan, dan belum pernah dihukum.
Seusai persidangan Anas mengatakan bahwa tuntutan yang dijatuhkan kepada dirinya tidak objektif dan tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Dia beserta tim kuasa hukumnya akan menyiapkan pembelaan yang akan disampaikan pada sidang lanjutan, 18 September 2014.
(SDP-93/M.H. Atmoko)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014