Pontianak (Antara Kalbar) - Anggota DPR RI Komisi XI Michael Jeno mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam mengambil kebijakan di sektor keuangan agar tidak membingungkan masyarakat serta investor.
Menurut Michael Jeno saat dihubungi di Pontianak, Rabu, salah satu yang cukup membingungkan adalah nilai saldo minimal di perbankan yang data pemiliknya dapat dicek oleh Ditjek Pajak.
Semula, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan saldo minimal yang dapat dipantau itu adalah Rp200 juta. Namun selang sehari, angkanya naik menjadi Rp1 miliar.
"Ketidakpastian seperti ini yang tidak disukai oleh investor dan masyarakat," ujarnya anggota DPR RI Dapil Kalbar dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Ia menambahkan, alasan pemerintah merevisi itu dengan mempertimbangkan rasa keadilan, menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.
Ia melanjutkan, dengan perubahan batasan minimal saldo menjadi Rp1 miliar, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan mencapai 489.240 rekening atau 0,24 persen dari total rekening di perbankan saat ini.
Meski demikian, Jeno menilai, batas minimal yang berubah dari Rp200 juta ke Rp1 miliar menyiratkan, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang matang.
"Dasar penetapan batas minimal pun belum jelas. Mestinya harus ada tolak ukur yang jelas dalam penentuan ambang batas tersebut," jelasnya.
Ia secara pribadi lebih setuju memakai ukuran yang sudah ada yakni dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) misalnya. Dimana angka batas simpanan yang dijaminkan adalah Rp2 miliar.
"Kenapa Kemenkeu tidak pakai angka LPS saja. Atau sesuai kesepakatan Automatic Exchange Of Information (AEOI) yakni sebesar 250 ribu dolar AS. Artinya kalau pakai kurs Rp13.500 per dollar AS maka Rp3,3 miliar," paparnya.
Ia mengatakan, bahwa berdasarkan perbandingan dengan negara lain dan kelayakan jumlah saldo, dia menilai satu miliar rupiah terlampau kecil.
"Kalau sasarannya orang berduit, maka satu miliar ini angka yang kecil. Lebih logis jika pemerintah mengacu pada nominal penjaminan LPS senilai Rp2 miliar. Sesuai batas penjaminan LPS," kata dia.
Secara prinsip, Jeno menyebut pihaknya mendukung penuh langkah Kemenkeu dan Ditjen Pajak untuk megoptimalkan pendapatan pajak, dalam rangka penguatan fiskal. Namun ia mengingatkan Kemenkeu agar tidak terlalu "kasar" dalam memburu wajib pajak.
"Jangan kesannya nafsu dan panik. Kita takutnya, dana-dana yang sudah masuk ke dalam negeri ini keluar lagi. Balik ke Singapura lagi karena aturan yang dirasa terlalu memberatkan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
Menurut Michael Jeno saat dihubungi di Pontianak, Rabu, salah satu yang cukup membingungkan adalah nilai saldo minimal di perbankan yang data pemiliknya dapat dicek oleh Ditjek Pajak.
Semula, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan saldo minimal yang dapat dipantau itu adalah Rp200 juta. Namun selang sehari, angkanya naik menjadi Rp1 miliar.
"Ketidakpastian seperti ini yang tidak disukai oleh investor dan masyarakat," ujarnya anggota DPR RI Dapil Kalbar dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Ia menambahkan, alasan pemerintah merevisi itu dengan mempertimbangkan rasa keadilan, menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.
Ia melanjutkan, dengan perubahan batasan minimal saldo menjadi Rp1 miliar, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan mencapai 489.240 rekening atau 0,24 persen dari total rekening di perbankan saat ini.
Meski demikian, Jeno menilai, batas minimal yang berubah dari Rp200 juta ke Rp1 miliar menyiratkan, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang matang.
"Dasar penetapan batas minimal pun belum jelas. Mestinya harus ada tolak ukur yang jelas dalam penentuan ambang batas tersebut," jelasnya.
Ia secara pribadi lebih setuju memakai ukuran yang sudah ada yakni dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) misalnya. Dimana angka batas simpanan yang dijaminkan adalah Rp2 miliar.
"Kenapa Kemenkeu tidak pakai angka LPS saja. Atau sesuai kesepakatan Automatic Exchange Of Information (AEOI) yakni sebesar 250 ribu dolar AS. Artinya kalau pakai kurs Rp13.500 per dollar AS maka Rp3,3 miliar," paparnya.
Ia mengatakan, bahwa berdasarkan perbandingan dengan negara lain dan kelayakan jumlah saldo, dia menilai satu miliar rupiah terlampau kecil.
"Kalau sasarannya orang berduit, maka satu miliar ini angka yang kecil. Lebih logis jika pemerintah mengacu pada nominal penjaminan LPS senilai Rp2 miliar. Sesuai batas penjaminan LPS," kata dia.
Secara prinsip, Jeno menyebut pihaknya mendukung penuh langkah Kemenkeu dan Ditjen Pajak untuk megoptimalkan pendapatan pajak, dalam rangka penguatan fiskal. Namun ia mengingatkan Kemenkeu agar tidak terlalu "kasar" dalam memburu wajib pajak.
"Jangan kesannya nafsu dan panik. Kita takutnya, dana-dana yang sudah masuk ke dalam negeri ini keluar lagi. Balik ke Singapura lagi karena aturan yang dirasa terlalu memberatkan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017