Palangka Raya (Antara Kalbar) - Pembina Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Untung Wiyono menyatakan, perkebunan kelapa sawit bisa berpotensi meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) setempat.
"Saat ini pajak hasil industri kelapa sawit masuk ke pemerintah pusat, sehingga menjadi keluhan pemerintah daerah, karena bagi hasil yang dirasakan kurang adil," kata Untung Wiyono di Palangkaraya, Jumat.
Ia menjelaskan, untuk mendapatkan pembagian yang merata, Pemda perlu melakukan lobi ke pemerintah pusat, agar pajak hasil industri kelapa sawit bisa masuk ke daerah, sehingga bisa mendongkrak PAD setempat.
Apalagi, kontribusi dan manfaat usaha perkebunan kelapa sawit sangat besar, salah satunya penyumbang pemasukan pajak ke negara dari hasil penjualan produksi sawit, kemudian penyediaan lapangan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan nilai devisa dan pendapatan negara, pengembangan sentra ekonomi baru, dan pembangunan UMKM, khususnya bagi masyarakat dimana perusahaan perkebunan sawit itu dibangun.
Untung Wiyono, saat menjadi narasumber kegiatan Sustainable Palm Oil Master Class I yang dilaksanakan PT Sinar Mas di Palangka Raya, mengatakan, pajak industri sawit yang masuk ke pemerintah pusat yaitu PPN, ada biaya keluar dan kemudian ada dana CSF, dan ini kontribusinya sangat besar.
"Contoh, kami di Kalsel hasil CPO sawit sebanyak 1,7 ton, berarti jika dikalikan harga CPO tahun kemarin Rp7.000 per kilo, maka hasilnya triliunan rupiah. Nah dari hasil ini pajak yang masuk ke negara yakni sebesar 10 persen," ungkapnya.
Dia menambahkan, dari hasil pajak 10 persen itulah nantinya akan dibagikan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
"Berdasarkan aturan kewenangan pemerintah yang ada saat ini. Dari hasil 10 persen pajak yang masuk ke kas negara tersebut pemerintah daerah mendapatkan bagi hasil sebesar 37 persen, diantaranya 17 persennya di dalamnya untuk pendapat bagi hasil ke pemerintah kabupaten," ujarnya.
Hanya permasalahannya kata Untung, PPN dibayarkan oleh kantor pusatnya di Jakarta dan tidak disebut sumbernya. Hal ini, jelas yang menerima pendapatan adalah Pemda Jakarta, karena NPWP-nya didaftarkan melalui kantor pusat yang ada di Jakarta, maka Pemda DKI lah yang mendapat hasilnya.
"Nah hal inilah yang mungkin menyebabkan pemerintah daerah penghasil industri sawit merasa tidak adil. Maka yang kami dorong adalah pemda penghasil sawit sudah saatnya mengharuskan perusahaan sawit yang masuk ke daerahnya untuk mendaftarkan NPWP-nya di daerahnya," ujar Untung.
Ia menambahkan, inilah yang mungkin harus dilakukan oleh pemerintah daerah agar dapat meningkatkan PAD dari hasil industri kebun sawit yang ada di daerahnya.
Walaupun begitu, kata Untung, sebenarnya pemda provinsi, kabupaten/kota juga masih bisa memperoleh PAD diluar pajak yang disetorkan ke pemerintah pusat, misalnya penarikan PBB oleh pemda.
Ia mencontohkan, penarikan PBB yang dari awalnya ditarik hanya Rp 25.000 per hektare per tahun, masih bisa dan wajar bila dinaikkan menjadi Rp. 250.000 per hektare per tahunnya.
"Dengan demikian PAD Pemda tempat penghasil sawit bisa ditingkatkan dari hasil industri sawit, selain dari hasil bagi pajak yang disetorkan ke pemerintah pusat itu," katanya.
(U.A057/B012)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Saat ini pajak hasil industri kelapa sawit masuk ke pemerintah pusat, sehingga menjadi keluhan pemerintah daerah, karena bagi hasil yang dirasakan kurang adil," kata Untung Wiyono di Palangkaraya, Jumat.
Ia menjelaskan, untuk mendapatkan pembagian yang merata, Pemda perlu melakukan lobi ke pemerintah pusat, agar pajak hasil industri kelapa sawit bisa masuk ke daerah, sehingga bisa mendongkrak PAD setempat.
Apalagi, kontribusi dan manfaat usaha perkebunan kelapa sawit sangat besar, salah satunya penyumbang pemasukan pajak ke negara dari hasil penjualan produksi sawit, kemudian penyediaan lapangan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan nilai devisa dan pendapatan negara, pengembangan sentra ekonomi baru, dan pembangunan UMKM, khususnya bagi masyarakat dimana perusahaan perkebunan sawit itu dibangun.
Untung Wiyono, saat menjadi narasumber kegiatan Sustainable Palm Oil Master Class I yang dilaksanakan PT Sinar Mas di Palangka Raya, mengatakan, pajak industri sawit yang masuk ke pemerintah pusat yaitu PPN, ada biaya keluar dan kemudian ada dana CSF, dan ini kontribusinya sangat besar.
"Contoh, kami di Kalsel hasil CPO sawit sebanyak 1,7 ton, berarti jika dikalikan harga CPO tahun kemarin Rp7.000 per kilo, maka hasilnya triliunan rupiah. Nah dari hasil ini pajak yang masuk ke negara yakni sebesar 10 persen," ungkapnya.
Dia menambahkan, dari hasil pajak 10 persen itulah nantinya akan dibagikan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
"Berdasarkan aturan kewenangan pemerintah yang ada saat ini. Dari hasil 10 persen pajak yang masuk ke kas negara tersebut pemerintah daerah mendapatkan bagi hasil sebesar 37 persen, diantaranya 17 persennya di dalamnya untuk pendapat bagi hasil ke pemerintah kabupaten," ujarnya.
Hanya permasalahannya kata Untung, PPN dibayarkan oleh kantor pusatnya di Jakarta dan tidak disebut sumbernya. Hal ini, jelas yang menerima pendapatan adalah Pemda Jakarta, karena NPWP-nya didaftarkan melalui kantor pusat yang ada di Jakarta, maka Pemda DKI lah yang mendapat hasilnya.
"Nah hal inilah yang mungkin menyebabkan pemerintah daerah penghasil industri sawit merasa tidak adil. Maka yang kami dorong adalah pemda penghasil sawit sudah saatnya mengharuskan perusahaan sawit yang masuk ke daerahnya untuk mendaftarkan NPWP-nya di daerahnya," ujar Untung.
Ia menambahkan, inilah yang mungkin harus dilakukan oleh pemerintah daerah agar dapat meningkatkan PAD dari hasil industri kebun sawit yang ada di daerahnya.
Walaupun begitu, kata Untung, sebenarnya pemda provinsi, kabupaten/kota juga masih bisa memperoleh PAD diluar pajak yang disetorkan ke pemerintah pusat, misalnya penarikan PBB oleh pemda.
Ia mencontohkan, penarikan PBB yang dari awalnya ditarik hanya Rp 25.000 per hektare per tahun, masih bisa dan wajar bila dinaikkan menjadi Rp. 250.000 per hektare per tahunnya.
"Dengan demikian PAD Pemda tempat penghasil sawit bisa ditingkatkan dari hasil industri sawit, selain dari hasil bagi pajak yang disetorkan ke pemerintah pusat itu," katanya.
(U.A057/B012)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017