Pontianak (Antaranews Kalbar) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Mempawah, Senin, menolak eksepsi Frantinus Nirigi, terdakwa candaan bom di Maskapai Lion Air rute penerbangan Pontianak-Jakarta pada 28 Mei 2018.
Eksepsi terdakwa yang diajukan kuasa hukum Frantinus Nirigi, Andel, dalam sidang lanjutan dengan agenda putusan sela itu ditolak majelis hakim yang diketuai I Komang Dediek Prayoga.
Sebelumnya, Andel menilai PN Mempawah tidak berwenang mengadili karena locus delicti yang berada di Kabupaten Kubu Raya. Selain itu, dia menilai dakwaaan jaksa tidak jelas dan harus dibatalkan demi hukum.
I Komang saat membacakan putusan sela menegaskan bahwa PN Mempawah berwenang mengadili dan tidak dapat menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa itu.
Majelis hakim menegaskan bahwa lokasi kejadian di Bandara Internasional Supadio terletak di Kabupaten Kubu Raya atau masuk dalam kewenangan wilayah hukum PN Mempawah.
Sidang selanjutnya pada hari Senin (10/9) dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi.
Karena waktunya terbatas, sementara jumlah saksi relatif banyak, I Komang mengatakan bahwa pelaksanaan sidang secara maraton, dua kali seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis.
Menyikapi putusan sela dari hakim, Andel menyatakan bahwa pihaknya menerima keputusan majelis hakim tersebut.
"Kami terima (putusan) itu dan menyerahkan kepada majelis, kemudian perkara pokoknya akan dilanjutkan pada hari Senin mendatang," ujarnya.
Meski demikian, Andel berharap pihak penuntut bisa menghadirkan saksi kunci, yaitu pramugari Lion Air JT 687 dalam sidang berikutnya.
Andel menambahkan kehadiran saksi kunci dalam sidang berikutnya sangat penting untuk memberikan kesaksian.
"Karena dia (saksi) yang tahu mengenai peristiwa itu. Jadi, kalau tidak hadir, kami anggap tidak ada," katanya.
Sementara itu, jaksa penuntut umum Kejari Mempawah Rezkinil Jusar mengatakan bahwa pihaknya akan menghadirkan saksi dalam persidangan berikutnya, yakni sebanyak 11 orang.
Rezkinil juga akan menghadirkan saksi yang lebih berkompeten berdasarkan urutan dalam keterangan dari para saksi tersebut. Meski demikian, pihaknya tidak bisa memastikan kehadiran para saksi tersebut.
Ia mengatakan bahwa pihaknya berkewajiban untuk memanggil dan menghadirkan saksi dalam persidangan. Namun, apabila sampai dua hingga tiga kali dipanggil tidak hadir, pihaknya bisa melakukan panggilan paksa atas perintah dari majelis hakim.
Praperadilan
Sidang perdana praperadilan tersebut dimulai pada 3 Agustus 2018 yang lalu. Namun, sidang tersebut hanya dihadiri oleh penasihat hukum terdakwa selaku pemohon, tanpa dihadiri oleh pihak termohon, yaitu Kepala Polresta Pontianak dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Dalam putusan sebelumnya, majelis hakim PN Pontianak menggugurkan permohonan praperadilan tersebut.
Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dan JPIC Kapusin Bruder Stephanus Paiman yang diberi kuasa pihak keluarga untuk mendampingi dan memantau proses hukum terdakwa menilai sidang perdana perkara tersebut penuh kejanggalan.
Berdasarkan pengakuan Frantinus Nirigi, dia dijemput secara paksa oleh jaksa di Rutan Mempawah supaya hadir dalam sidang perdana tersebut. Padahal, terdakwa sempat menolak untuk hadir di persidangan karena merasa tidak didampingi oleh kuasa hukumnya.
"Frantinus Nirigi terpaksa ikut karena diancam apabila tidak hadir dalam sidang, akan langsung diputuskan. Alasannya untuk proses hukum," ujar Stephanus.
Setibanya di ruang sidang, sambung, Stephanus, terdakwa kemudian difoto dan ditanya apakah akan melanjutkan sidang atau ditunda.
Frantinus Nirigi menolak untuk melanjutkan sidang karena tidak didampingi pengacara.
"Nah, foto kehadiran Frantinus Nirigi di ruang sidang itulah yang kemudian dijadikan bukti bahwa sidang perkara pokok di PN Mempawah sudah dilakukan untuk menggugurkan upaya pengajuan praperadilan di PN Pontianak," ungkap Stepanus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
Eksepsi terdakwa yang diajukan kuasa hukum Frantinus Nirigi, Andel, dalam sidang lanjutan dengan agenda putusan sela itu ditolak majelis hakim yang diketuai I Komang Dediek Prayoga.
Sebelumnya, Andel menilai PN Mempawah tidak berwenang mengadili karena locus delicti yang berada di Kabupaten Kubu Raya. Selain itu, dia menilai dakwaaan jaksa tidak jelas dan harus dibatalkan demi hukum.
I Komang saat membacakan putusan sela menegaskan bahwa PN Mempawah berwenang mengadili dan tidak dapat menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa itu.
Majelis hakim menegaskan bahwa lokasi kejadian di Bandara Internasional Supadio terletak di Kabupaten Kubu Raya atau masuk dalam kewenangan wilayah hukum PN Mempawah.
Sidang selanjutnya pada hari Senin (10/9) dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi.
Karena waktunya terbatas, sementara jumlah saksi relatif banyak, I Komang mengatakan bahwa pelaksanaan sidang secara maraton, dua kali seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis.
Menyikapi putusan sela dari hakim, Andel menyatakan bahwa pihaknya menerima keputusan majelis hakim tersebut.
"Kami terima (putusan) itu dan menyerahkan kepada majelis, kemudian perkara pokoknya akan dilanjutkan pada hari Senin mendatang," ujarnya.
Meski demikian, Andel berharap pihak penuntut bisa menghadirkan saksi kunci, yaitu pramugari Lion Air JT 687 dalam sidang berikutnya.
Andel menambahkan kehadiran saksi kunci dalam sidang berikutnya sangat penting untuk memberikan kesaksian.
"Karena dia (saksi) yang tahu mengenai peristiwa itu. Jadi, kalau tidak hadir, kami anggap tidak ada," katanya.
Sementara itu, jaksa penuntut umum Kejari Mempawah Rezkinil Jusar mengatakan bahwa pihaknya akan menghadirkan saksi dalam persidangan berikutnya, yakni sebanyak 11 orang.
Rezkinil juga akan menghadirkan saksi yang lebih berkompeten berdasarkan urutan dalam keterangan dari para saksi tersebut. Meski demikian, pihaknya tidak bisa memastikan kehadiran para saksi tersebut.
Ia mengatakan bahwa pihaknya berkewajiban untuk memanggil dan menghadirkan saksi dalam persidangan. Namun, apabila sampai dua hingga tiga kali dipanggil tidak hadir, pihaknya bisa melakukan panggilan paksa atas perintah dari majelis hakim.
Praperadilan
Sidang perdana praperadilan tersebut dimulai pada 3 Agustus 2018 yang lalu. Namun, sidang tersebut hanya dihadiri oleh penasihat hukum terdakwa selaku pemohon, tanpa dihadiri oleh pihak termohon, yaitu Kepala Polresta Pontianak dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Dalam putusan sebelumnya, majelis hakim PN Pontianak menggugurkan permohonan praperadilan tersebut.
Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dan JPIC Kapusin Bruder Stephanus Paiman yang diberi kuasa pihak keluarga untuk mendampingi dan memantau proses hukum terdakwa menilai sidang perdana perkara tersebut penuh kejanggalan.
Berdasarkan pengakuan Frantinus Nirigi, dia dijemput secara paksa oleh jaksa di Rutan Mempawah supaya hadir dalam sidang perdana tersebut. Padahal, terdakwa sempat menolak untuk hadir di persidangan karena merasa tidak didampingi oleh kuasa hukumnya.
"Frantinus Nirigi terpaksa ikut karena diancam apabila tidak hadir dalam sidang, akan langsung diputuskan. Alasannya untuk proses hukum," ujar Stephanus.
Setibanya di ruang sidang, sambung, Stephanus, terdakwa kemudian difoto dan ditanya apakah akan melanjutkan sidang atau ditunda.
Frantinus Nirigi menolak untuk melanjutkan sidang karena tidak didampingi pengacara.
"Nah, foto kehadiran Frantinus Nirigi di ruang sidang itulah yang kemudian dijadikan bukti bahwa sidang perkara pokok di PN Mempawah sudah dilakukan untuk menggugurkan upaya pengajuan praperadilan di PN Pontianak," ungkap Stepanus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018