Bagi sebagian orang menganggap keong atau siput air tawar (Pila Ampullacea) sebagai hama atau sekadar hewan tidak berguna yang hidup di sawah, sungai, dan danau.

Namun, itu tidak berlaku bagi beberapa warga di Kota Bogor, Jawa Barat. Mereka menjadikan hewan dengan tinggi cangkang sampai 40 milimeter dengan diameter 25 milimeter itu sebagai sajian kuliner yang memiliki banyak penggemar.

Selain rasanya sedap, bagi sebagian orang tutut dinilai sebagai sumber protein yang tinggi. Bahkan, ada yang mempercayai sebagai tutut sebagai sajian berkhasiat menyembuhkan penyakit liver, demam, dan penyakit kuning.

Di Jalan Sholeh Iskandar dan kawasan Cimanggu, Tanah Sareal, Bogor, beberapa gerobak penjual kuliner keong atau oleh warga Bogor menyebutnya sebagai tutut, menjadi rujukan para penggemar kuliner tutut.

Salah satunya, adalah warung kaki lima kuliner tutut milik Husni Fadillah yang berada di Jalan Taman Cimanggu.

Setiap hari di warung miliknya, Husni melayani pelanggannya yang tidak hanya berasal dari Bogor, tetapi dari kota lain, seperti Depok dan Jakarta.

"Banyak yang ke sini sekadar mengobati rasa kangen mereka untuk merasakan sajian tutut ini," kata Husni yang memasak tutut dengan satu varian rasa, bumbu kuning.

Pewarta Antara turut mencoba sajian tutut yang berharga Rp5.000 per porsi ini.

Dengan bumbu berbahan bawang putih, bawang merah, kemiri, kunyit, jahe, merica dan garam yang dihaluskan bersama itu, sajian tutut ini rasanya berpadu dengan aroma unik dari tutut atau keong.

Cara makannya pun unik, kita harus menyesap atau menghisap isi tutut dari cangkangnya. "Slurrppppp...," suara yang terdengar saat pelanggan Husni menyesap isi tutut dari cangkangnya.

Bila anda kesulitan menyesap, alat bantu berupa tusuk gigi disediakan Husni agar pelanggannya bisa meraih isi tutut dengan menusukan di dalam cangkang.

Ketika tutut habis, kuah berbumbu kuning sajian ini juga sayang rasanya bila tidak dihabiskan karena rasanya begitu sedap.

Pernah terdampak kasus keracunan
Husni Fadilah mengatakan bahwa setiap hari rata-rata dia menjual sebanyak enam kilogram tutut. "Bahkan, di akhir pekan jumlahnya bisa mencapai sekitar delapan kilogram," kata pria yang merupakan generasi kedua penjual tutut.

 
Pedagang kuliner tutut menyiapkan sajian untuk pelanggannya di Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)

Meski setiap hari dagangannya laris, bukan berarti dirinya tidak pernah mengalami hambatan.

"Pertengahan tahun lalu ada kasus puluhan warga Tanah Baru, Bogor, mengalami keracunan setelah makan kuliner tutut," kata dia.

Setelah kejadian itu, Husni mengaku dagangannya ikut terdampak kasus tersebut. "Penjualan turun drastis karena banyak pelanggannya yang khawatir Tutut masakan saya juga berbahaya," kata dia.

Namun, lanjut dia, lambat laun penjualan tututnya kembali membaik dan bahkan semakin meningkat.

"Itu karena saya memilih tutut atau keong bahan sajian dari yang berasal dari alam, seperti danau dan sungai. Bukan dari sawah," kata Husni.

Menurut dia, tutut yang berasal dari sawah lebih beresiko karena tercemar pestisida.

Kepercayaan pelanggannya yang loyal, menurut dia, menjadi kunci usaha kuliner tutut Husni masih bisa bertahan hingga saat ini.

Untuk memastikan sajian tutut yang aman, dia mengimbau calon pembeli untuk mengecek baunya. "Bila baunya menusuk atau ada amisnya, dan rasanya pahit, sebaiknya jangan dikonsumsi," kata Husni.

Sementara itu, salah seorang pemasok keong atau tutut, Suryadi mengatakan bahwa tutut yang aman dikonsumsi adalah Tutut yang hidup di alam, seperti sungai dan danau yang belum tercemar limbah.

"Saya mendapatkan tutut ini di sejumlah setu (danau) di Bogor," kata dia.

Menurut Suryadi, beberapa pemasok juga mendapatkan tutut mentah yang berharga Rp7.000 per kilogram itu dari hasil budidaya.

"Itu juga aman dikonsumsi karena dihindarkan dari pestisida dan zat kimia berbahaya," kata Suryadi yang memasok tutut di wilayah Bogor dan Depok itu.

Pada musim kemarau ini, kata dia, tutut relatif lebih susah didapatkan. "Musim hujan adalah masa di mana pasokan tutut melimpah," kata Suryadi.

Pada kesempatan lain, salah seorang penyuka kuliner tutut, Eni Roheni mengatakan, selain enak, makanan tutut mengingatkan dirinya pada masa kecilnya yang sering mengonsumsi tutut.

"Dulu di Bogor banyak banget yang jual, sekarang lebih susah ditemui," kata wanita paruh baya itu.

Apalagi, lanjutnya, sekarang banyak tutut yang berasal dari sawah berpestisida maupun habitat yang tercemar lainnya.

"Harus berhati-hati agar tidak salah pilih kuliner tutut dengan mencium baunya yang tidak menyengat dan tidak berasa pahit," kata Eni.

Pewarta: Aditya Pradana Putra

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019