Jakarta (ANTARA) - Seperti diabetes yang mendapat julukan "ibu dari semua masalah kesehatan", stunting menjadi salah satu kondisi yang patut diperhatikan. Stunting berefek domino karena dapat membawa berbagai masalah kesehatan, antara lain, risiko penyakit tak menular seperti hipertensi, diabetes, kanker, penurunan kemampuan kognitif, hingga gangguan perkembangan otak. Semuanya berujung pada penurunan kualitas sumber daya manusia masa depan.
Dikutip dari Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Volume 8 Nomor 1, artikel 6 oleh Esty Asriyana Suryana yang diterbitkan pada 2023, potensi kerugian akibat stunting di Indonesia berkisar antara Rp 15.062--Rp67.780 miliar dari total PDB Indonesia tahun 2021 sebesar Rp 16.970,8 triliun. Tak heran, meski tampuk kekuasaan sudah berganti, para pemimpin negara masih menyoroti dan menangani kondisi satu ini.
Pada 2023, prevalensi stunting atau tengkes 21,5 persen, padahal target Pemerintah menurunkannya ke angka 14 persen pada 2024. Oleh karena itu, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia & Pemerataan, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Suprayoga Hadi menyebut bahwa selama 5 tahun mendatang, Pemerintah tak lagi menggunakan strategi yang hanya berfokus untuk menurunkan angka stunting, tapi juga strategi pencegahannya melalui Program Strategi Nasional.
Sementara menunggu strategi nasional pencegahan dan penurunan stunting digodok, upaya-upaya untuk pencegahan dilakukan oleh Pqemerintah dan swasta, salah satunya Jelajah Gizi 2024, di mana aset alam Banyuwangi diperkenalkan ke dunia dan juga ditingkatkan guna mengatasi tengkes. Dalam kegiatan ini, kesuksesan Banyuwangi menurunkan kasus stuntingnya juga dijadikan contoh.
Plt. Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi Amir Hidayat mengatakan bahwa menurut pendataan Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (PPBGM), beberapa tahun lalu, terdapat lebih dari 4.000 kasus stunting di daerah itu, namun menurun menjadi 2.171 pada 2024. Amir menyebut bahwa pada tahun ini, anggaran untuk intervensi gizi balita stunting, wasting, dan underweight yakni sekitar Rp10 miliar serta memprioritaskan ibu hamil.
Banyuwangi juga memberikan intervensi berupa protein hewani.
Menu Banyuwangi bervariasi nan bergizi
Profesor Keamanan Pangan dan Nutrisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Ahmad Sulaeman mengatakan bahwa angka stunting di Banyuwangi dapat diturunkan secara masif karena potensi alamnya yang kaya akan protein, baik hewani maupun nabati. Potensi ini dimanfaatkan dalam memperkaya menu-menunya.
Hasil laut Banyuwangi berupa ikan mengandung asam lemak esensial, Omega 3, Omega 6, yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bahkan ibu pun perlu mendapatkan minimum 600 gram ikan dalam seminggu. Selain baik bagi perkembangan anak, ibu hamil yang depresi selama masa kehamilan dapat mengatasi depresinya dengan makan ikan.
Selain protein dan zat besi, Banyuwangi pun menyertakan komponen yang dapat membantu penyerapan gizi secara optimal serta meningkatkan imunitas dalam menunya, seperti vitamin C.
Tak kalah penting, makanan-makanan bergizi tersebut dapat disajikan secara menarik dan enak. Kelezatan akan membuat puas dan bahagia, yang kemudian akan semakin meningkatkan daya tahan tubuh.
Kreativitas Banyuwangi tampak dari berbagai paduan makanan dalam menu lokalnya, antara lain, rujak soto, di mana bumbu rujak dicampur dengan kuah soto. Biasanya, hidangannya berisi lontong, tahu, kacang panjang, timun, dengan dilapisi bumbu rujak.
Hidangan itu dilengkapi kuah soto dengan daging sapi atau jeroan babat. Rasanya bisa dibilang berbeda, namun hidangan itu kaya akan karbohidrat, serat, dan protein.
Ada juga pecel rawon, yang di dalamnya terdapat kacang panjang, tauge, timun, serta bumbu pecel. Semuanya ditambahkan dengan kuah rawon dan daging sapi. Hidangan ini kaya akan serat, dan semakin enak apabila ditemani rempeyek ebi atau rempeyek kacang.
Selain menu-menu yang merupakan perpaduan dua hidangan, Banyuwangi juga memiliki sejumlah makanan khasnya yang kaya akan gizi, contohnya sego cawuk yang mengandung protein, serat, bahkan antioksidan dalam tiap sajiannya.
Pada menu sego cawuk, ada nasi, ikan sambal tomat, telur rebus, tahu, yang dibaluri kuah. Pelengkapnya adalah daun semanggi dan juga parutan kelapa.
Yang paling dikenal adalah sego tempong, yakni makanan khas Banyuwangi yang disajikan dengan sambal mentah terbuat dari bahan-bahan seperti tomat, cabai, terasi, garam, dan limau.
Tempong sendiri berarti "tampar", sebuah kata yang mendeskripsikan sensasi tertampar saat mengonsumsi sambal khas tersebut. Kepedasannya pun dapat menggugah nafsu makan sehingga dapat mendorong orang untuk menambah porsi dan asupan gizinya.
Selain makanan-makanan tersebut, pemberian makanan tambahan untuk anak-anak pun memanfaatkan hasil lokal, seperti yang dilakukan di Kebun Gizi Cawang di Desa Benelan Kidul, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi. Di sini mereka memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur-sayuran dan buah.
Ahli Gizi Puskesmas Singojuruh Ruvy Rizka menyebutkan pihaknya mencoba memberikan makanan tambahan untuk anak-anak dengan menyajikannya secara menarik, seperti membentuknya ala sushi. Selain itu, juga menyediakan puding bayam, sebentuk kreativitas untuk mengakali ketidaksukaan anak terhadap sayur.
Dalam puding tersebut, terdapat protein yang bagus untuk menangkal stunting, underweight, dan wasting. Rasa manis dalam puding tersebut ditambahkan dari sedikit gula, buah, serta susu.
Menguatkan sumber daya yang ada
Hamparan padi di Banyuwangi begitu potensial untuk mencukupi nutrisi warganya. Beras yang diproduksi pun dibuat makin padat oleh gizi ketika sejumlah pihak, antara lain, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Bulog, bersatu dalam upaya mengembangkan biofortifikasi beras.
Upaya-upaya mereka meliputi uji coba varian padi inpari nutrizinc, praktik pertanian ramah lingkungan, serta pengembangan akses pemasaran. Kandungan zat besi dalam beras biofortifikasi tercatat sebesar 9,62 ppm, tiga kali lebih tinggi dari varian beras lainnya.
Dalam menanamnya pun, penggunaan airnya dapat dikurangi hingga 49 persen, pestisida dikurangi hingga 50 persen, dan pupuk kimia dikurangi hingga 25 persen. Jadi, selain sarat akan nutrisi, pengembangan beras ini juga berkontribusi dalam upaya menjaga lingkungan.
Beras ini pun dipasarkan dengan merek Sun Rice of Java, yang merupakan plesetan dari sunrise (mentari terbit), dan sesuai dengan fakta bahwa Banyuwangi, tempat yang kaya dengan aset alamnya, ada di bagian timur Pulau Jawa.
Adapun langkah pengembangan ini selaras dengan upaya Badan Gizi Nasional, yakni menutrisi masyarakat, meningkatkan ketahanan pangan, serta memastikan keberlanjutan lingkungan.
Staf Ahli Kepala, Badan Gizi Nasional (BGN) Ikeu Tanziha menyebutkan bahwa terdapat pergeseran pola makan pada generasi kini, dipengaruhi oleh berbagai promosi gaya hidup asing melalui gempuran konten media dan iklan. Ikeu menilai, Jelajah Gizi 2024 menjadi sebuah upaya penting untuk mengenalkan khazanah gastronomi Indonesia dalam melawan masalah gizi.
Makan bergizi gratis yang digencarkan Pemerintah pun memotivasi tiap daerah untuk menggali kembali aset-aset kulinernya. Meski pemerintah menetapkan standar nasional untuk kandungan gizi, tak ada pakem sumber nutrisi, sehingga kekayaan alam lokal pun dapat digunakan dalam hidangan.
Bagai mendayung sekali untuk melewati tiga pulau, selain dapat menggalakkan pencegahan stunting, upaya pengenalan kekayaan alam dan kuliner lokal juga dapat memacu kreativitas dalam memasak, serta menumbuhkan kecintaan pada aset lezat milik Tanah Air.
Dengan memberi nutrisi lengkap sejak dini pada kelompok-kelompok yang membutuhkan, maka setengah dari PR untuk mempersiapkan sumber daya manusia tangguh masa depan pun sudah dikerjakan, sedangkan setengahnya lagi dibentuk melalui pendidikan.
Editor: Achmad Zaenal M