Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia ( Gapki) Kalimantan Barat, Idwar Hanis mengatakan harga sawit saat ini masih belum menggembirakan karena terpengaruh oleh pasar ekspor minyak sawit Indonesia yang mulai tergerus dampak regulasi beberapa negara tujuan utama ekspor.
"Melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia tentu menjadi suatu pekerjaan rumah bagi industri sawit Indonesia. Beberapa negara tujuan ekspor utama memberlakukan regulasi yang sudah masuk dalam kategori hambatan dagang. Contoh India, yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum," ujarnya di Pontianak, Kalbar, Jumat.
Baca juga: Harga CPO mulai naik
Ia menjelaskan bahwa dari catatan Gapki pada April 2019 ekspor minyak sawit Indonesia secara total (CPO) dan turunannya, yakni oleochemical dan biodiesel mengalami penurunan 18 persen dibandingkan total ekspor pada Maret lalu, atau dari 2,96 juta ton menurun menjadi 2,44 juta ton.
Kemudian pada bulan Mei kinerja ekspor mulai merangkak naik tetapi masih di bawah ekspektasi. Pada Mei 2019 total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 2,79 juta ton atau naik 14 persen dibandingkan dengan total ekspor pada bulan sebelumnya.
"Sementara itu total ekspor khusus CPO dan turunannya (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) pada April 2019 mencatatkan penurunan 27 persen atau dari 2,76 juta ton Maret menurun menjadi 2,01 juta ton April. Sementara pada bulan Mei total ekspor tercatat mencapai 2,40 juta ton atau meningkat 18 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya," papar dia.
Baca juga: Anjloknya harga sawit harus segera diatasi
Ia menyebutkan, Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua mengambil langkah sigap menghadapi regulasi India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang telah ditandatangani sejak tahun 2011 dengan perundingan lanjutan di Free Trade Agreement menghasilkan diskon bea masuk impor refined products yang lebih rendah dibandingkan bea masuk yang dikenakan kepada Indonesia. Tarif bea masuk refined product dari Malaysia 45 persen dari tarif berlaku 54 persen.
"Alhasil dari diskon tarif bea masuk yang dinikmati Malaysia, pasar minyak sawit Indonesia ke India kian tergerus, pasar India didominasi oleh Malaysia. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi kerja sama ekonomi dengan India untuk pemberlakuan tarif impor yang sama, sehingga Indonesia dapat berkompetensi memeriahkan pasar India," kata dia.
Baca juga: Petani karet beralih ke sawit
Sementara Uni Eropa, sejak Delegated Act RED II diadopsi Maret lalu, tidak dapat dipungkiri telah ikut membangun sentimen negatif pasar minyak sawit Indonesia di Eropa. Gapki mencatatkan ekspor CPO dan turunannya ke Benua Biru ini terus tergerus. Pada April 2019 ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia tercatat menurun 37 persen dibandingkan Maret lalu, kemudian pada Mei kembali melorot 4 persen dibandingkan April (Maret 498,24 ribu ton, April 315,24 ribu ton dan Mei 302,16 ribu ton). Lagi-lagi regulasi negara tujuan ekspor yang menjadi hambatan dagang.
"Pasar utama ekspor lain yang juga mengalami dinamika adalah China. Pada April membukukan kenaikan impor sebesar 41 persen dibandingkan Maret (dari 353,46 ribu ton meningkat menjadi 499,57 ribu ton) kemudian pada Mei melorot 18 persen (atau dari 499,57 ribu ton turun menjadi 410,56 ribu ton)," kata dia.
Baca juga: Petani Desak Satu Harga Pembelian TBS
Beralih kepada penyerapan Biodiesel di dalam negeri. Sepanjang April serapan biodiesel di dalam negeri hanya mampu mencapai 516 ribu ton atau terkikis 2 persen dibandingkan Maret lalu. Pada Mei ini serapan menunjukkan progres yang positif yaitu mencapai 557 ribu ton atau terkerek 8 persen dibandingkan April.
"Melihat dinamika pasar global yang terus bergejolak terutama sentimen regulasi dari negara tujuan ekspor, berkombinasi dengan cukup tingginya stock di Malaysia dan Indonesia, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi implementasi B30 segera setelah road test/uji coba kendaraan selesai dilakukan di Oktober nanti," sebutnya.
Demikian juga PLN kata dia yang semestinya dapat segera merealisasikan penggunaan minyak sawit untuk pembangkit listrik. Jika program penyerapan dalam negeri dapat berjalan maksimal (B30 sekitar 9 juta ton dan PLN sekitar 3 juta ton) sehingga meningkatkan serapan pasar domestik dan mengurangi dampak tingginya stok. Pada saat yang sama Indonesia dapat mengurangi impor minyak bumi dan kita tidak perlu bergantung sepenuhnya kepada pasar global, khususnya Eropa.
Baca juga: Harga Sawit Riau Terus Naik
"Pada saat ini juga adalah waktu yang tepat untuk mempercepat program peremajaan kebun sawit untuk menjaga keseimbangan stok. Replanting akan mengurangi produksi untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memperbaiki produktivitas dan efisiensi dalam jangka panjang," kata dia.
Dari sisi harga, sepanjang Mei harga CPO CIF Rotterdam bergerak di kisaran 492,5 Dolar AS– 535 Dolar AS per metrik ton dengan harga rata-rata 511,9 US Dollar per metrik ton.
"Untuk di Kalbar sendiri untuk harga tandan buah segar berdasarkan penetapan periode I Juli 2019 untuk harga umur terendah 3 tahun Rp930,08 per kilogram. Sedangkan untuk umur 25 tahun Rp1.106,10 per kilogram. Harga CPO Rp6.088,66 dan Kamel Rp3.097,35 tidak termasuk PPN," kata dia.
Baca juga: GPPI Prediksi Harga TBS Akan Terus Naik
Baca juga: Harga Minyak Sawit Mentah Naik
Baca juga: Harga TBS Sawit di Bengkulu Hanya Rp150/KG
Baca juga: Petani Sawit Landak Protes Penetapan Harga TBS PTPN XIII
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
"Melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia tentu menjadi suatu pekerjaan rumah bagi industri sawit Indonesia. Beberapa negara tujuan ekspor utama memberlakukan regulasi yang sudah masuk dalam kategori hambatan dagang. Contoh India, yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum," ujarnya di Pontianak, Kalbar, Jumat.
Baca juga: Harga CPO mulai naik
Ia menjelaskan bahwa dari catatan Gapki pada April 2019 ekspor minyak sawit Indonesia secara total (CPO) dan turunannya, yakni oleochemical dan biodiesel mengalami penurunan 18 persen dibandingkan total ekspor pada Maret lalu, atau dari 2,96 juta ton menurun menjadi 2,44 juta ton.
Kemudian pada bulan Mei kinerja ekspor mulai merangkak naik tetapi masih di bawah ekspektasi. Pada Mei 2019 total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 2,79 juta ton atau naik 14 persen dibandingkan dengan total ekspor pada bulan sebelumnya.
"Sementara itu total ekspor khusus CPO dan turunannya (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) pada April 2019 mencatatkan penurunan 27 persen atau dari 2,76 juta ton Maret menurun menjadi 2,01 juta ton April. Sementara pada bulan Mei total ekspor tercatat mencapai 2,40 juta ton atau meningkat 18 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya," papar dia.
Baca juga: Anjloknya harga sawit harus segera diatasi
Ia menyebutkan, Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua mengambil langkah sigap menghadapi regulasi India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang telah ditandatangani sejak tahun 2011 dengan perundingan lanjutan di Free Trade Agreement menghasilkan diskon bea masuk impor refined products yang lebih rendah dibandingkan bea masuk yang dikenakan kepada Indonesia. Tarif bea masuk refined product dari Malaysia 45 persen dari tarif berlaku 54 persen.
"Alhasil dari diskon tarif bea masuk yang dinikmati Malaysia, pasar minyak sawit Indonesia ke India kian tergerus, pasar India didominasi oleh Malaysia. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi kerja sama ekonomi dengan India untuk pemberlakuan tarif impor yang sama, sehingga Indonesia dapat berkompetensi memeriahkan pasar India," kata dia.
Baca juga: Petani karet beralih ke sawit
Sementara Uni Eropa, sejak Delegated Act RED II diadopsi Maret lalu, tidak dapat dipungkiri telah ikut membangun sentimen negatif pasar minyak sawit Indonesia di Eropa. Gapki mencatatkan ekspor CPO dan turunannya ke Benua Biru ini terus tergerus. Pada April 2019 ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia tercatat menurun 37 persen dibandingkan Maret lalu, kemudian pada Mei kembali melorot 4 persen dibandingkan April (Maret 498,24 ribu ton, April 315,24 ribu ton dan Mei 302,16 ribu ton). Lagi-lagi regulasi negara tujuan ekspor yang menjadi hambatan dagang.
"Pasar utama ekspor lain yang juga mengalami dinamika adalah China. Pada April membukukan kenaikan impor sebesar 41 persen dibandingkan Maret (dari 353,46 ribu ton meningkat menjadi 499,57 ribu ton) kemudian pada Mei melorot 18 persen (atau dari 499,57 ribu ton turun menjadi 410,56 ribu ton)," kata dia.
Baca juga: Petani Desak Satu Harga Pembelian TBS
Beralih kepada penyerapan Biodiesel di dalam negeri. Sepanjang April serapan biodiesel di dalam negeri hanya mampu mencapai 516 ribu ton atau terkikis 2 persen dibandingkan Maret lalu. Pada Mei ini serapan menunjukkan progres yang positif yaitu mencapai 557 ribu ton atau terkerek 8 persen dibandingkan April.
"Melihat dinamika pasar global yang terus bergejolak terutama sentimen regulasi dari negara tujuan ekspor, berkombinasi dengan cukup tingginya stock di Malaysia dan Indonesia, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi implementasi B30 segera setelah road test/uji coba kendaraan selesai dilakukan di Oktober nanti," sebutnya.
Demikian juga PLN kata dia yang semestinya dapat segera merealisasikan penggunaan minyak sawit untuk pembangkit listrik. Jika program penyerapan dalam negeri dapat berjalan maksimal (B30 sekitar 9 juta ton dan PLN sekitar 3 juta ton) sehingga meningkatkan serapan pasar domestik dan mengurangi dampak tingginya stok. Pada saat yang sama Indonesia dapat mengurangi impor minyak bumi dan kita tidak perlu bergantung sepenuhnya kepada pasar global, khususnya Eropa.
Baca juga: Harga Sawit Riau Terus Naik
"Pada saat ini juga adalah waktu yang tepat untuk mempercepat program peremajaan kebun sawit untuk menjaga keseimbangan stok. Replanting akan mengurangi produksi untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memperbaiki produktivitas dan efisiensi dalam jangka panjang," kata dia.
Dari sisi harga, sepanjang Mei harga CPO CIF Rotterdam bergerak di kisaran 492,5 Dolar AS– 535 Dolar AS per metrik ton dengan harga rata-rata 511,9 US Dollar per metrik ton.
"Untuk di Kalbar sendiri untuk harga tandan buah segar berdasarkan penetapan periode I Juli 2019 untuk harga umur terendah 3 tahun Rp930,08 per kilogram. Sedangkan untuk umur 25 tahun Rp1.106,10 per kilogram. Harga CPO Rp6.088,66 dan Kamel Rp3.097,35 tidak termasuk PPN," kata dia.
Baca juga: GPPI Prediksi Harga TBS Akan Terus Naik
Baca juga: Harga Minyak Sawit Mentah Naik
Baca juga: Harga TBS Sawit di Bengkulu Hanya Rp150/KG
Baca juga: Petani Sawit Landak Protes Penetapan Harga TBS PTPN XIII
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019