Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Barat Sy. Kamaruzzaman mengatakan pemerintah Kalbar mendukung penuh larangan ekspor bauksit yang dilakukan oleh pemerintah pusat, mengingat kebijakan tersebut akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang cepat bagi daerah.
"Sesuai dengan Permen Nomor 7 Tahun 2020 tentang Minerba sebagai pengganti Permen nomor 4 tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan larangan untuk ekspor bauksit dan sumber mineral ini harus diolah di dalam negeri. Kami dari Pemprov Kalbar jelas akan mendukung hal tersebut karena dampaknya akan positif bagi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah," kata Kamaruzzaman di Pontianak, Selasa.
Kamaruzzaman menjelaskan, potensi bauksit di Kalbar sebesar 66,7 persen dari potensi bauksit yang ada di Indonesia. Namun sayangnya, Kalbar memiliki smelter yang cukup untuk hilirsisasi potensi ini.
"Di Kalbar baru ada smelter di Tayan dan Ketapang dan sekarang ini progres pembangunan di Mempawah dan sedang membangun infrastruktur smelter di Ketapang, sehingga nantinya di Ketapang akan ada 2 smelter," tuturnya.
Dia meyakini, pemerintah pusat tentu sudah mengkaji kebijakan yang dibuat tentang larangan ekspor bauksit mentah, sehingga pihaknya sangat mendukung jika bauksit tersebut di olah dulu di Kalbar, sehingga dampaknya akan besar untuk masyarakat dan perekonomian Kalbar.
"Memang saat ini dampaknya akan ada, di mana semula bauksit bisa di ekspor langsung namun sekarang tidak bisa di lakukan secara langsung. Namun, secara berkelanjutan, dampak positifnya akan dirasakan masyarakat dan daerah," katanya.
Terkait hal tersebut, pihaknya mendorong pengusaha tambang bauksit dapat membangun smelter untuk pengolahannya. Karena jika pemerintah melakukan larangan ekspor, tentu para pengusaha tambang ini hanya bisa menjualnya ke dalam negeri.
Dengan potensi bauksit yang besar di Kalbar, pihaknya berharap pemerintah pusat bisa membangun banyak smelter di Kalbar untuk memberikan dampak positif bagi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi daerah.
"Kita juga berharap dana bagi hasil dari pemerintah pusat kepada daerah yang memiliki pontensi bauksit besar, bisa di berikan sesuai ketentuan yang berlaku," tuturnya.
Terpisah, pengamat Kebijakan Publik, Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar justru mengaku jika kebijakan larangan ekspor bauksit tersebut dilakukan karena akan memberikan efek domino, khususnya bagi Kalbar yang memiliki tambang bauksit.
"Saat ini smelter di Kalbar jelas belum cukup untuk melakukan hilirisasi pemurnian biji bauksit menjadi alumina atau nikel. Saat ini kapasitas smelter kita tidak cukup untuk memproduksi bauksit yang cukup besar, karena berdasarkan data yang ada, tahun 2019 saja, tercatat 11.608.937 metrik ton (MT) yang diproduksi, sementara smelter yang sudah beroperasi baru 2 di Kalbar sehingga ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
"Sesuai dengan Permen Nomor 7 Tahun 2020 tentang Minerba sebagai pengganti Permen nomor 4 tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan larangan untuk ekspor bauksit dan sumber mineral ini harus diolah di dalam negeri. Kami dari Pemprov Kalbar jelas akan mendukung hal tersebut karena dampaknya akan positif bagi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah," kata Kamaruzzaman di Pontianak, Selasa.
Kamaruzzaman menjelaskan, potensi bauksit di Kalbar sebesar 66,7 persen dari potensi bauksit yang ada di Indonesia. Namun sayangnya, Kalbar memiliki smelter yang cukup untuk hilirsisasi potensi ini.
"Di Kalbar baru ada smelter di Tayan dan Ketapang dan sekarang ini progres pembangunan di Mempawah dan sedang membangun infrastruktur smelter di Ketapang, sehingga nantinya di Ketapang akan ada 2 smelter," tuturnya.
Dia meyakini, pemerintah pusat tentu sudah mengkaji kebijakan yang dibuat tentang larangan ekspor bauksit mentah, sehingga pihaknya sangat mendukung jika bauksit tersebut di olah dulu di Kalbar, sehingga dampaknya akan besar untuk masyarakat dan perekonomian Kalbar.
"Memang saat ini dampaknya akan ada, di mana semula bauksit bisa di ekspor langsung namun sekarang tidak bisa di lakukan secara langsung. Namun, secara berkelanjutan, dampak positifnya akan dirasakan masyarakat dan daerah," katanya.
Terkait hal tersebut, pihaknya mendorong pengusaha tambang bauksit dapat membangun smelter untuk pengolahannya. Karena jika pemerintah melakukan larangan ekspor, tentu para pengusaha tambang ini hanya bisa menjualnya ke dalam negeri.
Dengan potensi bauksit yang besar di Kalbar, pihaknya berharap pemerintah pusat bisa membangun banyak smelter di Kalbar untuk memberikan dampak positif bagi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi daerah.
"Kita juga berharap dana bagi hasil dari pemerintah pusat kepada daerah yang memiliki pontensi bauksit besar, bisa di berikan sesuai ketentuan yang berlaku," tuturnya.
Terpisah, pengamat Kebijakan Publik, Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar justru mengaku jika kebijakan larangan ekspor bauksit tersebut dilakukan karena akan memberikan efek domino, khususnya bagi Kalbar yang memiliki tambang bauksit.
"Saat ini smelter di Kalbar jelas belum cukup untuk melakukan hilirisasi pemurnian biji bauksit menjadi alumina atau nikel. Saat ini kapasitas smelter kita tidak cukup untuk memproduksi bauksit yang cukup besar, karena berdasarkan data yang ada, tahun 2019 saja, tercatat 11.608.937 metrik ton (MT) yang diproduksi, sementara smelter yang sudah beroperasi baru 2 di Kalbar sehingga ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023