Pontianak (ANTARA) - Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menyatakan pihaknya akan mengkaji praktik pertambangan di provinsi itu dari sisi lingkungan, karena dampaknya semakin membahayakan.
"Karena saya lihat keberadaan tambang dari sisi lingkungan sudah sangat membahayakan, bahkan tidak terkontrol," kata Sutarmidji di Pontianak, Minggu.
Ia menjelaskan praktik-praktik eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Kalbar dinilai masih kacau-balau, khususnya pertambangan bauksit, karena selama ini keberadaan perusahaan pertambangan tidak menguntungkan daerah, malah sebaliknya, daerah harus menanggung semua dampaknya.
Para pemilik perusahaan semuanya berasal dari luar daerah, dimana timbal balik dari apa yang sudah dieksploitasi dari alam Kalbar tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, ujarnya.
Sutarmidji mengatakan, kuota ekspor bauksit yang diberikan pemerintah pusat untuk Kalbar pada 2018 mencapai 12 juta ton, namun sangat merugikan daerah.
"Siapa yang menjaga 12 juta ton kuota ekspor bauksit itu, tidak ada. Dia (proses ekspornya) bukan di pelabuhan, melainkan di tengah laut sana, sehingga habis bauksit itu," keluhnya.
Sutarmidji menyarankan agar dilakukan pengecekan terhadap dana jaminan rehabilitasi yang dikeluarkan masing-masing perusahaan. Ia memastikan jumlahnya tidak akan sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi alam seperti sebelumnya.
Apalagi besaran tarif dipatok sama rata sesuai luas kawasan yang dieksploitasi tanpa melihat kedalaman galian dan faktor-faktor lain, misalnya keanekaragaman hayati yang hilang, tambahnya.
"Sekian juta meter kubik (bauksit), itu harus dilihat dalamnya berapa meter kubik yang digali. Nah, berapa yang dia (perusahaan) bayar untuk jaminan reklamasi, tidak imbang," katanya.
Akibatnya, menurut Sutarmidji, masyarakatlah yang kemudian harus menanggung dampaknya. Ia mencontohkan, di Kabupaten Ketapang saat ini sudah banyak wilayah yang menjadi langganan banjir yang diduga terjadi karena kerusakan lingkungan di sekitarnya.
Apalagi, kontribusi perusahaan pertambangan terhadap daerah ini juga dinilai sangat minim. Bahkan, untuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan saja, semuanya terdaftar di pusat (Jakarta).
Sementara ketika terjadi permasalahan, justru gubernur sebagai kepala daerahlah yang harus mempertanggungjawabkannya.
Jika sampai mendapat teguran dari pemerintah pusat akibat masalah ini, ia memastikan bakal menegur balik. Sebab pusat yang mengeluarkan kebijakan kuota dan tidak pernah berkoordinasi dengan gubernur.
Sutarmidji lantas menghitung relatif kecilnya penerimaan negara dari ekspor bahan mentah bauksit.
Dari harga bauksit 40 dolar AS per ton, negara hanya mendapat 10 persen. Ia menghitung total kontribusinya dari seluruh kabupaten/kota se-Kalbar dalam satu tahun hanya sekitar Rp100-140 miliar, tidak sebanding dengan jumlah uang yang dinikmati perusahaan.
Dari kuota ekspor 12 juta ton itu misalnya, totalnya bisa mencapai sekitar 500 jutaan dolar AS (dikalikan harga bauksit 40 dolar per ton), jika bagi hasil hanya 10 persen, artinya negara hanya mendapat sekitar 50 juta dolar.
"Lalu, berapa biaya untuk mengembalikan lingkungan rusak yang harus dibayar? tidak akan terhitung, dan tidak akan mampu kita," terangnya.
Sutarmidji lantas mempertanyakan peran inspektur tambang dari pusat dan pihak terkait di Dinas ESDM yang selama ini berfungsi melakukan pengawasan.
"Orang-orang ESDM jangan merasa pintar, sektor ESDM dan kehutanan mau saya rombak habis. Itu nanti inspektur tambang saya mau kembalikan semuanya ke pusat, karena tidak beres semua itu. Kasih tahu semua inspektur tambang itu, saya yang ngomong," katanya.
Untuk pengawasan, ke depan pemprov bakal melibatkan berbagai pihak, salah satunya Kepolisian Daerah (Polda). Di samping itu, Sutarmidji juga bakal menyampaikan masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya ia juga sudah meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) untuk ikut mengawasi praktik-praktik di sektor perkebunan dan pertambangan.
Pemprov Kalbar akan kaji praktik pertambangan dari sisi lingkungan
Minggu, 23 Juni 2019 14:05 WIB