Psikolog Klinis Forensik dari Universitas Indonesia A. Kasandra Putranto mengungkap ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibanding laki-laki, salah satunya bahwa asumsi atau konstruksi sosial masyarakat yang menganggap perempuan lebih lemah.
"Kedua, mungkin ada ketergantungan finansial, emosional, atau ketergantungan sosial di mana mungkin ada ekspresi-ekspresi yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak berdaya," kata Kasandra, saat dihubungi ANTARA, Jumat.
Dalam pranata sosial, perempuan kerap kali ditempatkan sebagai tokoh yang harus mengalah. Kasandra juga menekankan bahwa perempuan yang telah menjadi korban kekerasan rentan mengalami kekeresan sekunder.
Baca juga: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis
"Saat kekerasan itu terjadi, seringkali juga diikuti dengan kekerasan sekunder misalnya, banyak orang berpendapat bahwa penyebab kekerasan tersebut karena perempuan," ujar Kasandra.
Ia mengatakan bahwa terdapat profil psikologis yang khas yang membuat seorang perempuan rentan terhadap kekerasan. Selain akibat ketergantungan emosional, finansial, atau sosial, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan akibat pola asuh.
Pola asuh keluarga yang salah dapat melahirkan bibit kekerasan pada anak di masa depan. Entah kelak ia akan menjadi korban yang menoleransi kekerasan, atau bahkan menjadi pelaku.
Kasandra mengatakan bahwa kekerasan dapat terjadi pada siapapun, tanpa memandang latar belakang profesi ataupun latar belakang pendidikan.
"Kekerasan terjadi ketika ada kesenjangan kuasa, yang satu lebih berkuasa daripada yang lain, lebih powerful sehingga melakukan kekerasan terhadap yang dianggap lemah karena ada kesenjangan relasi kuasa," ujar Kasandra.
Korban yang mengalami kekerasan, kata Kasandra, sulit keluar dari situasi tersebut dan kesulitan meninggalkan pelaku. Kasandra menganalogikan situasi korban layaknya sedang diikat berkali-kali oleh seutas tali.
"Kita bayangkan kalau seutas tali mengikat satu lingkaran saja tentu mudah memutusnya, tetapi kalau diikat berkali-kali sampai 10 atau bahkan 100 kali, gunting macam apa yang bisa menggunting tali tersebut. Walaupun seutas tetapi dijeratnya berkali-kali," kata Kasandra.
Baca juga: Aplikasi SIPUDAK memudahkan warga melaporkan kasus kekerasan
Sejumlah organisasi perempuan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(KPPA) RI melakukan kampanye penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Sudah hampir 20 tahun UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) disahkan, tetapi sampai saat ini kita semua tahu bahwa implementasinya masih jauh dari harapan, terutama untuk perlindungan korban. Mari kita bersama sama bersinergi berkolaborasi saling mendukung untuk terus mengawal mendampingi implementasi dari UU ini, "ujar Ketua Umum Kowani, Dr Giwo Rubianto Wiyogo, di Jakarta, Ahad.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
"Kedua, mungkin ada ketergantungan finansial, emosional, atau ketergantungan sosial di mana mungkin ada ekspresi-ekspresi yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak berdaya," kata Kasandra, saat dihubungi ANTARA, Jumat.
Dalam pranata sosial, perempuan kerap kali ditempatkan sebagai tokoh yang harus mengalah. Kasandra juga menekankan bahwa perempuan yang telah menjadi korban kekerasan rentan mengalami kekeresan sekunder.
Baca juga: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis
"Saat kekerasan itu terjadi, seringkali juga diikuti dengan kekerasan sekunder misalnya, banyak orang berpendapat bahwa penyebab kekerasan tersebut karena perempuan," ujar Kasandra.
Ia mengatakan bahwa terdapat profil psikologis yang khas yang membuat seorang perempuan rentan terhadap kekerasan. Selain akibat ketergantungan emosional, finansial, atau sosial, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan akibat pola asuh.
Pola asuh keluarga yang salah dapat melahirkan bibit kekerasan pada anak di masa depan. Entah kelak ia akan menjadi korban yang menoleransi kekerasan, atau bahkan menjadi pelaku.
Kasandra mengatakan bahwa kekerasan dapat terjadi pada siapapun, tanpa memandang latar belakang profesi ataupun latar belakang pendidikan.
"Kekerasan terjadi ketika ada kesenjangan kuasa, yang satu lebih berkuasa daripada yang lain, lebih powerful sehingga melakukan kekerasan terhadap yang dianggap lemah karena ada kesenjangan relasi kuasa," ujar Kasandra.
Korban yang mengalami kekerasan, kata Kasandra, sulit keluar dari situasi tersebut dan kesulitan meninggalkan pelaku. Kasandra menganalogikan situasi korban layaknya sedang diikat berkali-kali oleh seutas tali.
"Kita bayangkan kalau seutas tali mengikat satu lingkaran saja tentu mudah memutusnya, tetapi kalau diikat berkali-kali sampai 10 atau bahkan 100 kali, gunting macam apa yang bisa menggunting tali tersebut. Walaupun seutas tetapi dijeratnya berkali-kali," kata Kasandra.
Baca juga: Aplikasi SIPUDAK memudahkan warga melaporkan kasus kekerasan
Sejumlah organisasi perempuan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(KPPA) RI melakukan kampanye penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Sudah hampir 20 tahun UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) disahkan, tetapi sampai saat ini kita semua tahu bahwa implementasinya masih jauh dari harapan, terutama untuk perlindungan korban. Mari kita bersama sama bersinergi berkolaborasi saling mendukung untuk terus mengawal mendampingi implementasi dari UU ini, "ujar Ketua Umum Kowani, Dr Giwo Rubianto Wiyogo, di Jakarta, Ahad.
Kampanye tersebut diselenggarakan di Jakarta pada hari bebas kendaraan bermotor. Kampanye tersebut melibatkan sejumlah organisasi perempuan lainnya.
Dia menambahkan payung hukum untuk KDRT sudah ada, tetapi realitanya kasus KDRT masih meningkat.Baca berita selengkapnya: Organisasi perempuan dan KPPA RI kampanyekan penghapusan KDRT
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023