Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah mengatakan bahwa konsep moderasi beragama wajib dimiliki oleh seluruh insan Indonesia, mengingat beragamnya budaya dan kepercayaan di Tanah Air.
Konsep moderasi beragama dinilai menjadi jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian, kerukunan, dan persatuan. Moderasi beragama berusaha menempatkan kedudukan yang sama antara negara dan agama, sehingga masyarakatnya bisa mendapatkan kedua bagian tersebut secara adil dan merata.
"Moderasi beragama adalah cara pandang beragama yang wajib dimiliki oleh seluruh insan Indonesia. Kalau dibilang sekularisasi, tampaknya kurang begitu tepat," kata Syauqillah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (29/5).
Menurut dia, bagaimanapun secara institusional Indonesia menempatkan agama pada posisi yang tinggi dalam urusan kenegaraannya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya institusi pemerintah yang namanya Kementerian Agama.
Moderasi beragama terdiri atas empat pilar, yakni memiliki komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kearifan lokal. Moderasi beragama merupakan cara Indonesia mengakui kehadiran agama dalam setiap sendi kehidupan bernegara.
Syauqillah menekankan bahwa menyamakan moderasi beragama dengan sekularisme merupakan kekeliruan. Moderasi beragama justru menempatkan cara pandang umat beragama sesuai dengan keadaan di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki beberapa produk perundang-undangan yang bisa dijadikan rujukan bahwa negara tidak menempatkan agama secara terpisah. Dengan begitu, konsep twin tolerations, yakni konsep yang menempatkan agama dan negara dalam posisi yang seimbang, dapat terasa kehadirannya di Indonesia.
"Kolaborasi dan keseimbangan antara negara dan agama ditunjukkan dengan tingginya toleransi antar-sesama. Bentuk sinergi ini ditunjukkan dengan adanya perundang-undangan tentang produk yang halal, pelaksanaan ibadah haji, dan zakat, serta perbankan syariah, yang diatur dengan sangat baik di Indonesia," ucap Syauqillah.
Di samping itu, Syauqillah menyoroti fakta bahwa tercatat nol kasus terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2023. Meski demikian, dia mengingatkan ancaman terorisme dan radikalisme tidak benar-benar hilang di tengah masyarakat.
"Memang angka serangan terorismenya nol, tetapi jumlah yang ditangkap itu mencapai 147 orang. Kalau kita lihat pada tahun 2024, kita patut bersyukur hingga saat ini tidak ada serangan terorisme. Justru kita melihat banyak penangkapan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam organisasi teror," ujarnya.
Penangkapan yang terjadi menunjukkan bahwa radikalisasi masih berjalan di bawah tanah. Oleh sebab itu, Syauqillah mendorong agar penyebaran ideologi berbasis kekerasan dipersempit ruang geraknya melalui regulasi dari pemerintah dan peran aktif masyarakat dalam menerapkan moderasi beragama.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Konsep moderasi beragama dinilai menjadi jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian, kerukunan, dan persatuan. Moderasi beragama berusaha menempatkan kedudukan yang sama antara negara dan agama, sehingga masyarakatnya bisa mendapatkan kedua bagian tersebut secara adil dan merata.
"Moderasi beragama adalah cara pandang beragama yang wajib dimiliki oleh seluruh insan Indonesia. Kalau dibilang sekularisasi, tampaknya kurang begitu tepat," kata Syauqillah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (29/5).
Menurut dia, bagaimanapun secara institusional Indonesia menempatkan agama pada posisi yang tinggi dalam urusan kenegaraannya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya institusi pemerintah yang namanya Kementerian Agama.
Moderasi beragama terdiri atas empat pilar, yakni memiliki komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kearifan lokal. Moderasi beragama merupakan cara Indonesia mengakui kehadiran agama dalam setiap sendi kehidupan bernegara.
Syauqillah menekankan bahwa menyamakan moderasi beragama dengan sekularisme merupakan kekeliruan. Moderasi beragama justru menempatkan cara pandang umat beragama sesuai dengan keadaan di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki beberapa produk perundang-undangan yang bisa dijadikan rujukan bahwa negara tidak menempatkan agama secara terpisah. Dengan begitu, konsep twin tolerations, yakni konsep yang menempatkan agama dan negara dalam posisi yang seimbang, dapat terasa kehadirannya di Indonesia.
"Kolaborasi dan keseimbangan antara negara dan agama ditunjukkan dengan tingginya toleransi antar-sesama. Bentuk sinergi ini ditunjukkan dengan adanya perundang-undangan tentang produk yang halal, pelaksanaan ibadah haji, dan zakat, serta perbankan syariah, yang diatur dengan sangat baik di Indonesia," ucap Syauqillah.
Di samping itu, Syauqillah menyoroti fakta bahwa tercatat nol kasus terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2023. Meski demikian, dia mengingatkan ancaman terorisme dan radikalisme tidak benar-benar hilang di tengah masyarakat.
"Memang angka serangan terorismenya nol, tetapi jumlah yang ditangkap itu mencapai 147 orang. Kalau kita lihat pada tahun 2024, kita patut bersyukur hingga saat ini tidak ada serangan terorisme. Justru kita melihat banyak penangkapan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam organisasi teror," ujarnya.
Penangkapan yang terjadi menunjukkan bahwa radikalisasi masih berjalan di bawah tanah. Oleh sebab itu, Syauqillah mendorong agar penyebaran ideologi berbasis kekerasan dipersempit ruang geraknya melalui regulasi dari pemerintah dan peran aktif masyarakat dalam menerapkan moderasi beragama.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024