Pontianak (ANTARA Kalbar) - Berawal saat mengeyam pendidikan di Fakultas Fisipol Universitas
Tanjungpura Pontianak, sosok lelaki muda ini mulai timbul keprihatinan
terhadap kondisi lingkungan hidup di sekitarnya, khususnya di Kalimantan
Barat ini.
Kelestarian lingkungan hidup di Bumi Akcaya ini terancam dengan
hadirnya pemilik modal dalam pengembangan sawit dan hak-hak masyarakat
adat terasa tersisihkan.
Lelaki muda bernama Hendrikus Adam itu menjadi semakin terpanggil
dan intens untuk memperjuangkan kelangsungan lingkungan hidup di
Provinsi Kalimantan Barat khususnya, dan di Indonesia umumnya, agar
tidak dirusak oleh keserakahan para pengambil kebijakan dan para
kapitalis.
Hendrikus terlahir di Kampung Nahaya, Desa Amboyo Selatan,
Kabupaten Landak, pada 19 Juli 1982. Meski memiliki tubuh yang kecil,
tetapi semangat membela dan mempertahankan agar lingkungan tidak rusak
cukup tinggi.
Sebelum total sebagai aktivis lingkungan hidup, ia pernah terjun ke
dunia jurnalis dengan bergabung ke Majalah Kalimantan Review tahun 2007,
dengan tetap konsen terhadap dunia lingkungan, isu-isu masyarakat adat
dan revitalisasi lingkungan hidup.
Hendrikus Adam, menyelesaikan SDN No. 32 Nahaya (Sekarang SDN 28
Nahaya), kemudian melanjutkan SMP PGRI 10 Nahaya, SMU Negeri I Mandor,
dan FISIP Universitas Tanjungpura tahun 2001, yang belum terselesaikan
hingga sekarang.
Keluar dari awak media, ia berkomitmen aktif sepenuhnya di
organisasi non pemerintah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Kini jabatan yang disandangnya sebagai Kepala Divisi Riset dan
Dokumentasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar sejak 2009.
Tanpa Kenal Lelah
Komitmen terjun ke dunia lingkungan hidup yang sudah banyak
mengalami kerusakan di Kalbar ini memang tidak mudah. Banyak suka dan
dukanya, serta harus diperjuangkan tanpa kenal lelah.
"Yang pastinya banyak waktu saya dihabiskan untuk memperjuangkan
kelestarian hidup, baik pikiran, tenaga maupun waktu," ujarnya.
Dia juga pernah sampai-sampai diintimidasi di bawah todongan pistol
oleh oknum aparat karena pada saat itu sedang memberikan materi di
Bengkayang terkait isu-isu lingkungan hidup.
"Apakah pistol yang ditodongkan itu benaran atau tidak saya tidak
mengetahuinya. Dia menyuruh saya cepat-cepat meninggalkan Kota
Singkawang, pada saat saya berkendaraan motor hendak pulang ke
Pontianak, saat melewati kawasan Pasir Panjang," ungkap anak dari
pasangan ayah Sahaden dan ibu Urim (almarhumah).
Meskipun, telah banyak menerima cobaan, tidak membuat dia takut dengan meninggalkan dunianya.
"Orang tua saya tidak melarang atau menganjurkan terhadap kegiatan
yang saat ini saya geluti, yang jelas konsekuensi apapun sudah
diserahkan pada saya semuanya," katanya.
Komitmen perjuangan diri Hendrikus Adam telah tertanam lama, karena
dirinya telah berpengalaman dalam berorganisasi. Ia pernah aktif di
sejumlah organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam (GEMPA),
Jaringan Rakyat untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP), PMKRI Pontianak,
turut membidangi lahirnya Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (SALAK),
organisasi sayap Walhi Kalbar, dan pernah terlibat pada sejumlah wadah
organisasi lainnya.
Sebagai salah seorang peminat isu sosial budaya, hak asasi manusia,
peace building dan lingkungan hidup, ia aktif berdiskusi di sejumlah
kota dan berbagai ilmu sambil mengkritisi kondisi yang ada.
Seperti halnya masalah sawit. Hendrikus Adam menyatakan, "Stop
Sawit" karena pengembang perkebunan sawit di Kalbar sudah jelas termasuk
pelanggar hak asasi manusia (HAM) berat karena dengan segala upaya
termasuk menggunakan kekerasan terhadap masyarakat yang berusaha
mempertahankan haknya, berupa tanah agar tidak dirampas.
Menurut catatan Walhi Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi.
Data Walhi Kalbar, mencatat sejak tahun 2008 hingga 2011 tercatat
sekitar 280 konflik antara masyarakat yang berusaha mempertahankan
tanahnya agar tidak digarap oleh pihak investor di bidang pengembangan
perkebunan sawit di provinsi itu.
Sementara, sepanjang 2011 saja sudah terjadi 60 konflik antara masyarakat dan pihak perkebunan sawit di Kalbar.
Dia menilai, ada upaya kriminalisasi oleh pemilik perkebunan sawit
di berbagai kabupaten di Kalbar terhadap masyarakat yang menolak
daerahnya dikembangkan sektor tersebut.
"Kasus kriminalisasi seperti itu telah berulangkali dialami
masyarakat yang menolak pengembangan sawit kabupaten/kota di Kalbar,"
ujarnya.
Dampak eksploitasi terhadap lingkungan sudah terjadi kini,
yaknisudah dirasakan sulitnya mendapatkan air bersih di daerah-daerah.
"Sebagai negara kepulauan, seharusnya tidak mempermasalahkan tentang
layanan air. Tapi kenyataannya air yang termasuk kebutuhan dasar,
kondisinya sudah tercemar,"ungkapnya.
Di Kota Pontianak saja saat ini cukup sulit untuk mendapatkan air bersih.
"Sebagian besar masyarakat Pontianak harus membayar mahal untuk
memperoleh air, meskipun air tersebut masih tercemar limbah akibat
aktivitas pertambangan liar dan perambahan hutan," katanya.
Ia mengingatkan, ancaman besar dengan perluasan sawit yang tak
terkendali terhadap keberlangsungan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS)
di Kabupaten Kapuas Hulu, karena taman itu merupakan daerah tangkapan
air, sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas.
(A057)
Profil - Hendrikus Adam, Tanpa Lelah Perjuangkan Lingkungan Hidup
Sabtu, 13 Oktober 2012 19:52 WIB
Kasus kriminalisasi seperti itu telah berulangkali dialami masyarakat yang menolak pengembangan sawit kabupaten/kota di Kalbar.