Surabaya (Antara Kalbar) - Kalangan ulama dari sejumlah pesantren di Jawa Timur mendukung Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama setempat untuk memberlakukan sistem pemilihan baru "ahlil halli wal aqdy" (AHWA) dalam Konferensi Wilayah PWNU Jatim pada 31 Mei-2 Juni.
"Para ulama pesantren dan syuriah (pengurus NU dari kalangan ulama) setuju dengan AHWA, karena cara itu akan mengembalikan NU kepada kepemimpinan ulama seperti masa lalu," kata Wakil Ketua PWNU Jatim HA Wahid Asa di Surabaya, Kamis.
Namun menurut dia, cara pemilihan ketua yang dilakukan semacam "dewan ulama" dan dapat menangkal riswah (suap/politik uang) itu justru ditolak kalangan "tanfidziyah" (pengurus dari kalangan pelaksana organisasi/non-ulama/politisi).
"Alasan mereka tidak jelas, mereka bilang cara itu menyalahi AD/ART NU Bab XIV Pasal 42 ayat (1) point a dan b, tapi alasan itu mengada-ada, karena kami memberlakukan mekanisme AHWA itu justru merujuk kepada AD/ART NU dari hasil Muktamar Makassar," kata Wahid.
Didampingi Wakil Sekretaris PWNU Jatim H Ahmad Sujono, ia menjelaskan AD/ART Nahdlatul Ulama Bab XIV Pasal 42, 43, dan 45 itu menyebutkan bahwa rais (ketua) dipilih secara langsung berdasarkan musyawarah mufakat atau pemungutan suara.
"Pasal itu justru merupakan rumusan PWNU Jatim yang diusulkan dalam Muktamar Makassar dengan menawarkan dua pola yakni musyawarah mufakat dan pemungutan suara. Nah musyawarah mufakat itulah yang memungkinkan mekanisme AHWA diterapkan," katanya.
Ia membantah bahwa AHWA bukan cara yang demokratis karena penerapan AHWA diupayakan melalui mekanisme demokratis dari cabang, bahkan mekanisme melalui rapat cabang itu justru lebih demokratis daripada pengurus NU dalam konferensi/muktamar yang individual.
"Yang pasti, kalangan tanfidziyah merasa dirugikan dengan empat tujuan AHWA yakni menempatkan ulama/syuriah dalam posisi pemimpin tertinggi, mengurangi 'riswah', mengatasi konflik pasca-pemilihan, dan kesinambungan program atau regenerasi," katanya.
Oleh karena itu, PWNU Jatim mengharapkan para ulama untuk mengawal mekanisme AHWA yang akan berawal dari rapat harian di tingkat cabang untuk memilih lima calon syuriah dan lima calon tanfidziyah untuk diajukan dalam Konferwil PWNU Jatim itu.
"Usulan nama-nama calon itu sudah harus masuk ke PWNU Jatim sekitar seminggu menjelang Konferwil NU untuk ditabulasikan sesuai peringkat. Lalu hasil tabulasi itu akan diumumkan secara terbuka di hadapan peserta konferwil dalam sidang pleno pemilihan," katanya.
Nama-nama itu akan diambil sembilan peringkat teratas untuk syuriah dan sembilan teratas untuk tanfidziah, lalu sembilan nama dari kalangan syuriah yang disebut ahlil halli wal aqdy itu akan melakukan musyawarah.
"Dalam musyawarah AHWA yang dipandu pimpinan PBNU itu akan menentukan rais syuriah, lalu rais syuriah terpilih akan menyampaikan kesediaannya di depan peserta Konferwil," katanya.
Setelah terpilih, rais syuriah melihat peringkat tanfidziyah untuk memilih satu dari sembilan yang dianggap bisa bekerja sama dengan dirinya. Lalu diumumkan kepada peserta Konferwil dan menyatakan kesediaan.
"Target kami adalah sistem lama yang pernah digunakan NU di masa lalu dan terakhir digunakan pada Muktamar Situbondo (1984), lalu mekanismenya dipadukan dengan sistem demokrasi itu akan mengembalikan NU kepada ulama sesuai namanya Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama)," katanya.
Dalam Konferwil PWNU Jatim yang juga dirangkai dengan peringatan Harlah ke-90 NU itu dimeriahkan dengan belasan kegiatan, di antaranya ziarah "muassis" (pendiri NU), seminar ekonomi dan hukum, seminar keagamaan, pameran kaligrafi, donor darah, bedah kitab Mbah Hasyim Asy'ari, jalan sehat kiai-santri, istigasah, bakti sosial anak yatim, dan pertunjukan wayang kulit.
Ulama NU Jatim Dukung PWNU Berlakukan AHWA
Kamis, 9 Mei 2013 19:00 WIB