Jakarta (Antara Kalbar) - Federasi Pekerja Mandiri (FPM) sebagai asosiasi yang perhatian terhadap pengembangan iklim usaha mandiri sektor informal dideklarasikan.
"Saat ini diperkirakan ada 89 juta pekerja sektor informal dan mereka sektor yang terabaikan. Karena itu, kami bersama sejumlah tokoh membentuk FPM," kata Ketua Umum FPM Toto Utomo Budi Santosa di Jakarta, Senin.
Pekerja mandiri, kata Toto, adalah pekerja sektor informal yang tidak terikat hubungan kerja formal antara pemberi kerja dan yang bekerja. Sehingga, posisi mereka adalah pekerja sekaligus bos bagi dirinya.
Saat krisis ekonomi pada 1998, pekerja mandiri membuktikan bisa bertahan dan sama sekali tidak menjadi beban anggaran negara.
"Selama ini, nasib pekerja informal mandiri termarjinalkan dan tidak dilindungi apalagi mendapatkan hak-hak normatif. Sebaliknya, keberadaan mereka, menjadi tulang punggung negara," tambah Sekjen Kementerian Sosial itu.
Angkatan kerja berpendidikan SD mencapai 60 persen, SMP 80 persen, pekerja formal baru 30 persen dan pekerja informal 70 persen. Upah pekerja formal rata-rata tidak kurang Rp1,4 juta per bulan, sedangkan pekerja informal hanya seperempatnya.
Menurut Toto, jam kerja pekerja formal kurang dari 35 jam per minggu. Di saat bersamaan, jumlah pengangguran sekitar 12 juta orang, termasuk 1,2 juta penganggur lulusan S1.
"Indonesia memiliki 52 juta Usaha Kecil Menengah (UKM), dan 40 juta dari 52 UKM tersebut sulit mendapatkan akses kredit permodalan bank," jelasnya.
Karena itu FPM dibentuk untuk sebagai wadah untuk mensejahterakan para pekerja informal, dengan langkah awal melakukan konsolidasi dan selanjutnya upaya untuk memberikan kredit.
Selain itu, FPM juga melindungi peserta dengan Jamsostek dan berfungsi sebagai kontrol atas kebijakan di bidang pekerja informal serta sebagai agen perubahan.
