Jakarta (Antara Kalbar) - "Karena kita tidak bisa menghindari kematian, kita perlu menyadari bahwa kematian merupakan bagian yang paling penting dalam hidup."
Elisa kecil juga tidak dapat menghindari kematian. Di usia 13 tahun, bocah itu untuk pertama kalinya berkenalan dengan maut. Setelah empat tahun memupuk optimisme kala mendampingi sang ibu tercinta melawan kanker payudara yang menggerogoti kesehatannya, Elisa kecil harus menyadari bahwa akhirnya hanya kata 'selamat jalan' yang bisa dibisikkannya di telinga sang ibu.
Tak ada lagi Bidan Sihombing bersepatu kulit hitam dengan tumit sedikit miring, tak ada lagi ramuan Tiongkok yang berbentuk seperti biji selasih ataupun harapan palsu dari seorang shin she di sebuah toko obat terbesar di kotanya.
Tak ada lagi kegelisahan pascamengalami mimpi kehilangan gigi geraham atau melihat gagak hitam hinggap di genteng rumah. Yang ada hanya kesadaran untuk merelakan kepergian sang ibu. Kesadaran bahwa waktu bersama sang ibu di dunia telah usai.
Kisah Elisa kecil bukanlah potongan dongeng di sinetron televisi namun sebuah kisah nyata yang tidak akan pernah hilang dari kepala Anastasia Elisa Herman, jauh bahkan setelah dia beranjak dewasa. Dan mungkin merupakan salah satu alasan dia akhirnya memilih profesi sebagai perawat dan bidan.
Pengalamannya itu juga yang kemudian mendorong Elisa untuk menulis buku Love, Live, Heaven, buku setebal 235 halaman yang merangkum perjalanannya dalam mendampingi para pasiennya menjelang menghadap Yang Kuasa.
"Satu penyesalan yang terus menghantui saya selama puluhan tahun, seandainya sewaktu Ibu sakit saya sudah mengetahui proses menjelang ajal, tentu saya mampu memberikan perawatan yang lebih baik padanya seperti yang saya lakukan terhadap semua pasien yang saya rawat, serta kakak saya, Agnes, sebagai balas jasa seorang anak kepada ibunya," tutur Elisa yang kini adalah seorang perawat dengan pengalaman dua puluh tahun lebih merawat pasien, terutama pasiean hospice atau yang berada dalam kondisi kritis.
Bagi Elisa, kematian bukanlah hal yang harus ditakuti tapi justru dipersiapkan, baik oleh yang bersangkutan ataupun keluarga yang ditinggalkan.
"Kematian itu sebuah misteri besar, mutlak, dan pasti kita akan mati. Yang tidak pasti adalah kapan dan bagaimana kita akan mati. Karena ketidakpastian kapan dan bagaimana kita akan mati, setiap saat kita harus mempersiapkan diri jika keadaan itu tiba-tiba terjadi, supaya kematian itu tidak menakutkan," ujar perawat yang telah melalang buana hingga ke Amerika Serikat untuk menjalankan tugasnya itu.
Dalam bukunya ibu dua anak itu menuturkan bagaimana membangun komunikasi yang tulus tanpa rasa takut dengan seseorang yang tengah menjelang ajal merupakan hal yang paling penting. Menurut ia, acapkali seseorang yang menjelang ajal menarik diri dari lingkungannya, atau ada juga yang merasa tertekan karena merasa belum menyelesaikan urusan di dunia dan sadar jika ajal telah dekat.
Oleh karena itu Elisa menekankan perlunya doa dan maaf sebagai landasan untuk mempersiapkan seseorang kembali ke pangkuan-Nya, tidak peduli apapun latar belakang kepercayaannya. Melalui pengalaman seorang pasien bernama Cindy, sahabatnya di Amerika Serikat Angela dan suami temannya Sherly, Elisa menuturkan bagaimana doa dapat memberikan keajaiban. Memberikan sesuatu yang mustahil menjadi mungkin.
Terkadang karena ketidaktahuan bukannya mempermudah "jalan" seseorang untuk menjemput ajal, orang-orang terdekat justru mempersulitnya dengan hal-hal kecil. Dan hal itu tentunya akan menyisakan penyesalan di kemudian hari mengingat kesempatan untuk melakukan penghormatan terhadap kematian seseorang tidak akan datang dua kali. Ia juga menganjurkan agar keluarga yang ditinggalkan semaksimal mungkin memenuhi keinginan terakhir yang bersangkutan
Untuk tujuan itulah Elisa menuangkan pengalamannya dengan rapi dalam buku yang sepintas lalu warna sampulnya mengingatkan kita pada warna dasar sebuah merek parfum terkenal, merah, putih dan hitam.
Love, Live, Heaven adalah buku kedua yang ditulis novelis kelahiran Pekanbaru itu untuk merangkum pengalamannya. Sebagaimana buku pertamanya "Bersahabat dengan Ajal" yang diterbitkan pada 2013, buku tersebut merangkum semua kisah nyata yang dialami langsung oleh Elisa ataupun sahabat-sahabatnya terkait kematian.
Apabila di buku pertamanya Elisa banyak bertutur tentang manusia, misal saat mendampingi kakak tercinta berpacu dengan waktu termasuk mengelabui perusahaan maskapai penerbangan hanya demi memberikan kesempatan bagi sang kakak meninggal dunia di Indonesia atau pengalamannya mendampingi Kevin, seorang pasien kanker hati stadium akhir menjenguk surga.
Di buku keduanya Elisa tidak hanya bertutur tentang kematian manusia tetapi juga mahluk Tuhan yang lain. Dalam salah satu bab di bukunya, Elisa juga bertutur bagaimana terkadang manusia yang merasa sebagai makhluk tertinggi di muka bumi mengecilkan keberadaan makhluk hidup yang lain. Ia mengisahkan pengalamannya mengamati sepasang tupai dan kupu-kupu. Bagaimana hewan juga memiliki ritual tersendiri untuk mempersiapkan kematian, termasuk memberi penghormatan terhadap jasad.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menyebut tulisan Elisa mencerminkan sebuah ketulusan dalam pengabdian profesinya, sehingga mampu mencurahkan pengalaman hidupnya yang disusun secara runtut, sederhana dan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya meskipun ia bukan seorang penulis.
Sementara itu presenter Andy F Noya menyampaikan bahwa pengalaman hidup Elisa Herman membuka mata hati pembacanya untuk melihat kematian dalam perspektif yang tidak biasa, termasuk "mengantarkan", kematian orang-orang yang dicintai dengan suka cita dan damai.
"Buku yang sangat inspiratif, membantu kita berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda dalam menyikapi kehidupan dan kematian," tulisnya.
Love, Life, Heaven memang bercerita banyak tentang kematian dan upaya-upaya untuk mempersiapkan kematian namun jika kita renungkan sejenak setiap lembar dalam buku itu justru bertutur tentang kehidupan.
Bagaimana waktu itu sangat berharga. Tidak akan kembali waktu yang telah terbuang. Dan sebaik-baiknya mempersiapkan datangnya ajal adalah mengisi kehidupan dengan hal-hal yang bermanfaat. Berdamai dengan diri sendiri, menghapus ketakutan dan menghargai kehidupan.
"Lekaslah dan jangan lagi menunda selagi waktu masih berputar, berjuanglah untuk mengejar kebahagiaan pada detik ini juga, sebelum waktu terhenti bagi kita," pesan Elisa dalam penutupnya.
(T.G003/Z003)
Resensi Buku - "Love, Live, Heaven" Memaknai Hidup Melalui Kematian
Selasa, 1 April 2014 22:31 WIB
sebaik-baiknya mempersiapkan datangnya ajal adalah mengisi kehidupan dengan hal-hal yang bermanfaat