Pontianak (Antara Kalbar) - Ada banyak perempuan berjiwa Kartini di Indonesia. Mereka bisa lahir dan dijumpai di mana saja, tak terkecuali di Entikong, perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Di antara perempuan berjiwa Kartini yang ada di perbatasan, salah satunya adalah Wahyu Widayati. Perempuan berusia 45 tahun ini pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Camat Entikong sejak 17 tahun terakhir.
Wahyu lahir di Mempawah, 23 Februari 1972, dari pasangan H. Abdurrahman Abdurrani (almarhum) dan Hj. Ruaidah. Keduanya adalah mantan guru.
Meski lahir di Mempawah, Wahyu yang juga disapa "Mami Ayu" tumbuh menjadi remaja dan dewasa di Pontianak. Dia menyelesaikan studi S-1 (Fakultas Kehutanan) dan S-2 (Master Manajemen) di Universitas Tanjungpura.
Perempuan ini menetap di Entikong, tak lepas dari peran sang suami, R. Gungun Mulyawan. Seorang PNS di Dinas Perhubungan Kalimantan Barat. Ketika pertama kali bekerja pada tahun 1998, Wahyu masih berstatus PNS Dinas Kehutanan Kabupaten Sambas. Pekerjaan ini sesuai dengan bidang ilmunya sebagai alumnus Fakultas Kehutanan.
Setelah 2 tahun bekerja pada Pemerintah Kabupaten Sambas, Wahyu memutuskan mengikuti kepindahan suami ke Entikong. Suami dipindahtugaskan ke Kantor Perhubungan yang berada satu area dengan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, pintu perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia. Jarak Entikong ke Pontianak sekitar 317 kilometer.
"Karena mengikuti suami pindah tugas, harus melepaskan pekerjaan sesuai dengan bidang keilmuan saya," kata Wahyu saat dihubungi di Entikong, Jumat (21/4).
Pekerjaan pun beralih. Dia mendapat penempatan di Kantor Camat Entikong, di bawah Pemerintah Kabupaten Sanggau. Letak kantor camat hanya "selemparan batu" dengan gerbang perbatasan. Dia menjadi staf dari lima camat yang pernah bertugas di sana sejak ditetapkannya Entikong sebagai kecamatan definitif pada tahun 1997.
Selama lebih 10 tahun perempuan yang memiliki dua anak ini berkeliling dari desa ke desa di perbatasan memotivasi dan melatih warga perbatasan agar lebih cinta tanah air dari pada negara tetangga. Selain itu, tentu saja mengajak warga perbatasan bangga menjadi bagian dari NKRI dan tidak menomorsatukan negara jiran, Malaysia.
Wahyu kemudian menjabat sebagai kepala seksi kesra di Kantor Camat perbatasan pada tahun 2013. Sehari-hari dia bertugas mengurusi persoalan menyangkut perempuan dan PKK, anak-anak, pemuda, pendidikan, kesehatan, dan agama.
Kesibukannya makin bertambah, di antaranya membangun komunikasi, memotivasi, dan membina para perempuan (ibu-ibu), remaja, dan anak-anak di perbatasan dan masih sering mengunjungi daerah pelosok yang amat sulit dijangkau melalui transportasi darat dan air.
Pada tahun 2014, dia mendirikan PAUD Dipet Abdurrahman di Dusun Punti Kayan, Desa Nekan. Nama PAUD mengambil nama ayahnya, Abdurrahman. "Dipet" yang berarti "anak" dari bahasa Punti Kayan. PAUD ini menampung sebanyak 18 anak dengan dua guru. Selanjutnya, PAUD Kinyo di Dusun Nekan, Desa Nekan yang menampung 28 anak setempat.
Kedua PAUD itu menampung anak-anak Dayak warga perbatasan. Tak ada dana bantuan dari pemerintah setempat, baik desa maupun kecamatan.
Ia menggaji empat pengasuh PAUD dari sebagian uang gajinya setiap bulan selama 1 tahun. Minimal sekitar Rp600 ribu tiap bulan uang gaji disetor ke dua PAUD tersebut untuk membayar gaji guru. Tak jarang dia harus menambah pengeluaran untuk keperluan perlengkapan di PAUD tersebut.
Meski diakuinya dari perjuangan yang dilakukan itu masih ada pihak-pihak yang mencurigai apa yang dikerjakan dirinya merupakan proyek (dengan dana dari pemerintah). "Kondisi seperti ini (dicurigai) yang berat bagi saya. Kalau masalah lain hampir tidak ada," katanya.
Baru pada tahun 2015 pemerintah desa setempat memberikan perhatian dengan membayar gaji guru dan tutor PAUD dari dana ADD.
Pada tahun yang sama, Wahyu mendirikan Sanggar Melayu Dahlia di Dusun Peritin, Desa Entikong. Kegiatan sanggar selain diisi dengan latihan menari, juga menyediakan peralatan adat. Ada 10 anak Dusun Peritin menjadi penari sanggar yang sering diminta mengisi acara, seperti pertemuan Sosek Malindo (Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia) dan Titian Muhibah antardaerah perbatasan Entikong (Indonesia) dan Tebedu (Malaysia).
Pemberdayaan Ekonomi Perbatasan
Pada tahun 2015, Perempuan berjiwa Kartini ini membentuk usaha mikro, kecil, dan menengah dengan 10 anggota. UMKM ini bernama Kelompok Usaha Bersama Batas Negeri (Bagri).
UMKM ini memiliki sahabat binaan. Mereka memproduksi kerupuk dan stik pisang, membuat kerajinan dari kulit kayu kapuak berupa rompi, topi, dompet, tas, tempat rokok, dan tempat pensil. Selain itu, juga aktif ikut pameran yang diadakan Pemerintah Kabupaten Sanggau. Hasil kerajinan UMKM ini juga dipasarkan hingga ke Pontianak.
Kelompok itu sering diminta menyiapkan paket oleh-oleh untuk tamu Pemkab Sanggau, baik tamu antarkabupaten maupun dari negara tetangga. Paket oleh-oleh terdiri atas kopi, keripik pisang manis, original, dan rasa susu, stik pisang original dan balado, selai cempedak, carang mas yang berbahan dasar ubi rambat, dan beras merah.
KUB Bagri pernah mewakili Dinas Pariwisata dan Perdagangan Sanggau dalam pameran, baik tingkat provinsi maupun nasional. Dalam waktu dekat, tepatnya pada tanggal 29 s.d. 30 April, UMKM ini akan ikut pameran di Pontianak. Berikutnya, pada tanggal 3 s.d. 4 Mei pameran di Lombok, NTB. Selanjutnya, pada tanggal 16 s.d. 19 Mei pameran di Bali.
Meski belasan tahun tinggal di perbatasan, Wahyu mengaku tak sering-sering amat menyeberang ke Malaysia untuk berwisata. "Waktu anak-anak masih kecil, cukup sering ke Kuching untuk jalan-jalan. Akan tetapi, sekarang mereka sudah bosan dan lebih senang menunggu saya di Pontianak," kata Wahyu yang tinggal berjauhan dengan kedua anaknya itu.
Kedua anaknya, R. Muhammad Rizki Fikrillah (18) dan R. Muhammad Afiq Zikrillah (10), selama ini tinggal di Pontianak. Jika sedang libur sekolah, anak-anak ikut ke Entikong.
Kini, telah 17 tahun berada di perbatasan, Wahyu terus berupaya membangun ekonomi masyarakat perbatasan. Memberikan pembinaan kepada UMKM dan perajin yang ada. Dia ingin warga perbatasan memiliki kemampuan sehingga dapat mandiri dengan menampilkan kerajinan dan olahan pangan khas dari daerah setempat.
Pada gerbang perbatasan yang baru direnovasi besar-besaran oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan kini disebut sebagai Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Perempuan ini mengharapkan disediakan galeri tempat menjual hasil olahan dan kerajinan khas dari Entikong sehingga warga pendatang yang melintas di "border" tersebut dapat berbelanja oleh-oleh khas dari perbatasan.
Dengan demikian, terwujud etalase bangsa, sebagai beranda depan yang menyediakan olahan pangan dan kerajinan. Mau cari oleh-oleh, ada di Entikong. "Itu harapan saya sejak lama. Ada galeri atau sejenisnya yang bisa menampung hasil kerajinan dan olahan binaan kami (kantor Camat Entikong)," kata perempuan berkerudung ini.
KUB Bagri, lanjutnya lagi, kini sudah cukup menguntungkan. Pendapatan para perajin dalam sehari bisa Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per orang. "Pekerja KUB semuanya perempuan dan yang angkat-angkat (mengangkut) barang perempuan semua. Bagi kami, ini sudah lumayan. Ada kemajuan berarti," katanya.
Berkaitan dengan peringatan Hari Kelahiran Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita, Wahyu Widayati menyatakan perempuan hebat bukan dilihat dari kecantikan, melainkan mereka yang mampu dan bisa berdiri tegak dalam menyelesaikan permasalahan.
"Mereka dapat `melukiskan` kekuatannya dalam menjalani proses kehidupan dengan sabar dan ikhlas. Bisa berbuat dan berdoa. Karena yang dicari itu berkah dalam kehidupan," katanya.
Begitu pula yang kini dilakukan Wahyu. Meski suami sudah bertugas kembali di Pontianak sejak 2014, dia memutuskan untuk tetap tinggal di Entikong. "Saya sudah telanjur cinta dengan daerah ini. Lagi pula, masih banyak yang belum dikerjakan sehingga suami setuju saat saya memutuskan untuk sementara tetap di sini," katanya.
Harapan lainnya, dia ingin di Entikong ada PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan bahkan perguruan tinggi yang terintegrasi dalam satu wadah pendidikan. "Semoga didengar pemerintah," katanya.
Maraknya pemberitaan mengenai kasus penyelundupan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) melalui PLBN, dia mengaku sedih dan prihatin. Tugas mengatasi masalah itu bukan hanya menjadi urusan pemerintah, melainkan perlu peran semua pihak, termasuk dirinya.
"Yang saya lakukan saat ini, salah satunya membina remaja-remaja di sini. Kami punya posyandu remaja yang kegiatannya pemeriksaan kesehatan remaja. Riwayat kesehatan mereka dicatat, dan juga ada `sharing` masalah kehidupan mereka," katanya.
Anak pertamanya pernah dimintainya untuk berbagi pengalaman dalam menjaga kesehatan dengan anak-anak perbatasan. Memberikan contoh cara hidup sehat dengan makan-makanan yang sehat dan bergizi.
"Terus terang saya tidak menyangka, anak saya bisa tahu sendiri bagaimana mengurus dirinya dengan baik dan tetap sehat. Padahal waktu pertemuan kami amat jarang," katanya.
Jika tak banyak kesibukan, Wahyu pulang ke Pontianak pada Jumat malam dan kembali ke Entikong pada Minggu malam sekitar pukul 21.00 WIB saat anak-anaknya sudah terlelap. Sebelum kembali ke Entikong, dia belanja kebutuhan anak-anak untuk sepekan.
Akan tetapi, jika sedang banyak kesibukan dan harus turun ke pedalaman, waktu pulang kampung itu menjadi tertunda 2 pekan, bahkan sebulan kemudian. Namun, kondisi itu tak menjadi masalah bagi anak-anak dan suami karena komunikasi via telepon masih dapat dilakukan.
"Kenapa betah di sini? Karena saya melihat keterbatasan di sini. Kita ingin melihat perbatasan maju dari daerah lainnya sebagai beranda depan bangsa," katanya.
Wahyu pun lantas berharap berita menyedihkan mengenai perbatasan tak lagi muncul. Selanjutnya, digantikan dengan berita menarik mengenai kemajuan dan perkembangan perbatasan yang akan selalu didengar dan dilihat orang.
Seperti kalimat yang ditulis R.A. Kartini dalam surat kepada sahabatnya, Ny. Abendanon (dikutip dari "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer) "Door Duisternis tot Licht" yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Baginda Abdoellah Dahlan (bekas pembantu dosen bahasa Melayu pada Universitas Leiden) dan Baginda Zainoedin Rasad (bekas guru Prins Hendrik School, Jatinegara) menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang".
(N005/D007)
Perempuan Berjiwa Kartini Dari Perbatasan
Sabtu, 22 April 2017 22:35 WIB