Bagi Provinsi Kalimantan Barat, keberadaan penyakit rabies sebenarnya terbilang baru. Secara historis, hingga tahun 2004 Kalbar adalah daerah yang masuk kategori aman dari rabies.
Pada Januari sampai April 2005 ada beberapa kasus penyakit rabies di daerah yang berbatasan langsung dengan Kalteng seperti Kabupaten Ketapang, yakni terdapat 29 orang yang digigit hewan penyebar penyakit tersebut dan seorang di antaranya meninggal dunia.
Sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah daerah membuat kasus rabies dapat ditekan. Bahkan pada tahun 2014, tepatnya bulan April, Provinsi Kalbar mendapat sertifikat bebas dari rabies.
Namun ironisnya, tujuh bulan setelah menerima sertifikat tersebut, kasus rabies kembali muncul. Kabupaten Ketapang kembali menjadi daerah dengan kasus rabies yang tinggi.
Tercatat ada 96 kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dengan korban meninggal tujuh orang. Selain Kabupaten Ketapang, wabah juga terjadi di Kabupaten Melawi dengan 20 kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) dan angka kematian sebanyak tujuh orang. Kedua kabupaten ini berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah lebih dahulu ditetapkan sebagai daerah endemis rabies.
Setahun berikutnya, sebaran rabies di Kalbar semakin meluas. Dari hanya dua kabupaten, bertambah menjadi lima kabupaten dengan total kasus GHPR 763 dan lima kematian. Tahun 2016, delapan dari 14 kabupaten/kota di Kalbar sudah terdapat kasus GHPR dengan jumlah 1.608 kejadian, 12 kematian.
Pada tahun 2017, tersisa dua daerah di Kalbar yang masih terbebas dari rabies. Yakni Kota Pontianak dan Singkawang. Kasus GHPR mencapai 3.326 kejadian, dan angka kematian 22 orang. Bahkan pada tiga bulan pertama tahun 2018, hanya Kota Pontianak yang masih terbebas dari rabies. Ada delapan kematian dari 1.303 kasus GHPR pada Januari hingga 16 April 2018. Bukan tidak mungkin Kota Pontianak tinggal menunggu waktu mengingat kabupaten di sekelilingnya sudah terdapat kasus rabies.
Hasil laporan pengendalian rabies Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2018 menjelaskan bahwa di Pulau Kalimantan penyakit rabies pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Samarinda, Kalimantan Timur.
Kemudian pada tahun 1978 masuk ke Barito Selatan, Kalimantan Tengah, dan tahun 1981 penyakit ini menulari daerah Kalimantan Selatan dan sekarang sudah menyebar ke seluruh provinsi di Kalimantan.
Cepat Menyebar
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Rabies disebabkan oleh virus golongan Mononegavirales, family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan gejala yang sangat memilukan. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui gigitan atau jilatan.
Penularan rabies di lapangan (rural Rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara (diliarkan) sehingga sulit dikendalikan. Kondisi ini sangat menyulitkan pembebasan suatu daerah dan tetap bertahan menjadi daerah endemis.
Menurut drh Hidayatullah dari Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalbar, meluasnya penyebaran rabies tidak terlepas dari semakin mudahnya lalu lintas orang, hewan dan barang dari dan ke Kalbar. Sejak tahun 2014, akses jalan darat dari Kalbar ke Kalteng sudah terbuka seiring diresmikannya Jalan Transkalimantan poros Selatan.
Jalan tersebut melewati Kabupaten Ketapang menuju perbatasan Kalbar - Kalteng, dan di sisi Kalteng melewati Kabupaten Kudangan. Selain itu, pembukaan lahan sawit di perbatasan kedua provinsi, ikut mempermudah perpindahan orang dan barang termasuk binatang.
Hidayatullah menjelaskan, di perbatasan Kalbar - Kalteng, Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalbar sebenarnya sudah membuat pos pengawasan lalu lintas hewan.
Ada tiga daerah yang terdapat pos pengawasan yakni di Kecamatan Sayan (Kabupaten Melawi), Kecamatan Nanga Tayap dan Manis Mata (Kabupaten Ketapang). Tahun ini, hanya dua lokasi yang masih dipertahankan yakni di Nanga Tayap dan Manis Mata.
Kedua kecamatan itu mempunyai akses darat langsung dengan Kalteng. Pemprov Kalbar membangun pos pemeriksaan sederhana namun permanen. Ada halaman yang cukup luas untuk menampung kendaraan berukuran besar seperti truk.
Di tiap pos, ada dua tenaga kontrak dari warga sekitar yang bertugas mengawasi lalu lintas hewan antardaerah. Sebelum 2018, hanya ada satu tenaga kontrak di pos pengawasan tersebut. Mereka bekerja dua shif setiap hari atau berdasarkan kontrak, 8 jam perhari per orang.
Jumlah itu tidak ideal karena ada kekosongan waktu pengawasan selama delapan jam. Belum lagi pembawa hewan dari luar Kalbar yang tidak patuh melapor ke petugas. Ada juga aturan dokumen pengiriman yang rekomendasinya harus dikeluarkan dari instansi di Pontianak.
Sedangkan jarak dari dua kecamatan itu ke Pontianak, kalau menggunakan kendaraan darat sekitar 10 jam hingga 12 jam. Surat Keterangan Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh Dinas Peternakan asal pengiriman dapat digunakan sebagai syarat sah masuknya hewan dari luar Kalbar melalui pos pengawasan di Nanga Tayap dan Manis Mata.
Pos pengawasan di Nanga Sayan, yang beroperasi sejak 2005, terbilang tahun 2018, tak lagi difungsikan karena lalu lintas orang, barang, jasa serta hewan, minim.
Harus diakui, permasalahan yang dihadapi adalah lemahnya pengawasan lalu lintas hewan pembawa rabies (HPR) antarkabupaten dan kecamatan. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang sering memperjualbelikan anjing antarkecamatan/kabupaten untuk penjaga sawah, teman berburu dan untuk konsumsi.
Pengawasan
Pengelola Program Zoonosis Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar Hendri SKM menambahkan, lemahnya pengawasan membuat penyebaran rabies semakin cepat di Kalbar. Salah satu contohnya adalah saat kasus GHPR di Kabupaten Bengkayang, pemicunya adalah HPR yang dibawa dari Kabupaten Ketapang. Anjing yang mengigit warga di Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayang, adalah hewan yang dijadikan hadiah dari pemilik lamanya di Kabupaten Ketapang.
Bahkan Hidayatullah pernah mendapat laporan petugas di pos pengawasan di Nanga Tayap, kalau ada warga dari arah Kalteng yang "membuang" hewan anjing yang kondisinya sudah lemah ke dalam wilayah Kalbar.
Secara teori, anjing yang sudah mengidap rabies akan menulari minimal dua hewan lainnya. Atau n2, dimana n adalah jumlah anjing. Data dari Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalbar, populasi anjing di Kalbar pada 2018 adalah 190.173 ekor. Dengan areal yang sangat luas dan akses yang semakin terbuka, HPR terutama anjing ini menyebar dari daerah perbatasan/pehuluan menuju bagian hilir Kalbar.
Dari sisi usia, yang paling banyak terkena GHPR adalah usia produktif dan anak bawah 10 tahun. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, sepanjang Januari - Desember 2017, berdasarkan jenis kelamin, untuk laki-laki paling banyak digigit di usia 20 - 45 tahun (546 kasus), dan 5 - 9 tahun (415 kasus). Sedangkan perempuan, dengan rentang usia yang sama, masing-masing jumlah kasusnya 495 gigitan dan 286 gigitan.
Tahun 2018, rentang periode Januari - Maret, dua kelompok umur ini yang paling banyak terkena gigitan. Untuk laki-laki kelompok umur 20 - 45 tahun, tercatat 154 kasus dan kelompok umur 5 - 9 tahun, ada 106 kasus gigitan. Di kalangan perempuan, terjadi 123 gigitan di kelompok umur 20 - 45 tahun, dan 71 gigitan untuk korban di usia 5 - 9 tahun.
Hendri SKM menuturkan, dua kelompok usia tersebut paling rentan tergigit karena pada usia produktif, mereka paling sering bekerja di luar rumah. Sehingga kemungkinan bertemu dengan HPR semakin tinggi. Sedangkan kelompok usia 5 - 9 tahun, aktivitas mereka lebih banyak di sekitar rumah. Sementara HPR khususnya anjing, banyak yang juga merupakan hewan peliharaan namun dilepasliarkan.