Pontianak (ANTARA) - Jumlah konflik manusia-orangutan di wilayah yang terbakar sejak Agustus 2019 di Ketapang, Kalbar terus bertambah, hal itu dilihat dari data dari tim Orangutan Protection Unit (OPU) IAR Indonesia.
"Hingga awal tahun ini juga belum menunjukkan tanda-tanda konflik manusia-orangutan semakin berkurang," kata Manager Lapangan IAR Indonesia, Argitoe Ranting dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA di Pontianak, Rabu.
Justru, menurut dia, di awal tahun ini, tim gabungan Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I dan IAR Indonesia disibukkan dengan kegiatan penyelamatan dan translokasi dua individu orangutan induk-anak di kebun milik warga di Jalan Ketapang, Desa Sungai awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Senin.
Laporan mengenai keberadaan orangutan induk dan anaknya oleh tim Patroli OPU IAR Indonesia, 4 Januari 2020, kemudian langsung melakukan mitigasi dan penggiringan orangutan kembali ke arah hutan yang tidak jauh dari kebun warga. Namun tanggal 8 Januari, tim patroli berjumpa kembali dengan kedua orangutan itu di lokasi yang sama.
"Setelah dilakukan survei lokasi, hutan yang ada sudah terfragmentasi akibat kebakaran sehingga tidak lagi terhubung ke hutan besar, karena kondisi inilah, tim IAR Indonesia bersama BKSDA Kalbar memutuskan melakukan penyelamatan dan memindahkan kedua orangutan ini ke lokasi yang lebih baik dan aman," ungkapnya.
Setelah melewati serangkaian pemeriksaan medis, dokter hewan IAR Indonesia yang memeriksa kedua orangutan ini menyatakan kedua dalam kondisi sehat. "Karena kedua orangutan ini sehat dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, maka kami bersama BKSDA Kalbar memutuskan untuk langsung mentranslokasikan mereka ke hutan Sentap Kancang yang hanya berjarak sekitar 5 km dari lokasi penyelamatan itu," katanya.
Ia menambahkan, hutan seluas lebih dari 40 ribu hekatre dinilai cocok sebagai rumah barunya karena selain menyediakan ruang hidup yang luas, jumlah jenis pakan orangutan berlimpah dan kepadatan orangutan di dalamnya belum terlalu tinggi.
"Meskipun kegiatan ini sukses memindahkan orangutan ke hutan yang lebih baik untuk kehidupannya, translokasi semacam hanyalah solusi sementara, karena tidak bisa mengurai akar permasalahan sebenarnya. Permasalahan sebenarnya terletak pada alih fungsi dan kerusakan hutan," katanya.
Ancaman terhadap kelangsungan hidup orangutan bertambah sejak kebakaran besar melanda sebagian besar wilayah di Ketapang yang berdampak kehilangan tempat tinggal dan dan sumber penghidupannya.
"Orangutan-orangutan ini pergi meninggalkan rumahnya yang terbakar dan masuk ke kebun warga untuk mencari makan, menyebabkan tingginya jumlah perjumpaan manusia dengan orangutan yang tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat merugikan orangutan dan manusia itu sendiri," katanya.
Sementara itu, Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor Adirahmanta, mengatakan, upaya-upaya konservasi sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun bersama para mitra. Namun demikian tantangan dan masalah yang muncul justru semakin meningkat.
"Akar masalah timbulnya konflik satwa dan manusia lebih banyak berawal dari penataan/pemanfaatan ruang yang belum cukup memberikan perhatian pada aspek konservasi tumbuhan dan satwa liar," ujarnya.
Direktur IAR Indonesia, Karmele L Sanchez mengatakan, konflik itu muncul karena orangutan kehilangan habitat yang merupakan rumah bagi mereka. Orangutan mencari makan ke kebun warga karena mereka tidak punya pilihan lagi akibat rumahnya yang musnah.
"Kami sangat prihatin dengan melihat bagaimana orangutan ini berusaha mempertahankan hidup dengan kondisi habitat yang semakin hancur dan musnah. Kami berharap manusia akan sadar bahwa tanpa hutan, tidak hanya orangutan yang tidak bisa mempertahankan eksistensinya di muka bumi, tetapi manusia juga akan mendapatkan konseskuensi yang sama," katanya.
IAR Indonesia: Konflik manusia- dengan orangutan terus bertambah
Rabu, 15 Januari 2020 13:41 WIB