Pontianak (ANTARA) - Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyatakan sikap kehati-hatian pemerintah sudah tepat dalam menyikapi perkembangan harga BBM saat ini.
"Saya melihatnya ini merupakan langkah yang cukup tepat. Apalagi penurunan harga BBM saat ini tidak akan memberikan dampak yang signifikan karena masyarakat yang bekerja di rumah serta industri yang cukup banyak menghentikan produksinya," kata Mamit Setiawan dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Selasa.
Dia juga menyampaikan bahwa saat ini harga minyak dunia kembali mengalami kenaikan karena OPEC sepakat untuk memangkas produksi sebanyak 9,7 juta BOPD mulai tanggal 1 Mei 2020 sampai Juni 2020.
"Penurunan ini pasti akan berdampak terhadap kenaikan harga minyak dunia. Saya prediksi, pada akhir tahun 2020 harga minyak dunia akan berkisar di angka 40 - 45 dolar AS per barrel. Selain itu juga, kita perhatikan krus rupiah terhadap dolar AS melemah kembali," ujar Mamit.
Mamit juga meminta Pertamina untuk tidak menurunkan harga BBM terlalu terburu-buru. "Meskipun harga minyak dunia turun, tetapi harga Premium tidak harus turun, apalagi turunnya menjadi Rp5.000 per liter. Kita harus berhitung sebenarnya berapa harga BBM RON 88 saat ini. Formula harga dasar BBM Premium diatur dalam Keputusan Menteri ESDN No 62 Tahun 2019, dimana Bensin RON 88 ditetapkan dengan formula 96,46 persen MOPS untuk Mogas 92+ Rp821,00/liter," katanya.
Harga minyak mentah Indonesia atau ICP bulan Maret 2020 sekitar 34 dolar AS per barrel. Sedangkan berdasarkan rata-rata, harga MOPS untuk Mogas92 sekitar 14 dolar AS per barrel diatas ICP, katanya.
Sehingga MOPS benchmarking tersebut sebesar 48 dolar AS. Kemudian dengan kurs rupiah sebesar Rp16.000 maka didapatkan harga dasar Bensi RON88 sebesar Rp4.853 per liter. "Kita kalikan dengan 0,9646 dan ditambahkan Rp821 maka harga dasar BBM Premium RON 88 adalah Rp5.473 per liternya," ujarnya.
Kemudian ditambahkan dengan PPN 10 persen dan PBBKB 5 persen maka didapatkan harga jual BBM Premium RON 88 adalah sebesar Rp6.300 per liternya. Dengan formula tersebut, maka bukan Rp5.000 per liter seperti yang disampaikan beberapa pihak kemarin, kata Mamit Setiawan.
Dia juga memaparkan selisih harga sebesar Rp150 per liter dengan kondisi saat ini tidak terlalu berarti. "Saat ini terjadi penurunan konsumsi untuk BBM sebanyak 23 persen, dimana Pertamina sebenarnya tidak dalam posisi yang terlalu menguntungkan. Selain itu, selama minyak tinggi merangkak naik sejak tahun 2017, harga Premium juga tidak naik," katanya.
Mamit menambahkan bahwa selama ini Pertamina selalu dalam posisi rugi apabila posisi ICP di atas 45 dolar AS per barel. Karena harga Premium RON 88 sebesar Rp6.450 per liternya setara dengan harga ICP 45 dolar AS per barel dan kurs Rp14.000/dolar AS. Sejak September 2016 hingga February 2020, ICP selalu diatas 45 dolar AS per barrelnya dimana harga jual BBM Premium RON 88 di bawah harga keekonomiannya sehingga Pertamina harus menanggung terlebih dahulu selisih harga tersebut.
"Selisih harga tersebut memang akan dibayarkan oleh pemerintah, tapi kita tahu sendiri karena Pertamina adalah BUMN yang mempunyai tugas sebagai PSO maka pembayaran tersebut terkadang lama dilakukan," tambahnya.
Mamit juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Pertamina dalam membantu pemerintah menangani pandemik COVID-19 ini dengan merubah RSPJ menjadi rumah sakit rujukan serta bantuan kemanusiaan lainnya.
"Saya kira keuntungan Pertamina karena selisih harga tersebut digunakan untuk membantu masyarakat dan pemerintah. Jadi pada prinsipnya keuntungan tersebut diberikan kembali ke pemerintah dan masyarakat dengan berbagai macam bantuan dan program yang dilakukan seperti memberikan cash back maksimal Rp15.000 untuk para driver ojek online," katanya.
Dia harapkan program ini bukan hanya untuk ojol, tapi ke depan untuk para supir taksi dan juga supir angkutan umum bisa diberikan hal yang sama.
Sikap kehati-hatian pemerintah sudah tepat dalam menyikapi harga BBM
Selasa, 14 April 2020 15:30 WIB