Jakarta (ANTARA) - Dalam masa serangan pandemi COVID-19 ekonomi global menjadi bergejolak, salah satunya adalah harga minyak dunia yang tiba-tiba saja anjlok berada di bawah 0 dolar AS per barel.
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan minyak dunia anjlok, pertama, kapasitas kilang penyimpanan di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak ada lagi ruang penampungan dari produksi minyak AS yang kini berada pada kisaran 12-13 juta barel per hari (bph).
Kemudian faktor kedua, ketika transaksi perdagangan akan ditutup untuk pengantaran bulan Mei, hanya sedikit yang melakukan trading, sehingga harga terus turun.
“Dan harga ini belum tentu mencerminkan harga yang sebenarnya,” kata Arcandra.
Dalam hal tersebut kemudian muncul hipotesis apabila harga minyak di AS 0 dolar AS per barel, apakah harga BBM di SPBU per galon juga bisa 0 dolar?.
“Tentu saja tidak,” tegasnya.
Di negeri Paman Sam, struktur harga BBM di SPBU ditentukan oleh beberapa komponen, antara lain tranportasi dan marketing (39 sen dolar AS), refining cost dan profit (34 sen), pajak minyak (18 sen) dan rata-rata pajak negara (36 sen).
Dari struktur tersebut, akan diperoleh total angka 1,27 dolar AS per galon, dengan tambahan margin di SPBU sekitar 10 dolar sen per galon, harga jual BBM sebesar 1,37 dolar AS per galon atau setara 0,36 sen dolar per liter.
Jika dirupiahkan setara dengan Rp5.422 per liter (kurs Rp15.000 per dolar). Dengan kejadian ini AS akan memangkas produksi minyaknya dari 12,7 juta bph menjadi di bawah 11 juta bph atau sekitar 10,5 juta bph.
Jika AS menurunkan produksinya hingga 2,2 juta bph dan OPEC+ juga akan memangkas produksi 9,7 juta bph, maka ketika permintaan minyak dunia akan naik di tahun 2021 harga minyak akan naik tajam.
Posisi Indonesia, PT Pertamina (Persero) selaku perusahaan minyak negara, belum mengambil langkah atas turunnya harga minyak dunia ini. Namun, tren penurunan harga minyak dunia itu telah mendorong beberapa negara menurunkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di negerinya.
Formula harga BBM
Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi kepada Antara menjelaskan, Negeri Jiran Malaysia sudah 6 kali menurunkan harga BBM dalam 3 bulan terakhir. Harga BBM sekelas Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia saat ini di tetapkan hanya Rp 4.420 per liter, jauh lebih murah ketimbang harga Premium (RON 88) di Indonesia yang masih Rp 6.450 per liter.
Berbeda dengan Malaysia, harga BBM di Indonesia tidak diturunkan sama sekali. Harga berlaku saat ini masih mengacu pada penetapan harga di awal Februari 2020.
Salah satu penyebab harga BBM enggan turun adalah adanya perubahan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 187K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga BBM, yang diteken pada 7 Oktober 2019 oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan.
Kemudian, Menteri ESDM yang baru Arifin Tasrif telah mengubahnya menjadi Kepmen ESDM No 62K/MEM/2020 yang diteken 28 Februari 2020.
Perubahan Kepmen baru tersebut terkait dengan penaikan konstanta dalam formula penetapan harga BBM. Sampai harga RON 92 = harga MOPS + Rp 1.800 (naik dari sebelumnya Rp 1.000) + marjin 10 persen. Harga di atas RON 92= harga MOPS + Rp 2.000 (naik dari sebelumnya Rp 1.000 dan Rp 1.200) + marjin 10 persen. MOPS adalah Mean Of Plats Singapore yang merupakan harga rata-rata minyak di Singapore dalam 2 bulan terkakhir.
Dengan Kepmen Jonan (Kepmen 187K/10/MEM/2019), harga BBM di Indonesia bisa diturunkan hingga 2 kali, pada Januari 2020 padahal harga minyak dunia saat itu masih bertengger di atas 60 dolar AS per barel. Sekarang harga minyak cenderung turun drastis hingga rata-rata di bawah 20 dolar AS per barel.
Lantas, mengapa harga BBM tidak kunjung turun?
Berdasarkan formula Kempen No 62K/MEM/2020, paling tidak ada 2 kemungkinan penyebabnya, yakni menaikkan konstanta dan penetapan harga MOPS yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia.
Menteri ESDM Arifin Trasrif harus segera mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menurunkan harga BBM dalam waktu dekat ini.
Salah satunya mengembalikan besaran konstanta dalam penetapan formula harga BBM, dengan menetapkan besaran konstanta itu seperti ditetapkan oleh Menteri ESDM sebelumnya Ignasius Jonan.
Disamping itu, Menteri ESDM harus mengevaluasi besaran MOPS yang disesuaikan dengan harga minyak dunia yang berlaku.
Penurunan harga BBM sebenarnya akan dapat menaikkan daya beli masyarakat, yang lagi terpuruk akibat COVID-19. Kenaikan daya beli itu akan meningkatkan konsumsi, yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, yang tahun ini diprediksikan hanya mencapai 2,2 persen.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, secara bisnis belum bisa melakukan penurunan, bahkan menurutnya menutup kilang lebih mudah dilakukan di tengah kondisi tersebut. Tetapi, hal itu urung dilakukan Pertamina, sebab korporasi merupakan BUMN.
Kesulitan lainnya dari Pertamina untuk menurunkan harga BBM adalah disebabkan oleh formula harga BBM dibuat oleh Kementerian ESDM.
Dengan formula tersebut, posisi perusahaan tidak mungkin menyesuaikan biaya operasional (operating expences/OPEX) dan belanja modal (capital expenditure/CAPEX) dengan harga minyak saat ini.
Baca juga: Pengamat : harga BBM sulit turun karena Kepmen ESDM
Baca juga: Harga minyak AS melonjak 19 persen