Jakarta (ANTARA) - Di tengah pandemi yang belum ketahuan ujungnya ini, perhelatan politik siap digelar. Rencananya Desember. Pilkada serentak 2020. Konon akan diwarnai banyak calon tunggal. Ini mencemaskan pengamat politik. Kenapa? Ini fenomena tak normal. Anomali.
Dalam semua segi hidup, yang anomali cenderung menggelisahkan. Termasuk dalam politik. Namun, beberapa orang lupa, yang menggelisahkan tak mesti buruk. Boleh jadi anomali adalah jeda menyongsong kematangan.
Dalam banyak hal, politik itu mengikuti hukum matematika. Saat persyaratan pencalonan pilpres atau pilkada diperketat, kandidat presiden atau kepala daerah yang hendak bertanding amat sedikit. Bila syaratnya dilongggarkan, kandidat yang maju berduyun.
Jalan tengahlah yang dipilih. Tapi syarat yang ditetapkan undang-undang saat ini boleh dianggap yang terbaik, sudah di rel yang tepat. Kandidat harus diajukan parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di legislatif. Untuk kandidat independen, dukungan antara 10-6,5 persen dari total pemilih pun berterima.
Kenapa aturan ini tak perlu diutak-atik. Sedikitnya untuk lima tahun ke depan? Dalam konteks nasional, peluang mengkreasi sedikitnya dua pasang calon bersaing dalam pilpres terbuka lebar. Di tingkat regional dan lokal, fenomena kotak kosong diperkirakan meningkat dibanding musim pilkada sebelumnya. Namun, fenomena itu belum fenomenal. Artinya masih bisa ditoleransi.
Diperkirakan, sedikitnya 28 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada dengan pasangan calon tunggal, sementara total pilkada serentak 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kaupaten dan 37 kota. Jadi kurang lebih 10 persen fenomena kotak kosong pada pilkada serentak 2020. Jauh dari mencemaskan sebetulnya. Masih ada 90 persen pertarungan pilkada yang normal. Ada kompetisi antarpasangan kandidat.
Angka 90 persen, dalam konteks jumlah pemilih, sudah cukup mengagumkan. Dengan demikian, 10 persen daerah yang memperlihatkan anomali, masih bisa dimaklumi, ditenggang.
Kini, yang terpenting, bagaimana menyikapi, memaknai fenomena itu. Selanjutnya bagaimana melakukan refleksi atas gejala itu.
Setiap fenomena anomali selalu muncul dari situasi tak normal. Ini bisa akibat dari konsekuensi logis sebuah sistem. Bisa juga akibat perilaku manusia. Bisa dari kalangan elite, bisa orang awam. Namun faktor sistem bisa dikeluarkan. Karena daerah lain toh menggunakan sistem serupa tapi sanggup menghindari fenomena calon tunggal.
Kini tinggal menelusuri aspek perilaku. Di tataran elite, apakah mereka ini sejak awal menciptakan situasi yang mengarah pada lahirnya fenomena calon tunggal? Motif tindakan demikian mudah ditebak. Mempertahankan kuasa, salah satunya. Di tataran awam, simpati--bahkan mungkin antipati--berlebihan dari mayoritas warga terhadap elite tertentu bisa mendukung munculnya tokoh tunggal, yang menunjang gejala kotak kosong.
Apa pun yang melatari lahirnya fenomena kotak kosong dalam pilkada, yang harus dijaga adalah optimisme bahwa fenomena itu merupakan gejala sementara, sejenis jeda muram dalam proses berdemokrasi.
Publik perlu juga paham bahwa demokrasi tak selalu menanjak menuju ke kedewasaan. Sesekali merosot. Tengoklah politik di Amerika Serikat atau India saat ini. Populisme, cara meraup suara rakyat dengan menina bobo, membohongi, menakut-nakuti dilakukan pemimpin kedua negara demokrasi terbesar dunia itu.
Menjelang pilpres 3 November, petahana Donald Trump meniupkan ilusi intimidatif ke otak rakyat AS. Trump bilang jika Joe Biden menang China akan menguasai Amerika. Kemerosotan lain perpolitikan Amerika: di usianya yang 244 tahun, AS ternyata punya menlu yang "tak punya integritas dan etika", seperti ditulis kolumnis terkemuka Thomas L. Friedman di New York Times.
Populisme yang mengotori politik juga bercokol di India. Novelis terpenting Arundhati Roy berulang kali memperlihatkan bagaimana elite India mengobarkan sentimen Hinduisme untuk mengukuhkan kuasa, dengan melahirkan ketakutan awam. Bahkan yang terburuk, populisme juga menelan korban banyak nyawa.
Fenomena dunia itu bahkan jauh lebih menggelisahkan dibandingkan dengan gejala calon tunggal dalam pilkada serentak 2020. Bahkan, sesungguhnya apa yang akan terjadi di 28 daerah, dengan anomali kotak kosong, bukan perkara moralitas politik pada dirinya. Para elite dan pemilih di 28 daerah itu akan mendapat pelajaran apa untung ruginya selama lima tahun setelah mengalami proses politik yang anomali itu.
Selama demokrasi di negara ini bertahan, anomali itu akan terkoreksi. Daerah-daerah lain yang sukses menghasilkan pemimpin aspiratif dan kreatif lewat pilkada yang wajar, bukan lewat pilkada calon tunggal, akan menjadi inspirasi bagi daerah lain.
Makin massifnya penggunaan teknologi informasi oleh warga di seluruh Tanah Air akan makin membuka mata mereka. Daerah-daerah yang lebih makmur, yang dipimpin oleh elite yang dipilih secara demokratis, lewat pilkada yang tak anomali, jadi sumber ilham.
Bagaimana jika ada pemimpin, yang terpilih lewat proses pilkada calon tunggal, sukses memakmurkan warga? Ini juga mengilhami. Fakta ini juga bisa jadi argumen bahwa fenomena kotak kosong pun bukan sesuatu yang otomatis mencemaskan.
Semua fenomena menjadi teks yang bisa diamati, dikaji, ditemukan positif negatifnya. Dengan rumusan lain: fenomena kotak kosong adalah bagian dari proses berdemokrasi. Tak perlu cemas.
Yang mencemaskan justru raibnya atau merosotnya kemampuan awam mengambil pelajaran dari proses politik yang mereka alami. Dalam dalil perpolitikan, mayoritas kualitas berpolitik warga akan tercermin dari kualitas pemimpin yang mereka pilih.
Itu sebabnya, ikhtiar terus-menerus menggunakan berbagai pertimbangan rasional dalam memilih pemimpin merupakan keniscayaan. Politik uang masih akan terus menguntit di sela-sela kehidupan para pemilih, terutama mereka yang kadar kemelekan politiknya masih rendah. Fenomena yang beginilah yang lebih pantas dicemaskan.
Jangan cemas dengan calon tunggal
Kamis, 10 September 2020 14:18 WIB