Director of Global Research and Analysis (GReAT) untuk Asia Pasifik di Kaspersky, Vitaly Kamluk, mengatakan hal tersebut merupakan salah satu efek dari pandemi yang memaksa semua orang, dari individu hingga perusahaan besar, beralih secara online.
"Riset kami menunjukkan bahwa negara paling berdampak pada kebocoran data adalah Australia dan India," ujar Kamluk dalam konferensi pers virtual, Selasa.
Kebocoran data tersebut, lebih lanjut, menurut Kamluk, juga dipicu oleh kebutuhan saat harus menjaga kesehatan fisik dengan dorongan untuk meningkatkan penggunaan media sosial, baik untuk terhubung dengan orang, memberikan dukungan kepada komunitas, hiburan bagi diri sendiri atau untuk mendapatkan produk dan layanan yang dibutuhkan.
Baca juga: Serangan "ransomware" akan meningkat pada 2020
Sejalan dengan tren ini juga menjadi terbukanya pintu yang lebih luas bagi penjahat dunia maya untuk mengeksploitasi.
Lebih jauh, kebocoran data menyasar pada tujuh sektor dengan angka terbesar ada pada industri ringan, kemudian layanan publik, urutan selanjutnya ada media dan teknologi, industri berat, konsultan, serta sektor keuangan dan logistik.
Baca juga: Serangan Siber Incar Bank Sentral
Selain ketergantungan yang lebih besar pada internet, situasi pandemi juga menyediakan alat yang efektif bagi penjahat dunia maya, yaitu “umpan” yang dapat membuat satu klik email phishing dengan membagikan tautan berbahaya, atau ransomeware di mana para aktor kejahatan siber mengaku telah mengambil data dan meminta uang tebusan dengan iming-iming data dikembalikan.
Khusus hal yang terakhir, Kamluk menyarankan untuk tidak berkompromi dengan pelaku. "Jika Anda mengikuti keinginan pelaku, ada kemungkinan Anda akan mendapat email pemerasan serupa. Kedua, dengan membayar tebusan berarti Anda juga ikut mensponsori industri kejahatan siber," ujar Kamluk.
Selanjutnya, dari hasil penelitian Kaspersky, serangan brute force pada server database pada April 2020 tercatat meningkat 23 persen, sementara file berbahaya yang ditanam di situs web meningkat 8 persen di bulan April, dan serangan jaringan dan email phishing juga meningkat.
"Dari mendeteksi dan menganalisis 350.000 sampel malware unik sehari sebelum COVID, saat ini kami melihat total 428.000 sampel baru per jendela 24 jam," kata Kamluk.
COVID-19 sendiri, menurut Kamluk, juga digunakan para aktor kejahatan siber sebagai "kail" untuk modus penipuan pesan atau email yang berbau atau menjanjikan obat virus corona, bahkan mengatasnamakan pemerintah.
Lanskap ancaman tahun 2020 meluas pada peristiwa geopolitik di seluruh Asia Pasifik, peningkatan pada e-commerce dan adopsi e-wallet, penerapan kerja jarak jauh yang berkelanjutan hingga pembelajaran online, dan tekanan emosional dan psikologis dari situasi tersebut.
"Namun, harapan berada di tangan kita karena hanya kita sendiri yang mengendalikan aktivitas online . Perlu peningkatan kewaspadaan untuk melindungi identitas dan aset digital kita saat ini," Kamluk menambahkan.
Baca juga: Ancaman siber meningkat selama pandemi COVID-19
Baca juga: NSA ada di Balik Serangan Siber Ransomeware
Baca juga: Tiga Pola Serangan Siber Yang Sering Digunakan