Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi, dan reproduksi dari RS Cipto Mangunkusumo Kencana, Andon Hestiantoro mengatakan, tindakan operasi termasuk pengangkatan rahim bukanlah pilihan pertama mengatasi endometriosis sehingga bisa jadi tidak diperlukan.
Endometriosis merupakan penyakit yang bergantung pada estrogen sehingga pengobatan salah satu pilihannya menggunakan obat yang menekan hormon. Pengobatan yang diberikan kepada pasien pun perlu mempertimbangkan sejumlah aspek seperti efektivitas, biaya, dan preferensi pasien.
Terkait pengobatan, sejumlah studi uji klinis, salah satunya penelitian ENVISIOeN oleh Pan Asia yang dilakukan selama 24 bulan dan bersifat non-intervensional, multi center dan prospektif pada 887 orang pasien dari 36 pusat penelitian di seluruh Asia termasuk Indonesia menunjukkan, progestin dinyatakan sebagai terapi lini pertama.
"Dibandingkan pil KB, obat penghilang nyeri biasa, perlu dipertimbangkan progestin sebagai lini pertama dan kalau klinis jelas kami tidak melakukan laparoskopi," kata Andon yang tergabung dalam Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu dalam sebuah webinar kesehatan, Senin.
Progestin atau hormon dengan efek mirip seperti progesteron alami diberikan khususnya pada wanita yang belum menginginkan kehamilan. Terapi diberikan minimal 18-24 bulan demi mencegah kekambuhan dan sifatnya relatif aman untuk jangka panjang.
"Kalau bisa terapi dua tahun atau lebih bisa mencegah tindakan pembedahan yang tidak diperlukan, sehingga masa ada rahim diangkat hanya karena endometriosis," tutur Andon.
Tak hanya mengurangi nyeri, penelitian memperlihatkan, pemakaian progestin yakni Dienogest 2 mg dalam kurun waktu 24 bulan dapat menurunkan tingkat kekambuhan 4 kali lebih sedikit dibandingkan pasien berhenti terapi sebelum 24 bulan.
Di sisi lain, prosedur operasi hanya dilakukan apabila kondisi endometrsiosis sudah sangat terlambat ditangani dan tindakan bedah ini harus dicegah agar tidak berulang.
Di Indonesia, endometriosis atau penyakit inflamasi berupa tumbuhnya jaringan abnormal menyerupai endometrium (jaringan abnormal) dan memicu reaksi peradangan, setidaknya 5 dari 100 perempuan usia produktif.
Penyakit yang ditemukan pada 6-10 persen perempuan usia produktif itu memiliki dua gejala umum yakni nyeri saat haid dan atau infertilitas. Tetapi, ada juga wanita yang tak mengalami gejala apapun.
Data dari RSCM pada tahun 2010 – 2011, memperlihatkan sebanyak 43,4 persen pasien endometriosis merasakan nyeri berat yang berakibat tidak dapat beraktivitas sehari–hari, lalu 36,7 persen merasa nyeri derajat sedang dengan keterbatasan aktivitas sehari–hari, dan 20 persen pasien dengan nyeri derajat ringan.
Perlukah operasi angkat rahim karena endometriosis?
Senin, 14 Juni 2021 14:49 WIB