Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan terdapat empat transisi dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi tingginya angka prevalensi penyakit stroke di Indonesia hingga saat ini.
“Prevalensi stroke di Indonesia secara nasional itu sudah mencapai 10,9 per mil. Itu dari data Riskesdas tahun 2018 ya,” kata Direktur P2PTM Kemenkes Eva Susanti dalam Temu Media Hari Stroke Sedunia 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Eva membeberkan bahwa penyakit stroke merupakan penyebab kematian kedua yang tertinggi di dunia. Namun, stroke adalah penyebab kematian nomor satu dengan pembiayaan kesehatan yang paling mahal di Indonesia.
Dengan prevalensi secara nasional 10,9 per mil, Eva turut menyebutkan jika dalam Riskesdas 2018 provinsi dengan prevalensi stroke tertinggi jatuh pada Kalimantan Timur yakni 14,7 per mil. Sementara yang terendah berada di Provinsi Papua sebesar 4,1 per mil.
Tingginya prevalensi stroke itu, dipengaruhi oleh empat transisi yang terjadi dalam kehidupan manusia seperti transisi dalam bidang epidemiologi. Dalam bidang ini, banyak penyakit menular seperti COVID-19 belum usai, namun kejadian penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat.
Baca juga: Merantau 66 tahun di Malaysia pria asal Kapuas Hulu "terdampar" di Entikong
Transisi kedua terjadi pada bidang demografi. Saat ini pemerintah sedang berupaya memperbaiki sistem layanan kesehatan yang disediakan pada masyarakat sesuai dengan sasaran usianya.
Perbaikan itu kemudian berdampak pada usia harapan hidup penduduk yang meningkat. Akibatnya, potensi untuk terkena PTM juga semakin membesar.
“Ini juga akan meningkatkan potensi terkena PPM semakin besar, kalau kita tidak bisa memodifikasi faktor risiko atau menghindari faktor risiko (terkena stroke),” katanya.
Eva melanjutkan transisi ketiga terjadi pada teknologi yang mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Kemudahan dalam mengakses berbagai aplikasi untuk mengkonsumsi makanan dan transportasi, menyebabkan peningkatan sedentary life.
Kemudahan itu membuat masyarakat memiliki kebiasaan untuk malas bergerak, kurang melakukan aktivitas fisik seperti olahraga dan berdiam diri di rumah.
Baca juga: Mari memahami stroke dengan mudah
Sementara transisi terakhir adalah pada bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi kebutuhan hidup tiap individu, berdampak pada tingkat merasakan stres.
Dari munculnya rasa stres itu, peluang seseorang untuk terkena stroke menjadi meningkat. Oleh karenanya, dia berharap masyarakat mulai membiasakan hidup sehat, baik berolahraga secara rutin dan makan makanan bergizi untuk menghindari stroke.
Eva menyatakan beberapa upaya yang dilakukan Kemenkes dalam menanggulangi permasalahan stroke adalah dengan melakukan perluasan deteksi dini penyakit stroke di layanan kesehatan primer melalui pengukuran darah dan Elektrokardiografi (EKG).
Upaya lain yang dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat melalui penerapan gaya hidup CERDIK yakni (C)ek kesehatan rutin, (E)nyahkan asap rokok, (R)ajin aktivitas fisik, (D)iet seimbang, (I)stirahat cukup dan (K)elola stres yang diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat untuk hidup lebih sehat.
Kemudian dalam memberikan perlindungan khusus di masa pandemi, Kemenkes telah memberikan vaksin COVID-19 kepada penderita komorbid yang diperbolehkan mengikuti vaksinasi, untuk mencegah fatalitas dalam masyarakat semakin tinggi.
“Pencegahan dan pengendalian penyakit jantung adalah dengan meningkatkan gaya hidup sehat, melalui perilaku “CERDIK” dan pola hidup “PATUH” bagi penyandang penyakit jantung. Kemudian ada pengembangan layanan struktur peningkatan akses dan pemerataan layanan,” ujar dia.
Baca juga: Inilah waktu maksimal menyelamatkan dari serangan stroke
Baca juga: KJRI Kuching membantu pulangkan WNI alami stroke dan kondisi khusus