Jakarta (ANTARA) - Senin malam esok akan tersaji jawaban untuk pertanyaan apakah laju kemenangan Uzbekistan dalam Piala Asia U23 tahun ini terus berlanjut atau perjalanan bersejarah Indonesia Muda yang justru berlanjut?
Tak terkalahkan dalam empat pertandingan sambil menjaringkan 12 gol tanpa satu kali pun kebobolan, termasuk saat menjungkalkan Arab Saudi 2-0 dalam perempat final, Uzbekistan memang mengerikan bagi siapa pun, termasuk Garuda Muda.
Tim paling eksplosif selama Piala Asia U23 edisi Qatar 2024 ini selalu menjadi pihak yang lebih menekan, kecuali saat melawan Arab Saudi, tetapi tetap menjadi tim yang lebih klinis.
Mereka tangguh dalam bertahan dan tajam kala menyerang. Dari tiga pertandingan fase grup dan partai perempatfinal melawan Saudi, Uzbekistan melepaskan total 61 percobaan gol yang 29 di antaranya tepat sasaran, termasuk 12 gol yang bersarang di gawang empat tim yang mereka kalahkan.
Dalam parameter sama, Garuda Muda menciptakan 44 percobaan gol yang 16 di antaranya tepat sasaran. Untuk urusan ini, Garuda Muda menempati urutan kelima terbaik setelah Uzbekistan, Jepang, Irak, dan Arab Saudi.
Tekanan konstan lini tengah dan tim serang Uzbekistan, ditambah ketangguhan kuartet pertahanannya dalam formasi 4-2-3-1 yang tak pernah diubah selama turnamen ini telah membuat lawan-lawannya kesulitan menjarah daerah pertahanan Uzbek.
Malaysia dan Kuwait bahkan tak berhasil menciptakan satu kali pun tendangan tepat sasaran. Sedangkan Saudi dan Vietnam yang lebih kuat dari kedua tim itu, hanya bisa sekali membuat peluang gol tepat sasaran.
Uzbekistan juga kompak seperti tim seniornya yang angkat kaki dari arena Piala Asia 2023 setelah kalah adu penalti melawan Qatar dalam perempat final, setahun lalu.
Kekompakan mereka membuat serangan bisa datang dari semua sektor, entah sayap maupun tengah. Mereka kuat dan tangguh di semua lini, sementara tim serang mereka dihuni para predator yang oportunis di depan gawang lawan.
Walau hanya memasang seorang pemain sebagai ujung tombak, entah Khusayin Norchaev yang sudah mencetak dua gol atau Otabek Joraqoziev atau lainnya, otak serangan Uzbekistan adalah gelandang serang yang juga kapten tim, Jasurbek Jaloliddinov.
Pemain yang ditempatkan sebagai penyerang kedua ini adalah pemain pertama yang harus dilumpuhkan Nathan Tjoe-A-On dan Ivar Jenner sebelum dia membuat masalah di wilayah pertahanan Garuda Muda.
Halaman berikut: Kultur sepak bola Uzbekistan Gaya sepak bola Uzbekistan
Bukan saja dari catatan dan komposisi pemain yang membuat juara Asia U23 2018 dan runner up 2022 yang baru saja menuntaskan revans atas Arab Saudi yang mengalahkan mereka dalam final dua tahun lalu itu, Uzbekistan juga bisa didekati dari kultur sepak bola mereka.
Tim sepak bola yang sebelum 1994 menjadi bagian Uni Soviet itu memiliki ciri sepak bola menekan yang sudah menjadi ciri sepak bol Soviet dan kemudian Rusia setelah imperium terakhir di dunia itu ambruk pada 1991.
"Gaya Rusia" begitu kental dalam warna sepak bola Uzbekistan, walau tim mudanya hanya diperkuat dua pemain yang berasal dari CSKA Moskow dan FC Rubin Kazan dari liga Rusia.
Kapten mereka, Jasurbek Jaloliddinov, juga membawa gaya itu, apalagi dia pernah membela Lokomotiv Moskow, yang bersama CSKA, Rubin Kazan, Zenit Saint Petersburg, dan Spartak Moskow adalah klub-klub elite sepak bola Rusia.
Mereka semua memainkan gaya sepak bola Rusia yang mengandalkan fisik dan kekuatan, yang menekankan permainan pada struktur pertahanan yang kuat, organisasi tim yang disiplin dan fokus melancarkan serangan balik.
Gaya bermain seperti ini sering membutuhkan asosiasi yang kuat antara sistem pertahanan yang disiplin dan etos bermain yang kuat. Mereka tak lelah mencari bola dan segera merebut kembali bola itu begitu kehilangan, sehingga lawan terus tertekan.
Gaya bermain ini sampai menginspirasi pelatih sepak bola terkenal Jerman, Ralf Rangnick, untuk mengembangkan apa yang disebut gegenpressing atau balas tekan (counter-pressing), setelah menyaksikan laga persahabatan antara sebuah klub Jerman melawan Dynamo Kiev pada 1983.
Gegengpressing sendiri menginspirasi sejumlah pelatih-pelatih hebat masa kini, seperti Juergen Klopp, Thomas Tuchel, dan Julian Nagelsmann.
Dynamo Kiev saat itu adalah bagian dari sistem sepak bola Soviet, sebelum masuk liga Ukraina begitu negara ini memisahkan diri dengan Soviet pada 14 Agustus 1991, 15 hari sebelum Uzbekistan juga menyatakan merdeka dari Soviet.
Hampir semua tim sepak bola negara-negara bekas Soviet, termasuk Uzbekistan, memiliki corak bermain sama yang menekankan fisik dan disiplin.
Halaman berikut: Formula Shin Tae-yong Formula Shin Tae-yong
Guna menghadapi tim bergaya menekan seperti Uzbekistan, balik tekan seperti dikenalkan Rangnick, adalah jawabannya.
Itu pula yang dilakukan Arab Saudi pada perempatfinal lalu. Saudi bermain agresif dengan bahkan menerapkan pola bermain man-to-man marking.
Walau tak berhasil menaklukkan Uzbekistan yang juga lawan Saudi dalam final edisi 2022, Green Falcons berhasil merontokkan dominasi Uzbekistan yang dalam tiga pertandingan sebelumnya selalu menjadi tim yang mendominasi penguasaan bola.
Dalam laga itu pula, akurasi umpan Uzbekistan jatuh dari biasanya 87 persen menjadi 71 persen. Dan untuk pertama kalinya selama turnamen ini, Uzbekistan diungguli tim lain dalam penguasaan bola.
Indonesia bisa meniru apa yang sudah dilakukan Saudi, dengan menambal kekurangan-kekurangannya agar tak bernasib sama seperti sang juara bertahan.
Tapi bisa juga tetap setia dalam formasi tiga bek seperti sudah dimainkan dalam empat laga sebelumnya. Uzbekistan sendiri tak pernah menghadapi tim yang memasang tiga bek tengah dalam sistem permainannya.
Gabungan man-to-man marking, counter-pressing, dan disiplin tinggi, bisa menjadi formula ampuh dalam memupus impian Uzbekistan menjuarai Piala Asia U23 untuk kedua kalinya setelah dua tahun lalu gagal melakukannya.
Di sini, Shin Tae-yong menjadi sangat instrumental. Kejelian dalam memasang strategi dan melibatkan pemain-pemain yang tepat yang selama ini sudah sering dia lakukan, menjadi kunci dalam pertandingan semifinal esok malam itu.
Shin sudah sering melakukan hal itu dalam banyak kesempatan, termasuk yang paling dikenal publik saat menjungkalkan Jerman pada Piala Dunia 2018 yang saat itu berstatus juara bertahan dan berperingkat FIFA paling tinggi di dunia.
Jerman yang memainkan sepak bola tekanan tinggi disertai tempo tinggi dan membangun serangan sejak lini belakang, kalah cepat melawan Korea Selatan. Kecepatan berlari skuad Jerman saat itu adalah 27,03 km per jam, sedangkan Korea Selatan 28,18 km per jam.
Dalam kata lain, Jerman yang rata-rata pemainnya lebih tua kalah jelajah lapangan dari Korea Selatan yang rata-rata berusia lebih muda.
Cara yang sama bisa diterapkan Shin kepada Rizky Ridho cs yang merupakan skuad kedua termuda setelah Vietnam dalam Piala Asia U23 edisi 2024, untuk menjinakkan Uzbekistan yang eksplosif.
Intinya, untuk mengimbangi lawan yang terus menekan, maka bermain dalam fisik yang prima dan selalu berusaha lebih cepat dari lawan, bisa menjadi jalan untuk mencatat kemenangan bersejarah lainnya.
Bisakah Garuda Muda melakukannya? Bisa! Menjinakkan Korea Selatan yang juga selalu berusaha menjadi tim lebih menekan dari laga ke laga dan, seperti Uzbekistan, masuk gelanggang sebagai tim yang tak pernah kebobolan, adalah bukti Garuda Muda kini bisa melakukan apa saja.