Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta harus lebih menggencarkan sosialisasi ke masyarakat agar rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 27 November 2024 tak terulang.
"Partisipasi pemilih di Pilkada kemarin, memang rendah, maka harus lebih konsentrasi lagi KPU DKI untuk sosialisasikan soal pemilu agar tak terulang. Jadi, sosialisasi untuk mengingatkan pentingnya masyarakat menggunakan hak pilihnya," kata Efriza saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Pernyaataan itu untuk menyikapi pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta bahwa capaian tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2024 diduga lebih rendah dibandingkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) serta Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Menurut Efriza, KPU DKI Jakarta harus lebih menggerakkan jajaran RT/RW setempat dan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) sebagai duta pemilu. Peran setiap jajaran perlu diperkuat untuk menjelaskan seputar pentingnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Jadi, nanti mereka tidak hanya mengingatkan jangan golput saja, tetapi juga menjelaskan apa artinya pemilu, pilkada, untuk apa dilaksanakan dan apa pentingnya untuk lima tahun ke depan," ujar Efriza.
Efriza menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan turunnya partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta, antara lain karena Anies Baswedan yang tidak bisa maju di pilkada sehingga masyarakat menilai banyaknya permainan politik.
Kedua, adanya gerakan untuk golput atau mencoblos tiga pasangan calon (paslon) di Pilkada Jakarta 2024. Ketiga, masyarakat melihat ketiga paslon tidak bisa mempresentasikan keinginan mereka.
"Lalu adanya rumor putusan MK yang menghilangkan situasi Anies di pencalonan dan PDI P awalnya terlihat tidak bisa mengajukan dan ini terjadi menjadi satu kesatuan terkait dan membuat masyarakat kecewa sehingga sikapnya enggan terlibat di pilkada," katanya.
Selain itu, kata Efriza, beberapa kelompok masyarakat beranggapan semua keputusan terkait kehidupan sehari-hari tergantung pada keputusan nasional, yakni presiden dan jajaran legislatif sehingga masyarakat lebih antusias saat Pemilu Februari dibandingkan harus memilih gubernur.
"Gubernur selalu dinarasikan mengikuti atau berada di bawah presiden dan ini mempengaruhi sehingga mereka jelas melihat apapun yang dipilih dan dicoblos sama saja dalam kehidupan mereka," ucap Efriza.
Sebelumnya, KPU DKI Jakarta mengevaluasi capaian tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2024 pada Rabu (27/11) yang diduga lebih rendah dari Pemilu Februari 2024.
"Menurut pemantauan kami, alur pemilih di TPS (tempat pemungutan suara) agak renggang. Tapi, kami belum tahu angka pastinya berapa tingkat partisipasi. Tapi untuk pilkada, memang biasanya cenderung lebih rendah dari pilpres," kata Ketua KPU DKI Wahyu Dinata dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (28/11).
KPU mengaku telah melakukan berbagai cara yakni melakukan sosialisasi ke komunitas, Organisasi Masyarakat (Ormas), sekolah, kampus untuk pemilih pemula dan muda di 100 lokasi wilayah Jakarta.
Sosialisasi juga dilakukan ke tingkat kelurahan, forum-forum warga yang dilakukan oleh kelurahan dengan ragam bentuk sosialisasi seperti kegiatan olahraga, membuka stan pada kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB).