Jakarta (ANTARA) - Di balik keindahannya, Kepulauan Seribu yang kerap menjadi tujuan wisata ternyata masih harus menghadapi berbagai problematika sampah dan pencemaran lingkungan.
Pemandangan berupa sampah dalam bentuk kasur maupun sofa kerap ditemui di sekitar Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Sampah ini bukan berasal dari penduduk setempat, sampah-sampah berukuran besar itu merupakan sampah kiriman dari daratan Jakarta.
Penanggung jawab Pesisir Pulau Untung Jawa Suku Dinas Lingkungan Hidup Syarifuddin mengatakan, sampah dari masyarakat di Pulau Untung Jawa mencapai 3 hingga 5 kuintal per hari.
Sementara sampah kiriman dari Jakarta yang terdampar ke pesisir Pulau Untung Jawa bisa mencapai 10 ton per hari.
Sampah kiriman terbanyak biasanya terjadi pada bulan Maret, April, dan Mei.
Syarifuddin menuturkan sampah kiriman dari Jakarta membuat kewalahan para petugas yang bekerja membersihkan sampah.
"Sampah kiriman dari sungai-sungai di Jakarta tidak kira-kira banyaknya. Kami mau tidak mau, siap tidak siap, harus kami bereskan hari itu juga," katanya.
Nantinya sampah-sampah dipilah dan ditampung sementara di tempat pembuangan sampah (TPS) Pulau Untung Jawa untuk kemudian secara periodik dibawa ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, terutama untuk sampah residu seperti popok bayi, kemasan makanan, pembalut, tisu basah, atau styrofoam.
Sementara untuk sampah plastik yang masih bernilai ekonomi akan dijual oleh petugas sampah.
Sampah organik akan dijadikan pakan untuk magot yang dipelihara petugas.
Di Pulau Untung Jawa, sejak dua tahun terakhir tidak dilakukan pembakaran sampah karena mesin insinerator yang kurang memadai dan berpotensi menimbulkan polusi udara yang kerap dikeluhkan warga.
Pencemaran mikroplastik di laut
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) melakukan penelitian untuk melihat adanya pencemaran mikroplastik di Kepulauan Seribu.
AZWI terbentuk dari gabungan sembilan organisasi, yaitu YPBB, Dietplastik Indonesia, Nexus 3 Foundation, PPLH Bali, Ecoton, Nol Sampah, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan Walhi.
Ada tiga pulau yang sampelnya diambil, yakni Pulau Untung Jawa, Pulau Onrust, dan Pulau Cipir.
Hasil uji terhadap sampel yang dikumpulkan dari ketiga pulau tersebut menunjukkan fakta mencengangkan.
Seluruh sampel yang diuji positif mengandung serpihan mikroplastik.
Mikroplastik tidak hanya ditemukan di perairan sekitar pulau, tetapi juga di permukaan daun tanaman hingga swab kulit masyarakat setempat.
Di Pulau Untung Jawa, mikroplastik yang ditemukan di air permukaan ada 72 partikel per 10 liter
Kemudian pada swab kulit dua petugas tempat pembuangan sampah (TPS) masing-masing ditemukan 68 dan 30 partikel.
Dari hasil sampel kulit warga setempat lewat metode swab ditemukan 21 partikel, dan pada daun ditemukan 13 partikel.
Sementara di Pulau Onrust, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 35 partikel per 10 liter, swab kulit 19 partikel, dan daun ada 7 partikel.
Di Pulau Cipir, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 44 partikel per 10 liter, swab kulit 25 partikel, dan daun ada 17 partikel.

Kepala laboratorium Ecoton Rafika Aprilianti mengatakan hasil temuan mikroplastik di air, daun, dan swab kulit tangan masyarakat lokal di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa pencemaran plastik telah menyebar luas hingga ke lingkungan pesisir dan kehidupan manusia.
Ditemukannya mikroplastik dalam bentuk fiber dari kain, film dari plastik tipis lentur, fragmen dari plastik keras, serta foam dari styrofoam dan busa sintetis mengindikasikan berbagai sumber pencemaran, baik dari limbah domestik, aktivitas wisata, maupun pembakaran sampah.
"Fakta bahwa mikroplastik menempel pada kulit manusia menjadi bukti bahwa paparan terhadap polutan ini tidak hanya terjadi melalui makanan dan minuman, tetapi juga melalui kontak langsung dengan lingkungan," kata Rafika.
Keberadaan mikroplastik di ekosistem pesisir berisiko bagi kesehatan masyarakat dan kehidupan laut karena partikel-partikel kecil ini dapat masuk ke dalam rantai makanan dan berpotensi membawa bahan kimia berbahaya.
Temuan ini patut menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa pengelolaan sampah yang lebih baik serta pengurangan penggunaan plastik sekali pakai sangat diperlukan untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia.
Indonesia saat ini belum memiliki baku mutu mikroplastik, padahal partikel ini telah ditemukan di seluruh komponen ekosistem.
Manajer Divisi Edukasi Ecoton Alaika Rahmatullah mengatakan, tanpa regulasi yang jelas, risiko pencemaran dan paparan mikroplastik akan terus meningkat.
"Upaya mitigasi yang dapat dilakukan di antaranya pemerintah harus mempercepat penerapan kebijakan pengurangan plastik dan memperluas larangan plastik sekali pakai, merancang kebijakan transisi ke sistem kemasan guna ulang sebagai solusi berkelanjutan," kata Alaika.
Senada dengan data temuan AZWI, data yang dihimpun oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta juga menemukan adanya peningkatan jumlah mikroplastik di perairan Jakarta di setiap tahunnya.
"Pemantauan kelimpahan mikroplastik ini kami lakukan sejak 2022, berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 322 tahun 2022. Penelitian ini dilakukan di dua musim, musim kemarau dan musim hujan, dan terlihat memang ada peningkatan jumlah mikroplastik di tiap tahunnya," kata Rahmawati selaku Kepala Sub Kelompok Pemantauan Kualitas Lingkungan DLH DKI Jakarta.
Bahaya mikroplastik dalam darah
Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dr Pukovisa Prawirohardjo PhD mengatakan mikroplastik di dalam tubuh manusia dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Seseorang yang memiliki paparan tinggi terhadap mikroplastik berpotensi 36 kali lebih rentan untuk mengalami gangguan kognitif dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
Hal itu terungkap dari riset yang dilakukannya bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia.
Dalam riset tersebut, terungkap juga bahwa responden yang dalam darahnya ditemukan mikroplastik lebih berisiko untuk mengalami gangguan kognitif dibandingkan dengan responden yang hanya memiliki mikroplastik dalam feses dan urine.
Lebih jauh dia mengatakan bahwa keberadaan mikroplastik jenis PET yang ditemukan dalam darah berisiko lebih tinggi menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
"Kami juga meneliti dari jenis mikroplastiknya. Mikroplastik PET itu ditemukan dalam darah, dia berisiko sekitar tiga kali lipat untuk mengalami gangguan kognitif," kata Pukovisa Prawirohardjo.
Risetnya juga mengungkap bahwa mikroplastik ditemukan pada tubuh responden yang mengaku jarang terpapar dengan mikroplastik.
Kesadaran publik untuk meminimalkan pemakaian plastik sangat diperlukan dalam upaya menurunkan keberadaan mikroplastik sebagai polusi tak kasat mata.
Sementara pemerintah dan produsen juga didesak untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi krisis mikroplastik di Indonesia.
Upaya pengurangan plastik sekali pakai, perbaikan tata kelola sampah, serta regulasi yang lebih ketat terhadap penggunaan plastik perlu menjadi prioritas bersama demi lingkungan yang lebih sehat untuk generasi masa mendatang.