Pontianak (ANTARA) - PT Mayawana Persada menegaskan tidak pernah melakukan kriminalisasi terhadap Kepala Adat Dusun Lelayang, Tarsisius Fendy Sesupi atau Fendy, sebagaimana disuarakan sejumlah aktivis lingkungan belum lama ini.
"Untuk proses hukum yang dihadapi oleh saudara Fendy murni terkait dugaan tindak pidana pemerasan dan penyekapan terhadap karyawan perusahaan," kata Humas PT Mayawana Persada Yohanes Supriadi di Pontianak, Jumat.
Dia menjelaskan, penetapan Fendy sebagai tersangka merupakan tindak lanjut dari laporan korban yang merupakan karyawan perusahaan. Kasus tersebut, kata dia, berawal ketika Fendy bersama sejumlah orang mendatangi kantor PT Mayawana Persada di Estate Kualan pada Minggu, 2 Desember 2023.
"Mereka datang sekitar pukul 11.00 WIB dengan pakaian adat berwarna merah dan membawa senjata tajam, termasuk yang bersangkutan. Mereka memaksa pimpinan estate keluar," kata Yohanes di Ketapang.
Saat pimpinan estate bernama Toto keluar untuk menemui rombongan, salah satu massa justru melakukan pemukulan hingga menyebabkan korban mengalami cedera serius pada bagian hidung dan harus mendapat perawatan medis.
Tidak berhenti di situ, menurut Yohanes, rombongan kemudian menahan sejumlah karyawan di dalam kantor sambil memaksa mereka menghadirkan salah satu pimpinan perusahaan, terkait persoalan pembakaran lumbung padi di Desa Kampar Sebomban yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan PT Mayawana.
"Karena karyawan tidak bisa memenuhi permintaan mereka, para karyawan disekap dan dilarang keluar kantor. Mereka diancam akan dianiaya. Kondisi itu berlangsung hingga pukul 17.00 WIB," tuturnya.
Dalam kondisi tertekan, para korban diminta menyerahkan uang Rp16 juta sebagai syarat penyelesaian persoalan tersebut. Uang itu ditransfer langsung ke rekening atas nama Tarsisius Fendy Sesupi.
"Semua bukti transfer dan keterangan korban sudah kami serahkan kepada kepolisian. Jadi sangat tidak tepat jika disebut kriminalisasi," kata Yohanes.
Selain dugaan pemerasan dan penyekapan, Fendy juga dilaporkan mengambil kunci sepuluh alat berat serta mengusir operator yang sedang bekerja. Hal itu mengakibatkan aktivitas terganggu dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Biro Pertahanan dan Keamanan Masyarakat Adat Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalbar, Herkulanus Didi, menilai tindakan yang dilakukan Fendy tidak mencerminkan nilai-nilai adat Dayak.
"Sebagai tokoh adat, penyelesaian persoalan semestinya dilakukan dengan cara-cara beradat, bukan tindakan kekerasan yang menjurus pelanggaran pidana," katanya.
Herkulanus, yang juga Anggota Departemen Adat Istiadat Hukum Adat dan Advokasi MADN, menilai perkara yang menjerat Fendy lebih tepat dilihat sebagai pidana murni. Ia meminta masyarakat mampu membedakan antara persoalan adat dan tindak kriminal.
"Kalau benar ada pemerasan dan penyekapan, tentu wajar karyawan melaporkan ke aparat. Ini bukan kriminalisasi," katanya.
Ia menambahkan, sejauh pengamatannya, PT Mayawana Persada selalu menunjukkan penghormatan terhadap adat setempat dan kerap mendukung kegiatan adat di wilayah operasional perusahaan.
Sebelumnya sejumlah aktivis lingkungan menyebut terjadi upaya jemput paksa terhadap Fendy oleh aparat penegak hukum setelah ia memberikan testimoni terkait pemantauan deforestasi. Mereka menilai kasus ini terkait konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan.
Namun PT Mayawana Persada menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar karena kasus yang diproses merupakan laporan pidana dari karyawan yang menjadi korban.
Hingga berita ini diturunkan, Polres Ketapang dan Polda Kalbar belum memberikan keterangan resmi terkait laporan penjemputan tersebut.
