Mataram (ANTARA) - Hujan turun deras di perbukitan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Air berwarna cokelat mengalir cepat dari lereng-lereng yang nyaris tanpa pepohonan. Di hilir, sungai meluap, sawah terendam, rumah warga terancam.
Pola ini berulang hampir setiap musim hujan. Di balik banjir dan longsor yang datang silih berganti, ada cerita panjang tentang hutan yang terus menyusut.
Pembalakan liar bukan isu baru di NTB. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tekanannya kian terasa di wilayah Sumbawa, Bima, dan Dompu.
Bukit-bukit yang dulu hijau, kini berubah menjadi lahan terbuka. Kayu ditebang tanpa izin, kawasan hutan dirambah, batas lindung dan produksi makin kabur.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan persoalan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan kebijakan yang tidak selalu berpihak pada daya dukung lingkungan.
Desakan terbuka dari kepala daerah di Pulau Sumbawa kepada pemerintah provinsi menandai titik kritis persoalan ini.
Surat resmi Bupati Bima kepada Gubernur NTB tentang kondisi hutan yang kian gundul menjadi sinyal bahwa kerusakan telah melewati ambang kewajaran.
Permintaan ketegasan itu bukan sekadar administrasi pemerintahan, melainkan cerminan kegelisahan daerah yang berada di garis depan dampak ekologis.
Pembalakan liar dan perambahan hutan di NTB tidak lagi bersifat sporadis. Data penindakan menunjukkan ratusan balok kayu dengan puluhan meter kubik volume diamankan hanya dalam satu rangkaian operasi.
Rekaman video aktivitas penebangan di dalam kawasan hutan memperlihatkan bahwa praktik ini berlangsung sistematis, memanfaatkan lemahnya pengawasan dan terbatasnya sumber daya aparat kehutanan.
Ketika hutan kehilangan penjaga, ia menjadi ladang empuk bagi kepentingan jangka pendek.
Pembiaran
Masalah pembalakan liar di Sumbawa, Bima, dan Dompu tidak bisa dilepaskan dari dorongan ekonomi.
Ekspansi lahan jagung, perambahan untuk pertanian, dan tingginya nilai jual kayu menciptakan insentif kuat untuk membuka hutan.
Di wilayah dengan pilihan mata pencaharian terbatas, hutan kerap dipandang sebagai cadangan ekonomi terakhir.
Namun persoalan menjadi rumit ketika pembiaran terjadi dalam waktu lama. Pengawasan yang lemah, keterbatasan anggaran patroli, serta tumpang tindih kewenangan membuat praktik ilegal sulit diberantas secara konsisten.
Kewenangan pengelolaan hutan berada di tingkat provinsi, sementara dampak langsung dirasakan kabupaten dan kota. Celah koordinasi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku perusakan.
Dampak ekologisnya nyata. Data menunjukkan luas lahan kritis di NTB memang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, namun angka itu belum cukup menahan laju bencana hidrometeorologi di Pulau Sumbawa.
Lereng-lereng terjal yang kehilangan tutupan vegetasi tidak mampu menahan air hujan. Akar tanaman semusim tidak cukup kuat mengikat tanah.
Akibatnya, erosi meningkat, sedimentasi merusak sungai dan bendungan, serta banjir bandang menjadi ancaman rutin.
Bencana yang terjadi di Bima dan Dompu pada musim hujan 2024 hingga 2025 memperlihatkan hubungan langsung antara kerusakan hutan dan keselamatan warga.
Infrastruktur rusak, jembatan terputus, aktivitas ekonomi terganggu. Biaya pemulihan yang dikeluarkan negara jauh lebih besar dibanding biaya menjaga hutan tetap utuh.
Di tengah situasi ini, muncul upaya daerah yang patut dicatat. Pembentukan satuan tugas hutan di Sumbawa, penindakan pengangkutan kayu ilegal, serta program reboisasi berbasis tanaman produktif menunjukkan bahwa langkah tegas dan inovatif bisa dilakukan.
Namun inisiatif ini masih bersifat parsial dan bergantung pada keberanian pemimpin daerah masing-masing. Tanpa orkestrasi kuat di tingkat provinsi, upaya tersebut berisiko terputus atau tidak berkelanjutan.
Menjaga hutan
Menangani pembalakan liar di NTB tidak cukup mengandalkan penindakan hukum semata. Pendekatan represif memang penting untuk memberi efek jera, tetapi ia hanya menyentuh gejala, bukan akar persoalan.
Selama masyarakat di sekitar kawasan hutan masih bergulat dengan keterbatasan ekonomi dan minimnya pilihan mata pencaharian, tekanan terhadap hutan akan terus berlangsung. Dalam situasi itu, larangan sering kali kalah oleh kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, jalan keluar yang lebih realistis adalah menghadirkan alternatif ekonomi yang sejalan dengan upaya pelestarian. Pendekatan agroforestri menawarkan ruang kompromi antara kepentingan lingkungan dan kebutuhan warga.
Penanaman tanaman keras bernilai ekonomi seperti kemiri, alpukat, sengon, atau kayu putih memungkinkan lahan tetap tertutup vegetasi, sekaligus memberikan sumber pendapatan jangka menengah.
Model ini tidak hanya menahan erosi dan meningkatkan daya serap air, tetapi juga memperbaiki hubungan masyarakat dengan kawasan hutan yang selama ini kerap diposisikan sebagai wilayah terlarang tanpa manfaat langsung.
Namun pendekatan berbasis masyarakat tidak akan berjalan tanpa pembenahan tata kelola. Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pengelola hutan menjadi kebutuhan mendesak, terutama di kawasan rawan perambahan.
Moratorium izin di wilayah kritis, penertiban batas kawasan, serta penguatan pengawasan berbasis teknologi perlu dipercepat. Bukti visual berupa rekaman aktivitas pembalakan liar menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi alat efektif, asalkan diikuti kemauan politik dan koordinasi lintas lembaga.
Dalam konteks ini, pemerintah provinsi memegang peran strategis sebagai penghubung antara kepentingan kabupaten dan kebijakan nasional.
Ketegasan dalam merespons kerusakan hutan bukan semata soal kewenangan administratif, melainkan tentang keberpihakan pada masa depan ekologis NTB.
Tanpa hutan yang sehat, pembangunan infrastruktur, pertanian, dan pariwisata akan selalu dibayangi risiko bencana yang berulang.
Pembalakan liar di Sumbawa, Bima, dan Dompu adalah cermin pilihan pembangunan. Apakah hutan diperlakukan sebagai sumber daya yang habis ditebang, atau sebagai penyangga kehidupan yang harus dijaga bersama.
Menjaga hutan berarti menjaga air, tanah, pangan, dan keselamatan manusia. Di sanalah ujian kepemimpinan dan kebijakan publik benar-benar dimulai.
