Pontianak (Antara Kalbar) - Anggota Komisi VII DPR RI Milton Pakpahan meminta, pemerintah untuk menunda perintah larangan oleh BPH Migas kepada Pertamina, AKR dan SPN agar tidak menyalurkan BBM bersubsidi bagi usaha perikan dengan kapal besar atau diatas 30 gross ton.
"Sebaiknya pemerintah mengkaji ulang atau menunda peraturan tersebut sampai awal bulan Juni, atau selesai Pemilu 2014," kata Milton Pakpahan dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Rabu.
Sebelumnya, BPH Migas melalui surat yang ditandatangani kepala BPH Migas No. 29/07/Ka.BPH/2014 tanggal 15 Januari 2014 telah mengeluarkan perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan BBM bersubsidi kepada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran kapal di atas 30 GT.
Milton menjelaskan, saat ini keadaan ekonomi sangat berat bagi masyarakat, ditambah lagi kondisi iklim cuaca yang buruk pada awal tahun ini, sehingga akan memberatkan para nelayan yang memang mengandalkan pasokan BBM bersusbidi untuk mata pencahariannya di laut.
"Kami juga mengingatkan kepada kementerian ESDM dan BPH Migas, agar dalam membuat peraturan, kebijakan, atau larangan apapun yang berkaitan dengan BBM bersubsidi, sebaiknya dibicarakan dulu dengan Komisi VII DPR RI," ujarnya.
Selain itu, setiap peraturan juga harus dilakukan kajian, sosialisasi dengan nelayan, masyarakat yang memiliki kapal usaha penangkapan ikan diatas 30 GT, serta melihat waktu yang pas untuk menjalankan kebijakan tersebut.
"Kami mendesak pemerintah melalui kementerian ESDM untuk mengembalikan surat larangan itu kepada BPH Migas. Pada rapat kerja nantinya dengan kementerian ESDM, kami fraksi Demokrat meminta untuk menunda atau membatalkan surat kepala BPH migas tersebut, demi kebaikan dan kepentingan nelayan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menyatakan, dengan terbitnya surat BPH Migas yang bersifat perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga, justru berpotensi menimbulkan konflik hukum antara Peraturan Menteri ESDM dengan Peraturan Presiden.
Pasalnya, menurut dia, Perpres No. 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsimen BBM Tertentu telah menetapkan bahwa kapal usaha perikanan diatas 30 GT tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.
Sementara itu, ada Peraturan Menteri ESDM No. 08/2012 tentang Pelaksanaan Perpres No. 15/2012 yang menetapkan kapal dibawah dan diatas 30 GT dapat menggunakan BBM Tertentu paling banyak 25 kilo liter/bulan.
"Pertanyaan saya, bagaimana mungkin peraturan menteri membuat ketetapan yang menyimpang dan atau bertentangan dengan peraturan presiden?," ujarnya.
Larang kapal ikan 30 GT menggunakan BBM bersubsidi mengusik rasa keadilan masyarakat. Karena pada kenyataannya pemerintah tidak membuat aturan yang melarang kendaraan bermotor angkutan barang baik plat hitam maupun plat kuning yang jelas-jelas digunakan untuk sarana bisnis seperti halnya dengan kapal ikan 30 GT, kata Sofyano.
"Sangatlah bijak jika pemerintah menunda atau membatalkan pemberlakukan surat kepala BPH Migas tersebut," ujar Direktur Puskepi tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Sebaiknya pemerintah mengkaji ulang atau menunda peraturan tersebut sampai awal bulan Juni, atau selesai Pemilu 2014," kata Milton Pakpahan dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Rabu.
Sebelumnya, BPH Migas melalui surat yang ditandatangani kepala BPH Migas No. 29/07/Ka.BPH/2014 tanggal 15 Januari 2014 telah mengeluarkan perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan BBM bersubsidi kepada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran kapal di atas 30 GT.
Milton menjelaskan, saat ini keadaan ekonomi sangat berat bagi masyarakat, ditambah lagi kondisi iklim cuaca yang buruk pada awal tahun ini, sehingga akan memberatkan para nelayan yang memang mengandalkan pasokan BBM bersusbidi untuk mata pencahariannya di laut.
"Kami juga mengingatkan kepada kementerian ESDM dan BPH Migas, agar dalam membuat peraturan, kebijakan, atau larangan apapun yang berkaitan dengan BBM bersubsidi, sebaiknya dibicarakan dulu dengan Komisi VII DPR RI," ujarnya.
Selain itu, setiap peraturan juga harus dilakukan kajian, sosialisasi dengan nelayan, masyarakat yang memiliki kapal usaha penangkapan ikan diatas 30 GT, serta melihat waktu yang pas untuk menjalankan kebijakan tersebut.
"Kami mendesak pemerintah melalui kementerian ESDM untuk mengembalikan surat larangan itu kepada BPH Migas. Pada rapat kerja nantinya dengan kementerian ESDM, kami fraksi Demokrat meminta untuk menunda atau membatalkan surat kepala BPH migas tersebut, demi kebaikan dan kepentingan nelayan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menyatakan, dengan terbitnya surat BPH Migas yang bersifat perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga, justru berpotensi menimbulkan konflik hukum antara Peraturan Menteri ESDM dengan Peraturan Presiden.
Pasalnya, menurut dia, Perpres No. 15/2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsimen BBM Tertentu telah menetapkan bahwa kapal usaha perikanan diatas 30 GT tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.
Sementara itu, ada Peraturan Menteri ESDM No. 08/2012 tentang Pelaksanaan Perpres No. 15/2012 yang menetapkan kapal dibawah dan diatas 30 GT dapat menggunakan BBM Tertentu paling banyak 25 kilo liter/bulan.
"Pertanyaan saya, bagaimana mungkin peraturan menteri membuat ketetapan yang menyimpang dan atau bertentangan dengan peraturan presiden?," ujarnya.
Larang kapal ikan 30 GT menggunakan BBM bersubsidi mengusik rasa keadilan masyarakat. Karena pada kenyataannya pemerintah tidak membuat aturan yang melarang kendaraan bermotor angkutan barang baik plat hitam maupun plat kuning yang jelas-jelas digunakan untuk sarana bisnis seperti halnya dengan kapal ikan 30 GT, kata Sofyano.
"Sangatlah bijak jika pemerintah menunda atau membatalkan pemberlakukan surat kepala BPH Migas tersebut," ujar Direktur Puskepi tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014