Jakarta (Antara Kalbar) - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai peningkatan usia perempuan untuk menikah.
"Kami sayangkan penolakan MK atas uji materi terhadap UU itu, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) mengenai batas usia perkawinan bagi perempuan," kata Komisioner dan Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Komnas Perempuan menyesalkan penolakan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh MK mengingat batas diperbolehkannya usia perkawinan pada 16 tahun untuk perempuan.
"Berarti negara membolehkan perkawinan pada usia anak. Padahal, pada usia tersebut anak perempuan juga memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," katanya.
Menurut Komnas, hal tersebut sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu menikahkan manusia berusia 16 tahun sama dengan pernikahan anak, yang melanggar hak-hak anak, terutama anak perempuan.
Ditinjau dari aspek kesehatan reproduksi, perkawinan anak dapat mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan dan menyumbang tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) karena hubungan seks di bawah usia 18 tahun berpeluang mengalami kanker mulut rahim.
Eklamsia juga adalah faktor lain penyebab kematian ibu saat melahirkan di kala masih berusia anak, karena ibu yang masih berusia anak-anak belum siap baik secara fisik maupun psikis. "Artinya perkawinan anak perempuan adalah pemaksaan organ reproduksi yang belum siap untuk menerima perilaku seksual orang dewasa," ujar Budi.
Menurut Komnas, beberapa undang-undang telah menetapkan batas usia anak sampai 18 tahun. Aturan tersebut secara jelas mencantumkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2002 Jo UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Usia dewasa di atas 18 tahun juga ditetapkan berdasarkan pada Konvensi Internasional dengan menempatkan kematangan seseorang untuk dianggap sebagai manusia dewasa," kata Budi.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Indriyanti Suparno mengatakan Undang-Undang Perkawinan tidak konsisten dalam menetapkan batas usia dewasa antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Dalam hal ini, katanya, bukan saja melegalkan perkawinan yang dapat membuat risiko anak perempuan pada kekerasan, eksploitasi dan kerusakan organ reproduksi, tapi juga meneguhkan konstruksi gender yang diskriminatif yang memandang tidak dibutuhkan kedewasaan bertindak bagi perempuan ketika memasuki perkawinan.
"Kedewasaan bertindak itu hanya disyaratkan kepada laki-laki yang telah diberi peran oleh Undang-Undang Perkawinan ini sebagai Kepala Rumah Tangga," kata Indriyanti.
Mengacu kepada Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan adalah juga termasuk tindakan pemaksaan.
Dalam perkawinan anak, kata Indriyanti, dapat dipastikan telah terjadi pemaksaan, baik pemaksaan secara terang-terangan maupun tersembunyi. Persetujuan yang diberikan dalam kondisi anak juga, menurutnya, tidak dalam keadaan bebas berpikir dan dalam relasi yang tidak setara dengan orang yang meminta dia memberikan keputusan.
"Ini harus dilihat sebagai bentuk pemaksaan juga karena diberikan dan dilakukan dibawah `tekanan' untuk menuruti keinginan orang dewasa," ujar Indriyanti.
Kendati demikian, Komnas Perempuan mengapresiasi 'dissenting opinion' (pendapat tidak sepakat) dari Hakim Maria Farida yang memahami dan memiliki pengetahuan tentang hak-hak anak perempuan untuk tumbuh kembang, terhindar dari risiko kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi, pentingnya kematangan fisik dan psikologis dalam melakukan perkawinan.
Hakim Maria Farisa dengan pengetahuan itu mempertimbangkan kerentanan anak perempuan dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi, kata Indriyanti.
(R030/A.J.S. Bie)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Kami sayangkan penolakan MK atas uji materi terhadap UU itu, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) mengenai batas usia perkawinan bagi perempuan," kata Komisioner dan Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Komnas Perempuan menyesalkan penolakan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh MK mengingat batas diperbolehkannya usia perkawinan pada 16 tahun untuk perempuan.
"Berarti negara membolehkan perkawinan pada usia anak. Padahal, pada usia tersebut anak perempuan juga memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," katanya.
Menurut Komnas, hal tersebut sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu menikahkan manusia berusia 16 tahun sama dengan pernikahan anak, yang melanggar hak-hak anak, terutama anak perempuan.
Ditinjau dari aspek kesehatan reproduksi, perkawinan anak dapat mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan dan menyumbang tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) karena hubungan seks di bawah usia 18 tahun berpeluang mengalami kanker mulut rahim.
Eklamsia juga adalah faktor lain penyebab kematian ibu saat melahirkan di kala masih berusia anak, karena ibu yang masih berusia anak-anak belum siap baik secara fisik maupun psikis. "Artinya perkawinan anak perempuan adalah pemaksaan organ reproduksi yang belum siap untuk menerima perilaku seksual orang dewasa," ujar Budi.
Menurut Komnas, beberapa undang-undang telah menetapkan batas usia anak sampai 18 tahun. Aturan tersebut secara jelas mencantumkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2002 Jo UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Usia dewasa di atas 18 tahun juga ditetapkan berdasarkan pada Konvensi Internasional dengan menempatkan kematangan seseorang untuk dianggap sebagai manusia dewasa," kata Budi.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Indriyanti Suparno mengatakan Undang-Undang Perkawinan tidak konsisten dalam menetapkan batas usia dewasa antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Dalam hal ini, katanya, bukan saja melegalkan perkawinan yang dapat membuat risiko anak perempuan pada kekerasan, eksploitasi dan kerusakan organ reproduksi, tapi juga meneguhkan konstruksi gender yang diskriminatif yang memandang tidak dibutuhkan kedewasaan bertindak bagi perempuan ketika memasuki perkawinan.
"Kedewasaan bertindak itu hanya disyaratkan kepada laki-laki yang telah diberi peran oleh Undang-Undang Perkawinan ini sebagai Kepala Rumah Tangga," kata Indriyanti.
Mengacu kepada Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan adalah juga termasuk tindakan pemaksaan.
Dalam perkawinan anak, kata Indriyanti, dapat dipastikan telah terjadi pemaksaan, baik pemaksaan secara terang-terangan maupun tersembunyi. Persetujuan yang diberikan dalam kondisi anak juga, menurutnya, tidak dalam keadaan bebas berpikir dan dalam relasi yang tidak setara dengan orang yang meminta dia memberikan keputusan.
"Ini harus dilihat sebagai bentuk pemaksaan juga karena diberikan dan dilakukan dibawah `tekanan' untuk menuruti keinginan orang dewasa," ujar Indriyanti.
Kendati demikian, Komnas Perempuan mengapresiasi 'dissenting opinion' (pendapat tidak sepakat) dari Hakim Maria Farida yang memahami dan memiliki pengetahuan tentang hak-hak anak perempuan untuk tumbuh kembang, terhindar dari risiko kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi, pentingnya kematangan fisik dan psikologis dalam melakukan perkawinan.
Hakim Maria Farisa dengan pengetahuan itu mempertimbangkan kerentanan anak perempuan dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi, kata Indriyanti.
(R030/A.J.S. Bie)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015