Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara berharap dirut Pertamina nantinya bebas dari oligarki.

"Menteri BUMN telah mengganti dirut dan wadirut Pertamina tanpa alasan yang logis dan relevan pada awal Februari 2017. Keputusan diambil seolah-olah ada faktor yang sangat mendesak yang akan sangat merugikan negara dan korporasi jika keduanya tidak segera dilengserkan!," kata Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Kamis.

Ia menjelaskan, ternyata pelengseran keduanya tidak diiringi dengan pengangkatan pejabat pengganti. Karena itu, tampak bahwa penggantian keduanya bukan karena kinerja yang bermasalah, bukan pula untuk perbaikan menajemen korporasi ke depan.

"Pelengseran kedua pejabat tersebut bisa saja bertujuan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan sempit oknum-oknum penguasa. Namun langkah ini tentu tidak sejalan dengan kepentingan korporasi dan kepentingan strategis nasional, kebenaran motif tersebut dapat diuji dari siapa yang akhirnya ditunjuk menjadi dirut Pertamina, apakah yang bersangkutan memang profesional di bidangnya, punya rekam jejak dan prestasi yang pantas diapresiasi, diterima dikalangan karyawan dan mempunyai kapasitas untuk memimpin BUMN terbesar, atau sebaliknya," ujarnya.

Hari ini sejumlah media cetak dan online memberitakan tentang akan ditunjuknya Elia Massa Manik menjadi Dirut Pertamina. Berdasarkan berita tersebut sejumlah kalangan telah menyatakan keberatan atas penunjukan Elia, termasuk para pekerja Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
FSPPB meragukan kemampuan yang bersangkutan terutama dari sisi kapasitas dan track record saat memimpin BUMN, Elnusa dan Holding PTPN III, katanya.

"Jika aspek track record dianalisis, mestinya Kementerian BUMN secara otomatis sudah bisa memberi penilaian tentang kelayakan Elia menjadi dirut, mengingat kinerja seluruh BUMN (termasuk Elnusa dan Dirut PTPN III Holding yang dipimpin Elia), dipantau secara melekat oleh Kementerian BUMN.
Faktanya prestasi Elia di kedua BUMN tersebut bukannya baik, tetapi malah pantas dipertanyakan. Oleh sebab itu, pantas pula jika publik akan kesulitan menemukan justifikasi atas penunjukan Elia menjadi Dirut Pertamina," ujarnya.

Selain itu, kualifikasi dan kapasitas seorang pemimpin sebuah BUMN “klas A”, terbesar di Indonesia, seperti disandang Pertamina, dengan bobot, lingkup dan ukuran bisnis yang jumbo, tentu berbeda dengan kualifikasi dirut BUMN “klas C” atau “klas D” yang ukuran bisnisnya jauh lebih kecil, seperti Elnusa.
Padahal dalam daftar calon yang ada, terdapat sejumlah nama yang berasal dari BUMN ‘klas A” juga, kata Marwan.

"Dengan begitu, tentu saja track record yang tidak sebanding ini menjadi salah satu poin penting mengapa FSPPB menolak penunjukan Elia. Lingkup bisnis Pertamina yang luas dan posisinya yang strategis guna menjamin ketahanan energi nasional membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan profesional di bidang energi, kapasitas kepemimpinan yang memadai dan dapat bersinergi dengan karyawan yang ada. Hal-hal ini menjadi faktor penting mengapa dirut Pertamina akan jauh lebih baik jika berasal dari kalangan internal Pertamina sendiri. Apalagi, “stock” calon pemimpin secara internal di Pertamina tersedia tersedia cukup banyak," katanya.

Disamping faktor calon pemimpin internal Pertamina yang memang cukup tersedia, para pemilik kekuasaan pun seharusnya dapat memberi apresiasi dengan memberi promosi sebagai dirut, bukan malah mendatangkan pemimpin dari luar. Apalagi, para pejabat internal tersebut telah meraih berbagai prestasi dan penghargaan tingkat nasional dan regional, sehingga tentu saja tidak layak jika diberi ‘reward” untuk dipimpin oleh pejabat yang didatangkan dari luar korporasi.

Pemerintah pun perlu mempertimbangkan pentingnya aspek sinergi manajemen dengan puluhan ribu karyawan yang ada. Pejabat internal korporasi tentu saja memahami visi dan nature bisnis korporasi dan psikologi karyawan secara sangat baik dan mendalam dibanding pemimpin yang berasal dari ekternal perusahaan, katanya.

Penunjukan dirut dari eksternal perusahaan tentu akan memperlambat pengambilan keputusan dan menghambat laju perkembangan perusahaan. Padahal pemerintah dan manajemen telah mencanangkan Pertamina sebagai perusahaan energi klas dunia dengan target untuk bisa mengungguli Petronas dalam lima tahun ke depan. "Bagaimana Pertamina akan maju kalau oknum-oknum penguasa masih saja berkutat dengan urusan yang tidak prioritas akibat kepentingan oligarkis, sementara hal-hal yang strategis dan mendesak dilupakan?," ujarnya.

Rakyat paham bahwa keputusan mengganti pejabat-pejabat di BUMN ada di tangan pemerintah. Presiden pun bisa mengganti dirut BUMN setiap tiga atau enam bulan. Namun, keputusan yang diambil atau pergantian yang dilakukan tersebut minimal harus objektif, relevan dan kredibel. Jika tidak, publik pasti mempertanyakan.

Motif pelengseran dirut dan wadirut Pertamina awal Februari 2017 telah terbukti tidak relevan dan tidak kredibel, sehingga sedikit banyak mempengaruhi tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah. "Kita berharap Presiden Jokowi dapat menunjuk dirut Pertamina sesuai dengan kriteria yang berlaku dan kepentingan strategis nasional, sehingga kredibilitas pemerintah tetap terjaga," kata Marwan.

Sementara itu, Direktur Puskepi Sofyano Zakari menyatakan, keputusan pemerintah yang dulu sempat melahirkan adanya posisi wakil dirut tentu sudah melalui pertimbangan yang bijak. Artinya dapat dipahami bahwa pemerintah sangat memandang perlu adanya wadirut yang fokus menangani sektor pemasaran dan pengolahan yang memang sektor ini berkaitan langsung dengan kepentingan nasional, kepentingan yang menyangkut hajat hidup rakyat negeri ini.

"Mengapa pemerintah tidak fokus mengembangkan sektor hilir Pertamina ini menjadi sebuah BUMN seperti BUMN lain misalnya saja PGN. Bukankah kenyataan yang ada selama ini sudah ada beberapa BUMN yang core bisnisnya sama seperti Pelindo I , II , III dan IV.
Artinya, menjadikan sektor hilir Pertamina sebagai sebuah BUMN sebuah persero bukanlah hal yang tabu dan bertentangan dengan UU," katanya.

Ia menambahkan, toh ketika BUMN Pertamina hilir dilahirkan ia tetap lahir dari kandungan pemerintah dan ia tetap milik negara sepenuhnya. Tidak ada yang salah bukan.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017