Pontianak (Antara Kalbar) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak, menggelar diskusi tentang "safety journalist".


Selain wartawan, penggiat pers kampus juga turut hadir dalam diskusi tersebut. Aktivis Mimbar Untan Pontianak, Rio, mengaku mengalami akan tetapi, dia bingung akan melapor kemana.

"Kami juga sering mengalami kekerasan. Namun, apa yang harus kami lakukan?," ucapnya, bertanya dalam sesi dikusi di Sekretariat AJI Pontianak, Sabtu.

Sekretaris AJI Pontianak, Marhasak Reinardo Sinaga, menjelaskan diskusi ini menjadi penting karena menjadi jurnalis penuh risiko.

"Diskusi ini penting karena profesi wartawan merupakan satu dari profesi yang kerap menjadi sasaran kekerasan," kata Marhasak Reinardo Sinaga.

Marhasak Reinardo Sinaga mengingatkan, apalagi 2018 adalah tahun politik yang rentan terhadap aksi kekerasan yang bisa saja terjadi pada jurnalis. Untuk itulah, keselamatan tetap yang utama.

"Tidak ada berita seharga nyawa," ujar Marhasak Reinardo Sinaga.

Jurnalis senior Kalbar, Yan Andria Soe, berkata langkah damai juga salah satu proses. Dia yakin hal itu, karena proses juga harus berjalan.
Yan Andria Soe juga menekankan, ketika meliput bencana harus berhati-hati. Sebab, keselamatan adalah hal utama.

"Bahaya yang datang dari diri kita, itu akan menimbulkan ke kita. Biasanya ini bencana alam. Semisal longsor, dan lain-lain. Sifatnya bisa diprediksi," ucapnya, berpesan.


Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak, Leo Prima, mengaku prihatin atas tindakan kekerasan terhadap wartawan di lapangan.
"Kekerasan terhadap wartawan selalu berulang," kata dia, mengingatkan.

Pewarta:

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017