Pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan tujuan Maroko, Turki, Suriah dan Arab Saudi, meraup hingga ratusan juta rupiah selama beberapa tahun melakukan penipuan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Selasa, mengatakan masing-masing sindikat mengambil untung per korban sekitar Rp3 juta.
"Untuk jaringan Maroko itu bisa meraih keuntungan dalam beberapa tahun saja hampir Rp1 miliar, Rp1,5 miliar. Untuk jaringan Suriah Rp900 juta, jaringan Turki sama, hampir Rp750 juta, jaringan Arab Saudi hampir Rp600 juta," tutur Dedi Prasetyo.
Tersangka dari jaringan Maroko, Mutiara dengan mengambil keuntungan per korban sebesar Rp3 juta, sejak 2016 hingga 2019 meraup Rp900 juta. Sesama rekannya, Farhan, dari 2015-2018 mengumpulkan Rp600 juta.
Sementara tersangka jaringan Turki, Erna Rachmawati yang mengambil keuntungan per orang Rp8 juta, dalam setahun saja selama 2018-2019 mengeruk sebesar Rp160 juta. Sedangkan rekan satu jaringannya, Saleha, mengeruk Rp600 juta selama 2014-2019.
Jaringan Suriah dengan tersangka Muhammad Abdul Halim alias Erlangga selama kurun waktu 2014-2019 memperoleh Rp900 juta dengan mengambil keuntungan Rp3 juta per orang.
Ada pun untuk jaringan perdagangan orang ke Arab Saudi, tersangka Abdalla yang memanfaatkan korban sejak 2017-2019 dengan iming-iming pekerjaan ke Dubai atau Abu Dhabi mengeruk Rp600 juta.
Untuk melancarkan aksinya, para tersangka memberikan uang beberapa juta kepada keluarga korban yang dijanjikan akan diberangkatkan bekerja ke Timur Tengah.
Secara terpisah, salah satu korban berinisial EH mengaku membutuhkan uang sehingga saat ditawari bekerja ke Arab Saudi dengan gaji dan bonus sebesar Rp5 juta langsung mengiyakan.
"Saya nurut apa yang diperintahkan dan disuruh. Sebelum berangkat saya melakukan cek medis dan ditampung di Surabaya sebelum berangkat ke Malaysia," ucap perempuan muda itu.
Dari Malaysia ia diberangkatkan ke Dubai dan tidak menerima gaji, setelah itu ia bekerja selama dua minggu di Turki dan juga tidak digaji. Selanjutnya ia dipindah ke Sudan dan Suriah selama tiga bulan, tetap tidak mendapat gaji.
EH kemudian kabur dengan teman sesama WNI ke KBRI Damaskus, tetapi ia menyebut tidak mendapat bantuan dan justru dikembalikan ke agen yang memperdagangkannya.
Setelah itu, ia kembali dikirim ke Irak dan mengalami kekerasan dan perkosaan hingga hamil. Ia akhirnya pulang ke Tanah Air setelah meminta bantuan kepada KBRI Baghdad.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Selasa, mengatakan masing-masing sindikat mengambil untung per korban sekitar Rp3 juta.
"Untuk jaringan Maroko itu bisa meraih keuntungan dalam beberapa tahun saja hampir Rp1 miliar, Rp1,5 miliar. Untuk jaringan Suriah Rp900 juta, jaringan Turki sama, hampir Rp750 juta, jaringan Arab Saudi hampir Rp600 juta," tutur Dedi Prasetyo.
Tersangka dari jaringan Maroko, Mutiara dengan mengambil keuntungan per korban sebesar Rp3 juta, sejak 2016 hingga 2019 meraup Rp900 juta. Sesama rekannya, Farhan, dari 2015-2018 mengumpulkan Rp600 juta.
Sementara tersangka jaringan Turki, Erna Rachmawati yang mengambil keuntungan per orang Rp8 juta, dalam setahun saja selama 2018-2019 mengeruk sebesar Rp160 juta. Sedangkan rekan satu jaringannya, Saleha, mengeruk Rp600 juta selama 2014-2019.
Jaringan Suriah dengan tersangka Muhammad Abdul Halim alias Erlangga selama kurun waktu 2014-2019 memperoleh Rp900 juta dengan mengambil keuntungan Rp3 juta per orang.
Ada pun untuk jaringan perdagangan orang ke Arab Saudi, tersangka Abdalla yang memanfaatkan korban sejak 2017-2019 dengan iming-iming pekerjaan ke Dubai atau Abu Dhabi mengeruk Rp600 juta.
Untuk melancarkan aksinya, para tersangka memberikan uang beberapa juta kepada keluarga korban yang dijanjikan akan diberangkatkan bekerja ke Timur Tengah.
Secara terpisah, salah satu korban berinisial EH mengaku membutuhkan uang sehingga saat ditawari bekerja ke Arab Saudi dengan gaji dan bonus sebesar Rp5 juta langsung mengiyakan.
"Saya nurut apa yang diperintahkan dan disuruh. Sebelum berangkat saya melakukan cek medis dan ditampung di Surabaya sebelum berangkat ke Malaysia," ucap perempuan muda itu.
Dari Malaysia ia diberangkatkan ke Dubai dan tidak menerima gaji, setelah itu ia bekerja selama dua minggu di Turki dan juga tidak digaji. Selanjutnya ia dipindah ke Sudan dan Suriah selama tiga bulan, tetap tidak mendapat gaji.
EH kemudian kabur dengan teman sesama WNI ke KBRI Damaskus, tetapi ia menyebut tidak mendapat bantuan dan justru dikembalikan ke agen yang memperdagangkannya.
Setelah itu, ia kembali dikirim ke Irak dan mengalami kekerasan dan perkosaan hingga hamil. Ia akhirnya pulang ke Tanah Air setelah meminta bantuan kepada KBRI Baghdad.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019