Tersebutlah seorang reporter televisi bernama Tari yang sedang menghadapi dilema: melanjutkan karir demi cita-cita menjadi pembaca berita atau pindah kerja demi gaji besar supaya cepat melunasi utang?
Tari, dalam novel "23 Episentrum" karya Adenita, terbitan Grasindo, Maret 2012, adalah seorang reporter baru yang bergaji Rp2,5 juta sebulan, gaji yang sebenarnya besar jika dibandingkan rata-rata reporter baru di media massa lain.
Dengan gaji sebesar itu, Tari merasa bahwa pekerjaan tersebut hanya memberikan kesenangan bagi dirinya, tapi tidak untuk target-targetnya sebagai lulusan baru sebuah perguruan tinggi terkemuka.
Beban kebutuhan akan gaji besar itu makin membebani ketika tiga kawannya, yang pernah memberi pinjaman uang ketika Tari menyelesaikan kuliah, menagih. Total tagihan sebesar Rp8 juta itu datang ketika dia baru delapan bulan menjadi reporter. Itu baru sebagian kecil utang Tari.
"Memang bukan angka yang fantastis bagi sebagian orang, tapi bagi dirinya yang kala itu tak tahu harus mencari sumber dari mana lagi, angka itu sungguh membuatnya pusing bukan main," demikian novel itu.
Pindahkah Tari dari televisi itu ketika lamarannya di perusahaan lain diterima? Di sana dia bakal mendapat gaji tiga kali lipat dari gajinya sebagai reporter.
Lewat cerita soal Tari, Adenita, yang juga mantan pekerja berita televisi, berhasil membuat cerita tentang balada seorang reporter.
Paparannya yang rinci dan tidak tergesa-gesa, membuat dia seolah membenarkan sebuah ungkapan bahwa pekerjaan wartawan pada umumnya memang menyenangkan tapi tidak memberikan kesejahteraan materi.
Wartawan boleh saja makan siang dan berbincang dengan pejabat tinggi atau artis papan atas sambil makan siang di sebuah hotel berbintang. Tapi setelah itu dia harus kembali ke kantor dengan kendaraan umum yang pengap dan padat. Atau naik ojek untuk mempercepat perjalanan. Adegan Tari menumpang Metromini juga terekam dalam novel ini.
Pun ketika dia memaparkan ketegangan saat Tari "ketiban" berita melalui hidung wartawannya yang mengendus berita besar soal penampilan mantan presiden yang sudah dua tahun tidak muncul di hadapan umum.
Berita dan gambar yang dibuat reporter itu meledak. Berita dan gambar tentang sang mantan presiden yang lemah karena sakit itu memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan. Tapi tidak buat sang reporter.
Kehidupan wartawan
Menikmati Tari, pembaca akan mendapat informasi banyak mengenai kehidupan wartawan televisi, profesi yang kini menjadi salah satu incaran anak-anak muda.
Perjalanan cerita tentang Tari yang dilatarbelakangi pengalaman penulisnya itu terlihat jauh lebih kuat ketimbang cerita tentang dua tokoh utama lain di novel itu.
Banyak juga dialog antara Tari, Awan, dan Prama yang "terlalu pintar", "terlalu bijak", dan "terlalu mengerti hidup" bagi orang seumuran mereka. Boleh jadi ini disadari oleh penulisnya, sehingga ada kalimat yang berbunyi: "Eh, tumben lu pintar....," atau "Macam betul aja omongan kau....," atau "Cieee... tumben omongan lo bener."
Boleh jadi juga, sang penulis novel ini, dalam usianya yang belum bisa disebut tua, sudah belajar begitu banyak mengenai hidup. Bisa saja ketika bertemu dengan begitu banyak sumber berita ketika bekerja, dia juga mempelajari hidup, terutama soal uang dan kebahagiaan.
Yang pasti, dia belajar khusus dari 23 orang dari beragam pekerjaan, yang profilnya dia tulis menjadi buku. Buku tentang 23 orang itu menjadi sisipan buku "23 Episentrum".
Mengenai uang dan kebahagiaan itu, ada dialog panjang yang mengharukan antara Awan dengan ibunya. Dialog soal keinginan Awan meninggalkan pekerjaannya di sebuah bank besar dengan pendapatan yang pasti dan sang ibu yang tak mengerti akan keinginan anaknya pindah haluan menjadi penulis cerita film, sebuah pekerjaan yang tak menjanjikan.
Juga dialog panjang dengan penjual sarung yang membangkitkan kesadaran Prama bahwa ada orang yang bisa riang walau pendapatan tahunannya jauh di bawah pendapatannya sebulan. Ada kebahagiaan di luar uang; sesuatu yang rupanya dicari oleh pemuda tajir tersebut.
Dialog masalah berat, yang dalam sebuah lagu Iwan Fals disebut sebagai "karang yang kerap ganggu tidurmu" dalam novel ini berjalan apik dan tak melelahkan.
"Aku ingin sukses dan bahagia," demikian kalimat yang menjadi ruh novel itu.
(S018)
Resensi Buku - Balada Seorang Reporter
Minggu, 8 April 2012 17:09 WIB