Jakarta (Antara Kalbar) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan meminta Sarawak masuk dalam 'voluntary partnership agreement' (VPA) dengan Uni Eropa yang menerapkan 'European Union Timber Regulations' (EUTR) karena negara bagian Malaysia itu ditengarai tempat penampungan kayu ilegal Indonesia.
"Saya sudah pesan kepada Kementerian Luar Negeri yang mengikuti perkembangan ini, tentu betul-betul memasukkan Sarawak. Sarawak harus menjadi bagian daripada VPA ini," tutur Zulkifli seusai peluncuran buku Dirjen Pelindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori Wonodipuro di Jakarta, Selasa.
Menteri menyatakan hal itu harus dilakukan karena komitmen memberantas ilegal logging (penebangan kayu ilegal) tidak dapat dikompromikan lagi.
Apabila Sarawak tidak dimasukkan dalam VPA, lanjutnya, akan menjadi preseden buruk bagi UETR dan komitmen Indonesia.
"Karena itu kita berharap pemerintah, Kementerian Luar Negeri betul-betul memastikan seluruhnya," katanya.
Pada kesempatan itu Zulkifli mempertanyakan komitmen Uni Eropa untuk memberantas ilegal logging apabila Sarawak tidak dimasukkan dalam VPA oleh Malaysia.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menuturkan, pihaknya kecewa dengan Uni Eropa yang membuka VPA dengan Malaysia tanpa memasukkan Sarawak, padahal wilayah itu dikenal sebagai tempat pencucian kayu Indonesia.
Menurut dia, Sarawak dikenal sebagai pusat perdagangan kayu yang sebagian besar diduga merupakan kayu ilegal dari Indonesia, apalagi, orang Sarawak banyak yang memiliki hak pengelolaan hutan (HPH) di Papua, Papua Nugini, dan Pulau Solomon.
"Mereka berkepentingan di Papua, sedangkan di Semenanjung Peninsula tidak banyak pintunya," ujar Hadi.
Dikecualikannya Sarawak dalam EUTR, lanjutnya, dengan alasan wilayah itu merupakan negara bagian yang terpisah dari Semenanjung Peninsula sehingga aturannya juga berbeda.
Hal itu sudah disetujui oleh Komisi Perdagangan Uni Eropa, tapi ditolak oleh Komisi Lingkungan karena berpotensi memperdagangkan kayu ilegal.
Hadi menilai, rencana itu sangat menunjukkan Uni Eropa tidak serius dalam memberantas perdagangan kayu ilegal, karena praktik itu masih akan ada karena pasarnya masih ada, padahal pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk memberantas pedagangan kayu ilegal dengan SVLK.
"Polisi dan Polhut menangkap rakyat yang mencuri kayu. Tetapi, karena pasarnya masih ada, hal itu akan tetap berlangsung," katanya.
Layangkan surat
Hadi melanjutkan, pihaknya sudah melayangkan surat resmi kepada Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunai Darussalam Julian Wilson dua pekan lalu, tetapi hingga hari ini belum ada jawaban.
Jika belum juga memperoleh respon, pihaknya akan kembali mengirimkan nota kekecewaan kepada pemerintah Uni Eropa.
"Kami minta pemerintah Uni Eropa serius. Kami juga sudah minta dubes Indonesia di Brussel untuk ikut mengadvokasi," tutur dia.
Hadi menambahkan, jika VPA Malaysia-Uni Eropa ditandatangani, artinya seluruh kayu dari Malaysia adalah kayu yang sah dan masuk ke Eropa tanpa perlu pemeriksaan (due diligence) berdasarkan EUTR. Padahal, dalam rancangan perjanjian Uni Eropa-Malaysia itu, yang dimaksud Malaysia hanya wilayah semenanjung, sedangkan Sabah dan Serawak, dua negara bagian yang dikenal sebagai lumbung kayu Malaysia, tidak termasuk.
Dikatakannya, perdagangan kayu di Serawak saat ini dilakukan oleh Sumpling Group yang memiliki 400 perusahaan di 25 negara. Group usaha tersebut tidak memiliki konsesi di Sabah dan bisa melakukan pencucian kayu dari Indonesia.
Pada 2011, Uni Eropa meyakinkan Indonesia tentang rencana mereka mengecualikan Serawak. Namun saat pertemuan di Chatam House, London tahun lalu Uni Eropa menyatakan mereka tetap mengecualikan negara bagian Malaysia tersebut.
"Dari pihak Malaysia, timber council-nya mendekati Indonesia agar tidak keberatan jika Serawak dikecualikan. Tetapi Indonesia tetap keberatan," ujar Hadi.
Menurut Hadi, Uni Eropa beralasan, pengecualian Sabah dan Serawak itu tidak serta merta dapat menurunkan ilegal logging yang masuk ke pasar Uni Eropa. Hadi menilai, hal itu cenderung menurunkan integritas FLEG-VPA.
VPA Indonesia-Uni Eropa saat ini sedang memasuki tahap finalisasi yang genting. Dimulai sejak tahun 2007, negosiasi VPA Indonesia-UE rencananya akan diteken April 2013 tetapi diundur menjadi Oktober mendatang. Negosiasi tersebut juga melatarbelakangi pemberlakukan SVLK oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pelaksanaan dokumen V-Legal yang telah melaksanakan SVLK selama 1-22 Januari 2013 sebanyak 3.427 dokumen ke 94 negara tujuan ekspor dengan jumlah jenis barang yang diekspor 23 HS code. Total volume barang yang diekspor 1 juta meter kubik melalui 33 pelabuhan muat dengan tujuan 322 pelabuhan bongkar.